Dampak Toxic Positivity Pada Kesehatan Mental

Frila Nurfadila
Dosen Ilmu Komunikasi Unpad
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2021 20:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Frila Nurfadila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dampak negatif yang muncul secara terus-menerus akibat pandemi Covid-19 tak jarang menyebabkan kelelahan bagi sebagian besar orang. Tekanan yang dirasakan akibat kehilangan orang terkasih, lapangan pekerjaan, atau adanya perubahan kebiasaan yang cukup drastis membuat seseorang terkadang ingin memperoleh dukungan dari orang sekitarnya. Tetapi, saat bercerita tak jarang kita akan menerima kalimat-kalimat seperti “masih banyak loh orang yang lebih susah daripada kamu”, “positif aja”, “ayo semangat dong” dari sekitar kita.
Source : pixabay.com
Meskipun kalimat di atas terlihat seperti kalimat yang positif, sebenarnya kalimat tersebut justru punya kecenderungan untuk menekan kebutuhan kita dalam menerima perasaan lelah yang kita rasakan. Padahal, selain bahagia atau senang, perasaan marah, sedih, dan kecewa juga merupakan bentuk emosi yang harus kita terima.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang memaksakan dirinya secara berlebihan untuk berpikiran positif meskipun secara psikis dia sedang perasaan negatif bisa disebut sebagai toxic positivity. Tak hanya muncul dari lingkungan sekitar saja, terkadang toxic positivity bisa muncul dari dalam diri sendiri melalui self talk.
Jadi, apakah toxic positivity itu? Menurut Nurul Kusuma Hidayati, M.Psi., Psikolog dan Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog dalam kuliah online yang diadakan Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Toxic Positivity adalah ketika sikap positif itu kemudian digeneralisasikan ke semua situasi dan mengabaikan perasaan serta emosi negatif. Apabila kita menekan perasaan-perasaan negatif yang muncul di dalam diri kita dan menggantikannya dengan pikiran positif.
Mengabaikan perasaan negatif tersebut nantinya bisa meningkatkan level stress yang dirasakan oleh seseorang atau menimbulkan mental disorder, salah satunya adalah depresi. Mengabaikan emosi negatif secara terus-menerus juga bisa menyebabkan emosi tersebut meledak seketika ketika seseorang tidak mampu lagi menampungnya.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal penelitiannya, Ford, Lam, John, dan Mauss (2018) menyatakan bahwa individu yang menerima perasaan negatif akan memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik, karena melalui penerimaan tersebut justru mereka akan merasakan lebih sedikit emosi negatif yang muncul dalam merespons sumber stress yang mereka miliki. Lalu bagaimana mengelola emosi negatif yang kita rasakan?
Pertama kita harus mencoba untuk menerima perasaan negatif yang muncul, seperti sedih, malu, marah, atau kecewa terhadap masalah yang dihadapi. ketika perasaan tersebut muncul cobalah untuk menyalurkan melalui tulisan di jurnal pribadi. Selain itu, cobalah untuk mencari solusi dalam mengatasi sumber permasalahan yang muncul. Apabila dirasa sudah mengganggu tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional, seperti psikiater ataupun psikolog. Karena setiap perasaan yang dimiliki baik itu perasaan positif maupun negatif haruslah diproses, agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan yang akan mengganggu seseorang maupun sekitarnya.
ADVERTISEMENT