Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Patriarki dan Perempuan : Dua Hal yang Tidak Bisa Terpisahkan
4 Desember 2023 16:18 WIB
Tulisan dari firzanachriansyah05 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan tugasnya hanya macak, manak, masak. Pemikiran terdahulu yang masih berjalan hingga kini menyebabkan adanya budaya patriarki yang menjamur dan terus berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Patriarki sendiri merupakan suatu budaya atau kondisi masyarakat yang di mana kaum perempuan dianggap lebih lemah daripada kaum lainnya.
ADVERTISEMENT
Ketertinggalan perempuan merupakan bukti masih adanya ketidakadilan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia (Zuhri & Amalia, 2022). Perempuan di Indonesia masih sangat sering mendapatkan kondisi-kondisi yang kurang mengenakkan dan seringkali kondisi tersebut menyudutkan bahkan merendahkan kaum perempuan.
Sejatinya patriarki ialah hal yang menitikberatkan dan menindas kaum perempuan. Akan tetapi sangat disayangkan budaya seperti ini masih cukup melekat di masyarakat kita yang di mana seharusnya pemikiran ini dihapuskan karena bagaimanapun juga perempuanlah yang membuat peradaban di muka bumi ini. Perempuan seharusnya bisa disamakan kedudukannya dengan lelaki di masyarakat dan tidak hanya dijadikan sebagai pelayan lelaki atau penghasil keturunan saja.
Jika dilihat lebih dalam lagi wanita acapkali diremehkan juga dianggap lemah bahkan oleh sesama perempuan itu sendiri. Perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan serta kekuatan untuk menjadi pemimpin. Padahal sejatinya perempuanlah individu yang paling kuat. Bagaimana tidak kuat? Perempuan bisa mengeluarkan satu kehidupan dari rahimnya, maka dari itu sangat tidak pantas bagi kita menganggap perempuan itu lemah.
Penindasan dan Kekerasan kepada Perempuan
Tidak hanya itu, dari budaya patriarki ini perempuan bisa mendapatkan suatu bentuk penindasan yang bermuara pada kekerasan, baik kekerasan secara verbal, kekerasan secara fisik, atau terparahnya adalah kekerasan seksual. Tak diragukan lagi sekarang ini kita sangat sering menemukan suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan di sekitar kita. Maraknya pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga hal kecil seperti godaan juga merupakan suatu bentuk nyata dari adanya budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang seharusnya bisa menjalani kesehariannya dengan tenang namun sangat disayangkan harus dihadapkan dengan hal-hal yang merugikan tersebut. Bahkan rasanya perempuan sudah tidak memiliki tempat aman, bahkan dirumahnya sendiri. Kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan saat ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan karena pasalnya pelaku pelecehan dan kekerasan tersebut bisa berasal dari orang terdekat seperti paman, kakek, suami, bahkan ayah sendiri.
Sedih tapi nyata, kekerasan dan pelecehan tersebut tidak jarang dianggap seperti angin lalu. Sering kali perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan tersebut tidak mendapatkan keadilan. Seringkali perempuan yang merupakan korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (Sakina & Hasanah, 2014). Berdalih dengan alasan perempuan yang memakai pakaian yang menggoda, perempuan yang tidak pandai menjaga diri, hingga alasan konyol yang tidak masuk akal lainnya. Padahal pelecehan dan kekerasan itu terjadi karena pikiran keji sang pelaku.
Stigma yang Berlaku untuk Perempuan
Tidak hanya sampai di situ, patriarki juga yang menyebabkan adanya penandaan, pelabelan, atau stigma yang dilontarkan kepada perempuan. Pelabelan itu sendiri terkadang bisa dianggap tidak masuk akal, karena pasalnya setiap perempuan memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dan tidak perlu diberi label untuk menjadi sama dengan perempuan lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai bentuk dari stigma ini salah satunya adalah perempuan ujungnya hanya akan menikah, memproduksi anak, dan mengurus rumah tangga. Hal ini sangat tidak bisa diterima dengan akal sehat. Stigma ini seakan diperparah dengan adanya batasan umur yang dianggap ideal untuk menikah, maka tak sedikit yang menyebut seseorang yang belum menikah pada umur yang dianggap ideal tersebut “perawan tua”. Padahal pernikahan itu tidak hanya dilihat dari umur, tetapi dari kesiapan mental, fisik, serta finansial.
Selanjutnya perempuan yang sudah menikahpun tidak jauh dari stigma untuk segera memiliki anak, karena jika sudah lama menikah tetapi tak kunjung memiliki anak maka akan dilabeli sebagai perempuan yang tidak subur. Padahal banyak sekali alasan bagi perempuan untuk menunda menyegerakan memiliki keturunan. Dengan segala tuntutan atas diri & fungsi reproduksinya, perempuan seolah tidak memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Contoh stigma lainnya yang ditujukan kepada perempuan tidak jauh dari standar kecantikan yang bertumbuh kembang di masyarakat. Cantik itu harus putih, langsing, tidak memiliki jerawat, memiliki rambut yang lebat, pandai menggunakan riasan, dan lain sebagainya. Stigma tersebut memiliki dampak yang besar terhadap kepercayaan diri seorang perempuan. Bagi perempuan yang tidak masuk ke dalam standar kecantikan yang ada, maka Ia akan merasa tidak percaya diri dan cenderung tidak mencintai dan menyalahkan dirinya sendiri.
Standar Ganda bagi Perempuan
Tidak berhenti di situ saja, patriarki juga memberikan beban ganda serta standar ganda kepada perempuan. Standar ganda sendiri merupakan suatu hal yang wajar jika dilakukan oleh kaum laki-laki, tapi dianggap hal yang tidak wajar jika dilakukan oleh kaum perempuan. Tentunya hal ini merupakan dampak dari adanya patriarki yang terus berkembang di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Contoh dari standar ganda adalah ketika perempuan sering pulang larut malam ke rumahnya, maka tak heran jika akan ada yang menganggapnya sebagai perempuan nakal. Padahal bisa saja perempuan pulang larut malam karena ada hal yang harus diselesaikan, seperti urusan pekerjaan. Namun, jika laki-laki yang melakukan hal tersebut maka akan dianggap sebagai hal yang wajar.
Contoh lainnya adalah ketika laki-laki memiliki rambut/bulu yang lebat di beberapa bagian tubuhnya maka hal tersebut dianggap hal yang lumrah, bahkan tak sedikit yang menyebutnya “jantan”. Lain halnya jika perempuan yang memiliki rambut/bulu yang lebat di beberapa bagian tubuhnya, sudah pasti perempuan tersebut akan disebut sebagai perempuan yang tidak bisa merawat diri. Sungguh kenyataan yang tidak adil.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan Mengenai Patriarki
Dengan adanya kenyataan-kenyataan menyedihkan yang menindas kaum perempuan, ulah dari budaya patriarki yang masih terus ada hingga kini, maka dapat disimpulkan bahwa patriarki dengan apapun alasannya harus dihapuskan. Sebagaimana yang telah digambakan sejarah bahwa perempuan adalah kaum yang termarginalkan, paradigma terus terhegomoni hingga sekarang sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya (Sakina & Hasanah, 2014).
Perempuan masa kini harus memiliki kesempatan dan peluang yang sama dengan kaum laki-laki. Tidak ada lagi alasan untuk perempuan merasa diremehkan dan dianggap lemah. Karena sejatinya perjuangan akan hak keseteraan gender dan penghapusan patriarki ini sudah diusahakan sejak dahulu kala oleh RA Kartini. Patriarki hanya akan memberikan banyak sekali dampak negatif terhadap perempuan seperti kekerasan, stigma dan beban ganda. Mewujudkan kesetaraan gender pada hakekatnya merupakan kepentingan kemanusiaan dan karenanya hal ini merupakan kepentingan semua pihak (Susanto, 2016). Dalam skala makro, kesetaraan gender akan mewujudkan iklim keadilan, memberikan ruang yang sebesar-besarnya bagi semua anak bangsa untuk berkarya dan mengembangkan kreatifitasnya. Untuk itu penghapusan budaya patriarki merupakan tanggung jawab kita bersama.
ADVERTISEMENT
Daftar Bacaan
Sakina, A. I., & Hasanah, D. (2014). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work, 7(1), 71–80.
Susanto, N. H. (2016). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya Patriarki. Muwazah, 7(2). https://doi.org/10.28918/muwazah.v7i2.517
Zuhri, S., & Amalia, D. (2022). Ketidakadilan Gender dan Budaya Patriarki di Kehidupan Masyarakat Indonesia. Murabbi : Jurnal Ilmiah Dalam Bidang Pendidikan, 5(1), 17–41. https://ejournal.stitalhikmah-tt.ac.id/index.php/murabbi/article/download/100/99