Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Disparitas Struktural dalam Politik Industrial: Buruh dalam Pusaran Arus Kapital
1 Mei 2025 12:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hari Buruh 2025 kembali menjadi panggung kepiluan, bukan perayaan. Di tengah gegap gempita orasi dan konvoi massa buruh di berbagai kota, tersembunyi satu ironi yang menyesakkan: ribuan pekerja diberhentikan tanpa perlindungan yang layak. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, buruh menilai bahwa regulasi ini lebih menguntungkan pengusaha dan melemahkan perlindungan terhadap pekerja. Salah satu dampak yang dirasakan adalah penetapan upah minimum yang tidak lagi melibatkan unsur tripartit, serta kemudahan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
ADVERTISEMENT
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat bahwa pada Januari 2025 terdapat 3.325 pekerja yang terkena PHK, dan jumlah tersebut melonjak menjadi 18.610 pekerja pada Februari 2025 (Kompas.com, 2025). Sektor manufaktur, terutama industri tekstil, furnitur, dan elektronik, menjadi penyumbang terbesar PHK. Provinsi Jawa Tengah tercatat sebagai yang paling terdampak dengan 10.677 pekerja kehilangan pekerjaan pada Februari 2025. Diikuti oleh Riau (3.530 orang), DKI Jakarta (2.650 orang), Jawa Timur (978 orang), dan Banten (411 orang). Ini bukan sekadar statistik kering, tapi potret kelam dari relasi industrial yang pincang—di mana negara, buruh, dan korporasi berdiri tidak sejajar di atas panggung demokrasi ekonomi. PHK tidak lagi sekadar isu hubungan kerja, tetapi menjadi persoalan politik publik, menyangkut hak atas penghidupan layak, jaminan sosial, dan stabilitas sosial.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kini bukan hanya mekanisme efisiensi perusahaan. Ia telah menjelma menjadi simbol dominasi kekuasaan kapital atas kerja. PHK terjadi dengan mudahnya, bahkan tanpa dialog yang memadai. Padahal, dalam sistem hubungan industrial yang sehat, keputusan sebesar itu seharusnya menjadi hasil dari proses perundingan tripartit: buruh, pengusaha, dan negara. Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Negara kerap kali hanya berperan sebagai fasilitator kepentingan investasi, bukan sebagai pelindung hak-hak dasar warga pekerja.
ADVERTISEMENT
Kita menyaksikan bahwa PHK tidak bisa dilepaskan dari politik. Ini adalah bentuk violence of policy yang menguntungkan korporasi dengan dalih efisiensi dan fleksibilitas pasar kerja. Sejak disahkannya UU Cipta Kerja, orientasi ketenagakerjaan semakin berpihak pada korporasi. Pasal-pasal yang seharusnya menjamin keamanan kerja kini digantikan dengan skema kontrak jangka pendek, outsourcing tanpa batas, dan prosedur PHK yang longgar. Semua dibungkus dalam retorika “kemudahan berusaha”, seolah-olah kesejahteraan buruh bisa dikompensasi oleh pertumbuhan ekonomi belaka.
Dari perspektif teori politik hubungan industrial, situasi ini mencerminkan kegagalan institusional dalam menjaga keseimbangan kuasa. Realitas ini menunjukkan buruh makin terdorong dalam posisi yang rapuh. Tidak hanya kehilangan pekerjaan, mereka juga kehilangan rasa aman, jaminan sosial, dan bahkan legitimasi politik sebagai warga kerja. PHK bukan lagi sekadar masalah ekonomi, tapi sudah menjadi gejala ketimpangan struktural. Sebagaimana dipaparkan oleh Burawoy (1979), tindakan korporasi seperti PHK merupakan cara mempertahankan dominasi kelas kapital atas tenaga kerja, menggunakan mekanisme hukum dan legitimasi negara sebagai alat kontrol.
ADVERTISEMENT
PHK massal bukan hanya menandakan krisis ekonomi—ini adalah krisis demokrasi industrial. Ketika buruh tak lagi punya kendali atas nasibnya, ketika negara diam atau bahkan aktif menyokong logika akumulasi kapital, maka yang terjadi adalah penggusuran hak sosial atas nama pertumbuhan. Buruh tak hanya kehilangan pekerjaan, mereka kehilangan hak untuk bersuara dalam sistem yang mereka gerakkan dengan tenaga dan waktu.
Selain itu salah satu praktik yang terus berulang adalah penahanan ijazah oleh perusahaan. Modus ini menjadi alat kontrol terhadap pekerja, memaksa mereka untuk bertahan dalam lingkungan kerja yang merugikan karena takut kehilangan dokumen penting untuk masa depan. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 2017, penahanan dokumen pribadi adalah tindakan ilegal. Namun dalam praktiknya, hukum kehilangan giginya. Sebuah laporan investigasi BBC Indonesia (2023) mencatat bahwa praktik penahanan ijazah masih jamak ditemukan di sektor garmen, logistik, dan ritel, dan banyak pekerja merasa tidak punya daya tawar untuk melawan. Kasus terbaru yang cukup menghebohkan terjadi di Surabaya, di mana CV Sentosa Seal dilaporkan oleh mantan karyawannya karena menahan ijazah mereka. Perusahaan tersebut juga diduga melakukan pelanggaran lain, seperti pemotongan gaji karyawan yang menunaikan ibadah salat Jumat dan denda besar bagi karyawan yang tidak hadir bekerja (Kompas, 2025).
