Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Paradoks Gender dalam Pemilu AS: Pelajaran dari Kekalahan Clinton dan Harris
6 November 2024 15:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Frisca Alexandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hasil pemilu Presiden di Amerika Serikat yang diselenggarakan pada hari Selasa, 5 November 2024 mengunggulkan Donald Trump dan sekali lagi hasil ini harus mengubur asa, sebagian kelompok yang mengharapkan Amerika Serikat dapat memiliki Presiden perempuan pertama. Kamala Harris bukanlah satu-satunya kandidat calon Presiden perempuan dari Partai Demokrat, ditahun 2016 Partai Demokrat kala itu mencalonkan Hillary Clinton sebagai calon presiden.
ADVERTISEMENT
Ketika Hillary Clinton dicalonkan sebagai calon presiden dari Partai Demokrat tahun 2016 silam, reaksi publik Amerika Serikat cukup beragam. Bagi banyak pihak, pencalonan Clinton merupakan momen bersejarah. Banyak yang melihat hal ini sebagai langkah penting untuk memajukan representasi perempuan dalam politik Amerika Serikat (Sorrentino et al., 2021).
Sementara, meskipun pencalonan Kamala Harris sebagai calon presiden dari Partai Demokrat di tahun 2024 ini sebagai pengganti Joe Biden yang mengundurkan diri namun reaksi atas pencalonan Harris juga cukup beragam. Pencalonan Harris dianggap memberikan harapan baru bagi beberapa kelompok, khususnya di kalangan pemilih progresif dan juga minoritas. Namun baik Harris maupun Clinton sama sama harus menelan pil pahit kalah dari Donald Trump, apakah Amerika sesungguhnya memang belum siap untuk memiliki seorang Presiden Perempuan?
ADVERTISEMENT
Paradoks Gender dalam Pemilu Amerika Serikat
Tidak dapat dipungkiri bahwa kandidasi perempuan di Amerika Serikat masih terhambat oleh stereotip gender. Sebuah studi menunjukkan bahwa seksisme, baik dalam bentuk modern maupun tradisional, memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan memilih, terutama di antara pemilih kulit putih. Anggapan bahwa laki-laki lebih cocok untuk posisi kepemimpinan politik mungkin telah merugikan Clinton dan Harris di kalangan pemilih konservatif (Knuckey, 2018).
Studi menunjukkan bahwa Clinton menghadapi bias gender yang mendalam, dengan ekspektasi yang membatasi penerimaannya di media. Faktor gender ini sering kali diperkuat dalam media dan framing publik yang cenderung lebih kritis terhadap kandidat perempuan, menyoroti ketidakcocokan antara ekspektasi gender dan peran presiden (Cummings & Terrion, 2020).
ADVERTISEMENT
Sebagai perempuan kulit berwarna, Harris menghadapi tantangan dari bias gender dan rasisme, yang mempengaruhi cara publik melihat keterpaduannya sebagai kandidat yang kuat. Perempuan kulit berwarna sering kali dinilai tidak sesuai dengan ekspektasi gender tradisional dalam kepemimpinan politik, dan hal ini berpotensi menurunkan dukungan dari kalangan pemilih konservatif (Liebenow et al., 2022).
Faktor-faktor Kegagalan Lainnya dari Harris dan Clinton
Stereotip gender mungkin menjadi salah satu faktor kuat penyebab kegagalan Harris dan Clinton namun sebenarnya jika dianalisa lebih dalam, masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan keduanya gagal mengalahkan Donald Trump.
Hillary Clinton pada tahun 2016 juga menghadapi pengaruh besar dari "Comey Effect," yaitu pengumuman FBI mengenai penyelidikan email beberapa hari sebelum pemilihan. Efek ini diduga mengubah momentum ke arah Trump dan menyebabkan penurunan dukungan mendadak terhadap Clinton (Halcoussis et al., 2019).
