Diajeng

Galan Rezki
Mahasiswa Ilmu komunikasi universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
21 November 2020 6:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galan Rezki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto : Syafrina Mar'atus Shalihah
Petang yang awan, ringkik yang cekik. Di atasnya bulan bersiul dengan nada yang serupa angklung tua. Sementara di ukir kayu kering, sendawa yang gurau dari okestra semut melata terpintal sayup. Malam begitu ramai meski terlihat sepi. Becak lusuh disimpang jalan terus saja kupandangi. Tak ada Ainun, tidak pula Hayati. Di sampingnya hanya angkringan kecil yang segera akan tutup.
ADVERTISEMENT
Suasana itu kian hingar menemani anganku tentangmu. Perempuan yang sejak tiga tahun lalu kupandangi tanpa pernah berani kudekati. Tidak peduli, katanya kau pernah bunting karena terlalu sering bermain petasan. Aku akan tetap setia dalam doa dan kebodohan.
Iya, kabarnya kekasihmu pengusaha mercon yang pandai meledakkan hati setiap gadis. Mereka bahkan menjadi janda sebelum waktunya. Berani sekali ia menelantarkanmu dalam ketiadaan kehormatan. Sementara aku mengagungkanmu dalam detak-detak lamunan. Tentu saja yang kulakukan adalah benar. Siapapun akan mengakui bahwa hati juga butuh berkoalisi.
Kali ini aku hanya akan berandai sebagai bumbu perihal kasih tak sampai. Walau sebenarnya, berandai tak pernah benar-benar membuat seseorang menjadi pandai. Berandai hanya istilah lain dari kata “usai”. Berandai adalah perantara kata “jika” dan “maka”. Dan kali ini... aku adalah “jika” yang akan kau usaikan dengan “maka”.
ADVERTISEMENT
Jika SMA, maka kau kusebut XII-IPS 2. Tidak apa-apa, hanya angan-anganku yang membentuk karangan sejarah seolah kita pernah sesuku dan sebangku. Tapi ketahuilah, anganku memang tanggung-tanggung. Tidak pernah berani membuat skenario bahwa kita adalah sehati. Mana mampu seorang aku memboyong Putri Majapahit, bahkan meskipun itu berangan-angan.
Lagipun aku tidak megenal maja atau rasa yang katanya pahit. Tempat itu memang gaung. Tapi kenapa tidak kau letakkan almamatermu yang selalu merah di Bahu kota, atau kerudung coklat polos yang kerap kali kau pakai. Setidaknya, kalau aku hendak berjalan dan kemudian singgah, aku akan kenal kalau tempat itu adalah sawah ladang tempat kau disemai dan tumbuh sebagai belia yang indah.
Diajeng, mari lupakan itu sejenak. Kemarikan telingamu dan dekatlah. Ada cerita yang harus tersampaikan. Maaf karena aku tidak peduli kalau itu telingamu. Ingat dan berhati-hatilah, rayuanku akan memaksamu dengan sangat kejam. Maka untuk sekarang, berhentilah menolak.
ADVERTISEMENT
Jadi, selepas aku bersemedi di WC tadi, aku beroleh kesimpulan bahawa hati memang kadang tidak bisa diajak bernegosiasi. Kenyataannya, kita akan selalu butuh asupan gizi dari sari cinta yang tercecer disetiap ekspektasi. Dan benar saja, kau telah memuaskanku dengan birahi utopisme yang kubuat sendiri. Lagi-lagi hidup itu indah..... dan naif tentunya.
Kemarin, tepat ketika orang-orang berdemo di depan kantor rektor, aku pula mendapat tekanan yang sama. Asal kau tau, ibu dan bapakku kekuatannnya lebih dari seribu masa aksi. Tuntutannya sedikit berat, “Ndang wisudah yo le “. Maaf, kuucapkan keinginan mereka dengan bahasamu. Maklumilah, mungkin karena aku pernah berniat membuat mereka turut gandrung kepadamu.
Tapi kubilang, aku sedang sibuk menuntaskan skripsi yang judulnya namamu. Kutuliskan rumusan masalahnya tentang kesenjangan kita, lalu aku mati di pembahasan. Wajar saja to ?. Tidak ada orang yang sejago aku, membuat tugas akhir dengan dosen pembimbing adalah perasaanku sendiri.
ADVERTISEMENT
Entah kapan aku bisa selesaikan ini. subjek penelitianku itu kamu. Bagaimana mungkin ?. Tiada nomor ponsel ataupun whatsApp. DM instagrammu saja aku tak mampu.
Sebentar....!!! angkringan yang kuceritakan tadi sudah tiada. Tapi aku akan tetap disini, atapku langit, lenteraku bulan dan nyamukku adalah tebaran bintang-bintang. Sekarang hanya ada aspal yang hangat, tiang lampu jalan yang berkarat dan tong sampah yang menggigil kedinginan.
Tapi sudahlah, mereka adalah benda-benda yang ramah. Tidak ada yang lebih arif dari mereka yang turut setia mendengarkan ocehanku malam ini.
Dengar Diajeng, kembali kusiulkan padamu. Ingatanku adalah mesin tik yang paling romantis. Dengannya akan tertulis tentangmu di sepanjang petak aspal ini. Torehannya akan abadi bersama roda-roda mobil yang lewat, asap tronton tua, atau bahkan di telapak kaki gelandangan sepertiku. Di situ tidak akan ada najis meskipun dijatuhi ludah anjing gila bernama pacarmu...., atau suamimu.
ADVERTISEMENT
Tempat itu akan tetap suci sebagaimana masjid yang kau bangun di bahtera hatimu. Selepas itu, mungkin sudah waktunya aku sadar bahwa skripsiku perlu berganti judul. Tidak lagi namamu, melainkan nama orang yang lebih bisa menyadarkanku ketika kantuk mulai menjajah di waktu subuh. Insyaa Allah.
Sadakallahul Adziim.
Galan Rezki Waskita (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang)