Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Budaya Film Bajakan: Antara Praktis dan Etika yang Terabaikan
1 Desember 2024 12:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gabriella Iriawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era modern ini, dunia sinematografi semakin menarik perhatian generasi muda. Drama Korea yang memikat hati hingga film-film indie dengan estetika unik kini menjadi topik hangat di berbagai kalangan. Namun, di balik antusiasme ini, ada ironi besar yang sulit diabaikan: banyak dari mereka yang mengaku sebagai pecinta film justru masih mengakses karya-karya ini melalui situs ilegal. Bagaimana kita bisa mendukung industri kreatif jika pembajakan tetap menjadi kebiasaan?
ADVERTISEMENT
Menonton film bajakan telah lama menjadi kebiasaan yang lumrah di tengah masyarakat. Mulai dari masa kejayaan DVD bajakan hingga era digital dengan menjamurnya situs streaming ‘gratis’, akses terhadap konten ilegal semakin mudah. Namun, di balik kenyamanan ini, banyak yang belum menyadari bahwa tindakan tersebut melanggar hukum. Menurut survei YouGov, sebanyak 63% penonton film online di Indonesia mengakses situs streaming atau torrent ilegal. Angka ini menggambarkan betapa masifnya konsumsi konten bajakan di masyarakat kita.
Salah satu alasan yang sering dilontarkan oleh penonton atau pengunduh film bajakan adalah tingginya biaya berlangganan layanan streaming resmi maupun harga tiket bioskop yang semakin mahal. Namun, apakah hal ini dapat diterima? Jika logika ini diterapkan secara luas, maka mencuri barang apa pun dapat dianggap sah dengan alasan ‘tidak mampu membeli.’
ADVERTISEMENT
Nyatanya, membajak film tidak ada bedanya dengan mencuri. Di balik sebuah film, ada proses produksi yang panjang dan modal yang besar untuk mencapai tahap distribusi, baik ke layar lebar maupun platform resmi. Sebagai ilustrasi, rata-rata biaya produksi sebuah film Hollywood berkisar 100 (seratus) juta USD, dengan angka yang jauh lebih tinggi jika melibatkan CGI dan efek visual yang kompleks. Bahkan, untuk film lokal seperti KKN di Desa Penari, anggaran produksinya mencapai lebih dari 15 (lima belas) miliar rupiah. Dengan rendahnya pendapatan akibat pembajakan, banyak rumah produksi enggan mengambil risiko untuk menciptakan karya yang high-budget.
Layaknya pedagang yang dibayar untuk produknya, para sutradara, aktor, dan kru yang berkontribusi dalam produksi suatu film juga berhak mendapatkan imbalan yang sesuai. Semakin sedikit penonton yang mengakses film melalui jalur resmi, semakin menurun pula pendapatan Box Office, yang pada akhirnya memengaruhi pendapatan pekerja kreatif tersebut.
ADVERTISEMENT
Dampak pembajakan semakin dirasakan oleh rumah produksi film kecil atau produser independen yang sangat bergantung pada keuntungan dari tiket bioskop dan situs legal seperti Netflix dan Disney+. Menurut Asosiasi Produser Film Indonesia, negara kita mengalami kerugian sebesar 5 (lima) triliun rupiah setiap tahun akibat pembajakan film, yang tentunya menghambat kemajuan industri film dalam negeri. Dana sebesar itu dapat digunakan untuk memproduksi lebih dari 50 film berkualitas tinggi setiap tahunnya atau mendukung pelatihan kreator muda. Kalau terus seperti ini, bagaimana industri film tanah air dapat bersaing dan dikenal di tingkat global? Biasanya, negara-negara dengan tingkat pelanggaran hak cipta yang tinggi sering kali kehilangan investasi asing di sektor kreatif karena dianggap tidak serius melindungi kekayaan intelektual.
ADVERTISEMENT
Selain merugikan hak ekonomi industri film, penggunaan situs ilegal ternyata juga membawa risiko keamanan bagi pengguna. Yang pernah atau sering menggunakan platform tersebut pasti familiar dengan banjirnya iklan, serta jendela pop-up agresif yang tiada hentinya. Hal ini disebut Adware, yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk mencuri data pribadi, seperti informasi login, nomor rekening, hingga kartu kredit.
Jika salah satu tombol pop-up yang sering tiba-tiba muncul tidak sengaja ditekan, seringkali dapat mengunduh bloatware ataupun malware. Bloatware bisa mengurangi performa perangkat dengan memakan memori dan masa pakai baterai, sedangkan malware atau yang biasa dikenal sebagai ‘virus’ dapat mencuri data sensitif seperti kata sandi. Ironisnya, biaya kerugian akibat serangan siber ini justru bisa lebih besar dibandingkan biaya langganan layanan streaming film resmi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, kebiasaan mengonsumsi konten bajakan membentuk pola pikir yang merugikan masyarakat. Ketika pelanggaran hak cipta menjadi hal yang umum, masyarakat cenderung menormalisasi pelanggaran ini, sehingga karya seni seperti film, musik, atau gim dianggap sebagai sesuatu yang gratis dan tidak bernilai. Kurangnya penghargaan terhadap para kreator dapat merusak dunia kreatif secara keseluruhan karena penciptaan karya baru tidak akan berlanjut tanpa dukungan finansial yang memadai.
Budaya ‘hiburan instan’ akibat pembajakan juga menciptakan generasi yang kurang menghargai nilai hukum dan etika. Hal ini dapat meluas ke bidang lain, seperti pelanggaran hak cipta untuk perangkat lunak (software), buku, atau karya kreatif lainnya. Pada akhirnya, kebiasaan mengonsumsi karya bajakan bukan hanya masalah ekonomi, namun juga membuat isu moral yang lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Ancaman pidana bagi pelaku pembajakan di Indonesia tidak main-main; hukuman penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda hingga 4 (empat) miliar rupiah. Meskipun demikian, tetap saja banyak situs film bajakan yang beredar, yang dapat diakses oleh siapapun—sekali di-takedown, selalu saja muncul situs baru sebagai penggantinya. Oleh karena itu, kesadaran hukum hak cipta maupun kesadaran akan pentingnya menghormati hak cipta harus dimulai dari diri sendiri.
Sebagai penonton yang bertanggung jawab, kita memiliki peran penting dalam mendukung industri kreatif. Pilihlah platform resmi untuk menikmati film favorit Anda, karena setiap tiket yang dibeli atau langganan yang dibayar adalah bentuk apresiasi nyata terhadap kerja keras para pembuat film. Selain memberikan kontribusi nyata, menonton di layar lebar dengan suasana bioskop yang nyaman atau di platform legal dengan kualitas HD dan bebas iklan juga jauh lebih memuaskan, bukan?