Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Aliansi Harmoni Umat Islam dan Kristen di Betlehem
11 Maret 2019 13:27 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 10:23 WIB
Tulisan dari Frass Kamasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Ibrani, Betlehem berarti rumah roti, sementara dalam bahasa Arab disebut Bayt Lahm yang artinya rumah daging. Kota itu juga memiliki nama lain, yakni Afrat atau Efrata yang artinya kesuburan dan tumbuh-tumbuhan.
ADVERTISEMENT
Secara geografis, Betlehem terletak sekitar 10 kilometer arah selatan Jerusalem dan berada pada ketinggian 765 meter di atas permukaan laut.
Betlehem adalah kota di mana aliansi dan harmoni antara umat Islam dan Kristen berlangsung hingga saat ini. Di kota itu umat Islam dan Kristen hidup berdampingan senasib sepenanggungan dalam nuansa rohani yang kuat.
Betlehem adalah kota rohani, tidak hanya bagi umat Kristen tetapi juga bagi Islam dan Yahudi. Menurut tradisi Islam, dalam perjalanan Isra Miraj dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, diriwayatkan Rasulullah sempat singgah di tempat kelahiran Nabi Isa al-Masih di Betlehem. Di kota ini berdiri Masjid Omar (Umar) yang teletak di Manger Square, dekat Gereja Nativity.
Di tahun 638 Masehi, Umar bin al-Khattab berkunjung ke Betlehem untuk mengumumkan secara langsung kebebasan beribadah dan perlindungan bagi berdirinya Gereja Nativity.
ADVERTISEMENT
Sama seperti ketika tiba di Yerusalem , khalifah Umar juga menolak ajakan salat di dalam gereja dan memilih untuk melaksanakan salat di tanah lapang tidak jauh dari gereja itu.
Di tahun 1860, didirikan Masjid yang mengambil nama beliau sebagai peringatan kedatangan beliau di tempat itu. Masjid itu tidak mengalami renovasi hingga tahun 1955. Menariknya, tanah untuk membangun masjid ini disumbangkan oleh jemaah Gereja Kristen Ortodoks Yunani, sebagai lambang pengakuan agama Islam di daerah ini.
Di masa lalu, sebelum adanya listrik untuk menghidupi bola lampu, biasanya umat Islam dan Kristen juga saling menawarkan minyak zaitun untuk menerangi pelita di lingkungan masjid. Ini merupakan bentuk keharmonisan yang indah di Betlehem.
Bagi umat Kristen, Betlehem adalah kota kelahiran Yesus dari Bunda Maria. Di sini terdapat dua destinasi ziarah umat Kristen yang paling terkenal, yaitu Gereja Nativity (Gereja Kelahiran) dan Padang Gembala.
Gereja Nativity adalah tempat di mana Yesus dilahirkan lebih dari 2000 tahun silam, sedangkan Padang Gembala adalah tempat di mana malaikat menampakkan diri kepada para gembala akan kelahiran Yesus.
ADVERTISEMENT
Menurut tradisi Kristen, kisah kelahiran Yesus, adanya malaikat, dan palungan tempat Yesus dilahirkan ada di Gereja Nativity, gereja yang berumur sekitar 1700 tahun.
Gereja Nativity dibangun pada 327 M di atas gua itu oleh Kaisar Romawi bernama Konstantin dan ibunya yang bernama Ratu Helena. Tahun 529 M pada masa revolusi Samaria , gereja tersebut kebakaran. Lalu gereja itu direstorasi oleh Justinian dari Kekaisaran Bizantium pada tahun 565 M.
Gereja Nativity menjadi salah satu dari bangunan tertua di dunia yang masih digunakan sebagai tempat peribadatan. Tahun 2012, gereja ini masuk dalam salah satu situs warisan dunia oleh UNSECO.
ADVERTISEMENT
Untuk masuk ke Gereja Nativity, kita harus melewati pintu berukuran kecil yang hanya bisa dilewati dengan cara menunduk. Pintu ini disebut dengan pintu kerendahan hati.
Selain penting bagi umat Islam dan Kristen, Betlehem juga penting bagi kaum Yahudi. Mereka meyakini, Betlehem adalah kota tempat Nabi Daud dilahirkan. Di sini juga tedapat makam Rahel, sebuah tempat suci bagi Kaum Yahudi.