ADVERTISEMENT
Lalu batas usia bekerja juga menjadi bentuk diskriminasi struktural yang diabaikan negara. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia sering mematok usia maksimal 35 tahun untuk lowongan pekerjaan, bahkan untuk posisi yang tak memerlukan kekuatan fisik khusus. Hal ini menjadikan banyak pekerja rentan, terutama mereka yang terkena PHK atau keluar dari dunia kerja karena alasan keluarga atau kesehatan. Alih-alih menciptakan sistem ketenagakerjaan yang inklusif dan manusiawi, negara seolah mengamini kapitalisme selektif yang hanya menghargai usia produktif demi efisiensi dan keuntungan.
Persoalan ketimpangan struktural menjadi akar dari relasi produksi kapitalis yang secara inheren mengeksploitasi tenaga kerja demi akumulasi laba. Buruh tidak hanya diperlakukan sebagai komoditas, tetapi juga dipaksa menjual tenaga kerja dengan harga serendah mungkin agar nilai lebih (surplus value) sebesar-besarnya dinikmati oleh kapitalis (Marx, 1867/1992, Capital, Vol. I). Negara, alih-alih menjadi wasit yang adil, seringkali berada di sisi yang memfasilitasi pengusaha, melalui regulasi longgar, lemahnya pengawasan, dan impunitas terhadap pelanggaran ketenagakerjaan yang memiliki hak konstitusional atas pekerjaan yang layak, seperti dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Serikat pekerja yang masih kerap disingkirkan dari proses perumusan kebijakan, di sisi lain, negara tak ubahnya sebagai neoliberal state yang justru membungkam perlawanan dengan retorika “stabilitas nasional” dan “iklim investasi”. Praktik-praktik semacam ini adalah manifestasi dari relasi kuasa yang timpang antara buruh dan pemilik modal, dengan pemerintah sebagai penengah yang lemah. Melalui lensa teori hubungan industrial kritis, seperti yang dikembangkan oleh Hyman (1975), menekankan bahwa sistem ketenagakerjaan tidak bisa netral; ia selalu mencerminkan kepentingan kelas dominan—dalam hal ini, kapital dan korporasi, yang di dalam bandul sejarah politik kebangsaan membawa pada pergeseran peran negara dari cita-cita para tokoh bangsa terhadap welfare state beralih pada haluan neoliberal state (Jessop, 2002).
Belum tuntas persoalan “domestik”, haluan neoliberalisasi membawa konsekuensi pada situasi ekonomi politik global seperti perang tarif dagang yang terjadi beberapa tahun ini, terutama antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Bagi buruh, perang tarif ini bukan hanya soal pergeseran pasar atau kebijakan perdagangan antarnegara, melainkan juga persoalan langsung mengenai pengurangan lapangan pekerjaan, pergeseran industri, dan hak-hak mereka di pasar kerja global yang semakin terfragmentasi.
ADVERTISEMENT
Tuntutan Buruh dan Reformasi Struktural
Momentum May Day 2025 ini, serikat pekerja menyuarakan enam tuntutan utama kepada Presiden Prabowo Subianto, termasuk penghapusan sistem kerja outsourcing, penerapan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) hingga pembentukan Satgas PHK (Metrotvnews.com, 2025). Tuntutan ini bukan hanya soal kesejahteraan, tetapi seruan politik untuk mengembalikan hak-hak dasar buruh yang dikorbankan demi kepentingan modal. Ini adalah bentuk artikulasi politik kelas pekerja yang selama ini dipinggirkan. Upaya mereka untuk menegaskan kembali bahwa kerja bukan sekedar komoditas, melainkan hak sosial yang harus dilindungi.
Pemerintah harus memberi ruang yang lebih besar untuk serikat pekerja dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk dalam penetapan upah layak dan jaminan sosial. Peran kolektif ini harus diperkuat agar serikat buruh bisa berfungsi sebagai garda depan dalam membela hak pekerja tanpa tekanan dari pengusaha maupun pemerintah. Lalu reformasi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU Cipta Kerja). Pemerintah perlu mengubah atau mengoreksi beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja, khususnya dalam hal outsourcing dan pemutusan hubungan kerja yang lebih mudah tanpa pesangon yang memadai. Ketidakpastian akibat praktik kontrak kerja berulang dan tanpa jaminan menjadi salah satu keluhan utama buruh di Indonesia. Pemerintah harus menetapkan kebijakan yang memastikan bahwa kontrak kerja bersifat permanen setelah beberapa tahun bekerja, atau setidaknya memberi pekerja akses pada jaminan pekerjaan yang lebih stabil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menyambut ketegangan ekonomi politik global, pemerintah perlu menyediakan program pelatihan yang memadai untuk membantu buruh beradaptasi dengan perubahan teknologi dan kebutuhan industri yang semakin berkembang. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang efektif dan pelatihan ulang dapat membantu pekerja yang kehilangan pekerjaan untuk kembali ke pasar tenaga kerja.
Di luar perubahan regulasi, pendekatan dalam menciptakan budaya kerja yang adil harus ditanamkan di semua sektor industri. pengusaha dan pemerintah harus menciptakan standar lingkungan kerja yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, memberikan rasa aman bagi pekerja, serta memastikan kesejahteraan mereka. Pada akhrinya perlindungan terhadap buruh di Indonesia memerlukan reformasi struktural yang berfokus pada penguatan regulasi ketenagakerjaan, memperbaiki hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja, serta meningkatkan kesadaran buruh terhadap hak-hak mereka. Langkah-langkah ini harus didorong oleh niat untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih manusiawi dan berkeadilan, di mana buruh tidak hanya dilihat sebagai komoditas produksi, tetapi juga sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT