Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
May Day Masa Depan Buruh di Tengah Bonus Demografi yang Terancam
1 Mei 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fitria Nurma Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seluruh dunia pada tanggal 1 Mei memperingati Hari Buruh Internasional atau biasa disebut dengan istilah May Day. Pada hari itu terdapat momentum untuk memperingati perjuangan para buruh agar mendapatkan keadilan sosial dan hak-hak pekerja. Pada tahun ini, peringatan Hari Buruh hadir dalam situasi yang ironis: ekonomi melambat, PHK dimana-mana, ditambah mencekamnya ancaman kegagalan Indonesia dalam mengelola bonus demografi tahun 2030-2045 akibat penambahan jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding dengan penambahan masyarakat dengan usia produktif.
ADVERTISEMENT
BPS memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2030-an dimana jumlah penduduk produktif Indonesia berjumlah 68,3 persen. Menurut perhitungan bonus demografi Indonesia baru akan berakhir pada tahun 2040 atau 15 tahun dari sekarang. Namun bonus demografi bisa lebih cepat atau lebih lambat berakhirnya tergantung pada dinamika penduduk 15 tahun ke depan. Bonus demografi akan bertahan lebih lama apabila jumlah anak yang dimiliki rata-rata perempuan usia subur tetap dijaga di angka 2,1 anak.
Beberapa kalangan terutama pemerintah menganggap fenomena ini sebagai sebuah hal yang positif sehingga melabeli kata “bonus” yang seringkali dianggap bermakna positif. Padahal fenomena ini baru bisa dikatakan bonus apabila bisa dimanfaatkan dan untuk memanfaatkannya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Banyaknya usia produktif baru akan bonus apabila teredukasi dengan baik, tersedianya lapangan kerja yang berkualitas, memiliki jaminan kesejahteraan dan juga tingginya angkatan kerja perempuan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini menunjukkan syarat-syarat tercapainya bonus demografi belum tercukupi. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih berkisar 5 persen atau sekitar berjumlah 7,2 juta orang, dengan mayoritas berasal dari lulusan SMA dan SMK. Sebuah ironi karena SMK didesain untuk mempersiapkan lulusannya agar siap kerja dengan berbagai kurikulum dan fasilitas yang ada malah menjadi penyumbang pengangguran terbanyak. Setelah SMA dan SMK, lulusan sarjana juga menyumbang jumlah pengangguran terbuka terbanyak di Indonesia. Ini menunjukkan jika pendidikan di Indonesia tidak bisa menjamin terserapnya angkatan kerja di sektor formal. Lebih mengena lagi, 59% pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial maupun asuransi kesejahteraan.
Apabila berlarut-larut, fenomena yang seharusnya bisa dianggap sebagai bonus malah bisa menjadi bencana sosial: lonjakan jumlah pengangguran yang mengakibatkan menurunnya angka kesejahteraan. Kriminalitas akan menjadi pemandangan sehari-hari seperti yang kita lihat di berita-berita, aksi premanisme dimana-mana bahkan hingga berani menantang pemerintah dan aparat hukum. Penduduk produktif akan tersia-siakan yang kemudian akan menua dan sulit menikmati hari tua. Mereka harus tetap bekerja dengan upah minimum di saat tua karena tidak memiliki tunjangan pensiun ataupun tabungan. Mereka yang menjadi buruh akan terus menjadi buruh karena tuntutan hidup.
ADVERTISEMENT
Semakin lama buruh akan mendapatkan tekanan yang besar akibat ekonomi yang melambat sehingga tidak tercipta kondisi kerja yang ideal. Kondisi ini bisa diidentifikasi dari beberapa hal seperti saat ini sekitar 50 persen buruh di Indonesia menerima gaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Padahal banyak pihak menganggap UMP yang diterapkan masih belum bisa mencukupi kebutuhan dasar pekerja beserta keluarganya. Namun banyak dari mereka yang mendapatkan gaji di bawah nilai UMP.
Model kerja yang fleksibel akibat Undang-undang Cipta Kerja juga menyebabkan buruh berada di dalam posisi yang dilema. Undang-undang memberikan peluang untuk perusahaan dapat mengadopsi sistem outsourcing dengan kontrak kerja jangka pendek yang lebih dominan sehingga PHK bisa terjadi tanpa kompensasi yang layak. Buruh tidak memiliki daya tawar, karena mereka harus membiayai kehidupan keluarga mereka di tengah kesempatan kerja yang semakin terbatas.
ADVERTISEMENT
Seolah tidak cukup, kaum buruh juga mendapatkan tantangan yang datang dari pergeseran era dimana internet dan teknologi hadir untuk mendisrupsi model produksi industri saat ini. Banyak sektor kini diambil alih oleh mesin dengan berbagai macam teknologinya. Namun seolah pasrah, upaya reskilling pekerja belum masif dilakukan. Akhirnya banyak buruh harus rela tergantikan mesin karena tidak mampu bersaing dalam era digitalisasi.
Banyak ahli menyarankan pemerintah harus fokus pada pembukaan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi masyarakat agar dapat mengoptimalisasi bonus demografi. Pemerintah saat ini harus menggeser paradigmanya yang selama ini menggenjot industri padat modal yang kontribusinya dalam menyerap tenaga kerja terbatas, beralih menuju ke industri padat karya. Sembari membuka lapangan kerja seluas-luasnya, pemerintah juga harus fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat memperbaiki kualitas angkatan kerja di masa depan. Dengan demikian buruh tidak harus menjadi buruh seumur hidup tanpa dapat menikmati hari tua tanpa jaminan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT
Momen Hari Buruh penting bagi kita semua untuk sadar bahwa hari ini bukan hanya sekedar diperingati dengan menjadikan hari libur nasional yang bersifat simbolik. Butuh aksi nyata agar buruh bisa lebih mendapatkan keadilan dengan melindungi hak-hak buruh. Kebijakan yang diambil haruslah terukur agar nasib buruh bisa sejahtera sehingga tetap menjadi roda penggerak ekonomi nasional.
Kita harus merefleksikan kondisi negara ini apakah kita sudah serius mempersiapkan kualitas tenaga kerja saat ini dan di masa depan. Apakah mereka yang memasuki usia produktif sudah siap menjadi
pondasi ekonomi bangsa, penggerak mesin produksi dan melanjutkan tongkat estafet pertumbuhan ekonomi nasional. Jika belum, mereka ke depan akan terus terpinggirkan dan termarjinalkan maka bisa dianggap kita sedang mempersiapkan lubang untuk masa depan kita sendiri. Mereka adalah pondasi ekonomi saat ini dan masa depan Indonesia, bukan hanya sekedar angka dalam statistik tenaga kerja.
ADVERTISEMENT