Makam Rahel (Kevel Rahel) adalah kuburan istri Nabi Yakub, yang meninggal sewaktu melahirkan Benyamin. Nabi Yakub kemudian menguburkan Rahel di sisi jalan ke Efrata, yaitu Betlehem saat ini. Bagi orang Yahudi, tempat itu adalah satu tempat berdoa untuk mewujudkan harapan, seperti pernikahan dan kesuburan untuk mendapatkan anak.
Sejak 1995, Otoritas Palestina kembali memegang kekuasaan penuh atas kota itu. Sebelumnya, sejak perang 1967, Betlehem berada di bawah cengkraman Israel. Pengembalian itu dilakukan berdasarkan Kesepakatan Oslo yang diteken pada 1993.
ADVERTISEMENT
Selama 28 tahun, Betlehem berada di bawah cengkraman Israel dan kini dibelah oleh tembok apartheid yang dibangun Israel.
Sejak tahun 2003, Betlehem kini dikelilingi oleh tembok semen pemisah antara wilayah Israel dengan Palestina dan pos-pos pemeriksaan (checkpoint) untuk mencegah masuknya pejuang Palestina. Namun, penghalang itu juga memakan sepuluh persen wilayah Tepi Barat yang menurut warga Palestina disebut sebagai pencaplokan tanah.
Musim Natal biasa jadi bisnis besar bagi sektor pariwisata di wilayah Palestina. Tahun 2017 diperkirakan pengunjung mencapai 2,7 juta orang, meningkat dari jumlah tahun 2016 2,3 juta orang.
Sebagian besar warga Palestina adalah Muslim, tapi Presiden Palestina Mahmoud Abbas, seperti juga pendahulunya, Yasser Arafat, sangat menghargai hubungan erat dengan saudaranya umat Kristen dan saling bersinergi untuk bebas dari belenggu penjajah. Bahkan Uskup Agung Palestina dalam khotbah Natalnya pada 2012 menyebutkan bahwa Palestina terus menderita karena pendudukan Zionis Israel yang tak berujung.
ADVERTISEMENT
Kisah itu dimulai ketika lebih dari 100 orang yang terdiri dari warga sipil dan pejuang Palestina bersama 40 orang biarawan dan 4 orang biarawati berlindung di dalam Gereja Nativity dari 2 April sampai 10 Mei 2002.
Saat itu, pasukan Israel memasuki kota Betlehem sebagai bagian dari Operation Defensive Shield untuk mencari dalang di balik serangkaian aksi bom bunuh diri di beberapa wilayah Israel. Namun menurut Ritchie Ovendale dalam The Origins of the Arab Israeli Wars , tindakan itu merupakan balasan dari teror dan pemboman yang dilakukan oleh tentara Israel.
Hal itu kemudian memberikan alasan bagi Perdana Menteri Israel waktu itu, Ariel Sharon, untuk menggunakan militer dalam mengokupasi kembali Tepi Barat, tapi kali ini dengan pukul rata.
ADVERTISEMENT
Hal itu dilakukan meski dalam Konvensi Geneva Keempat tahun 1949 dilarang tindakan pukul rata (collective punishment) ke seluruh penduduk karena serangan segelintir orang. Pasal 33 menyatakan:
Dalam pengepungan itu terlihat aliansi dan kerja sama warga Palestina, baik yang Islam dan Kristen, bahu membahu untuk saling menolong dalam menghadapi serangan membabi buta Israel.
Hal itu misalnya dituturkan oleh Jires Canavati, warga Palestina Kristen yang tinggal di Betlehem dan menjadi salah satu saksi hidup peristiwa itu. Kesaksiannya ditulis kembali oleh Sharat G. Lin berjudul A Palestinian Christian Eyewitness Remembers the Israeli Military Siege of the Church of the Nativity di San Jose Peace and Justice Center.
ADVERTISEMENT
Kesaksian lain juga dikisahkan oleh pendeta Mitri Raheb yang mengabadikan peristiwa itu dalam bukunya yang berjudul Betlehem Besieged .
Betlehem adalah contoh nyata keindahan, aliansi, dan keharmonisan agama tercipta.
Kita akan terkesan dengan suasana daya juang, solidaritas , dan kehangatan penduduknya menyambut setiap tamu yang datang. “Selamat datang di Palestina,” seakan-akan penduduk di sini begitu senang karena mereka mempunyai nama untuk negaranya dan mengetahui bahwa seseorang dari luar negaranya ada di sini untuk melihat mereka.