ADVERTISEMENT
Sementara Kamala Harris, Sebagai wakil presiden dari pemerintahan Biden, Harris menghadapi tantangan dari tingginya ketidakpuasan publik terhadap masalah inflasi, imigrasi, dan persepsi ketidakstabilan ekonomi. Hal ini membuatnya sulit untuk menarik pemilih independen dan swing voters yang merasa skeptis terhadap pemerintahan saat ini (Davis, 2021).
Pada beberapa isu utama, Harris juga dianggap kurang jelas dalam menyampaikan kebijakan, terutama dalam isu seperti perawatan kesehatan, yang mungkin mengurangi daya tariknya bagi pemilih yang menginginkan kepastian dan kejelasan dalam pandangan calon presiden. Penelitian menunjukkan bahwa ambiguitas dalam kebijakan dapat menjadi kelemahan signifikan, terutama dibandingkan dengan lawan yang memiliki pesan tegas dan langsung (Simas, 2021).
Latar Belakang Pebisnis sebagai Keunggulan Trump
Faktor latar belakang Donald Trump sebagai seorang pebisnis memang memberikan keuntungan bagi Trump, khususnya dalam konteks pemilih yang berfokus pada isu ekonomi. Trump berhasil menarik suara di wilayah "Rust Belt" yang mengalami tekanan ekonomi signifikan akibat deindustrialisasi dan globalisasi. Pemilih di wilayah ini beralih dari mendukung Barack Obama pada 2008 dan 2012 ke Trump pada 2016, dengan pandangan bahwa latar belakang bisnisnya bisa membawa perubahan ekonomi yang diperlukan (Komlos, 2018).
ADVERTISEMENT
Trump memanfaatkan citra sebagai outsider politik dengan latar belakang bisnis untuk menjanjikan pemulihan ekonomi melalui pendekatan yang "business-minded." Janji untuk mengembalikan pekerjaan manufaktur dan sikap skeptis terhadap globalisasi menarik pemilih yang merasakan dampak buruk dari kebijakan ekonomi liberal di masa lalu (Devinatz, 2017).
Pasar saham mulai mencerminkan kemungkinan kemenangan Trump dengan kenaikan harga saham di beberapa sektor utama sebelum pemilihan. Hal ini menunjukkan kepercayaan pasar bahwa Trump akan membawa kebijakan pro-bisnis yang bisa merangsang ekonomi, terutama di sektor farmasi dan industri tradisional (Blau et al., 2019).
Seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya bahwa pada era Pemerintahan Biden, banyak masyarakat Amerika Serikat yang merasa tidak puas dengan kebijakan ekonomi Biden, di mana Amerika harus dihadapkan dengan masalah inflasi serta ketidakstabilan ekonomi, sehingga sekali lagi, latar belakang Trump sebagai seorang pebisnis menghantarkannya mengalahkan Kamala Harris.
ADVERTISEMENT
Pelajaran dari Kegagalan dan Tantangan bagi Kandidat Perempuan di Masa Depan
Belajar dari kegagalan Harris dan Clinton, maka kandidat presiden perempuan Amerika Serikat di masa depan harus siap dengan bias gender dan seksisme. Clinton dan Harris sama-sama dihadapkan pada tantangan bias gender yang menciptakan standar ganda dalam penilaian terhadap kemampuan dan kepribadian mereka (Bock et al., 2017). Pelajaran penting di sini adalah perlunya kampanye yang secara efektif menanggapi dan mendidik publik tentang bias gender, sekaligus menunjukkan kekuatan mereka sebagai pemimpin.
Harris mengalami tantangan tambahan sebagai perempuan kulit berwarna, dengan media sering kali menggunakan narasi yang memperkuat stereotip rasial dan gender. Ini menunjukkan perlunya manajemen media yang lebih cermat serta dukungan dari tokoh masyarakat yang bisa melawan narasi negatif tersebut (Cassese et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kandidat presiden perempuan Amerika Serikat di masa depan perlu mempersiapkan strategi untuk mengatasi bias dan stereotip gender serta memperkuat daya tarik di kalangan pemilih kunci melalui komunikasi yang inklusif dan pandangan kebijakan yang jelas