Geger Santet, Tragedi Pembantaian Dukun di Banyuwangi Tahun 1998

Generasi Milenial
Generasi Milenial
Konten dari Pengguna
28 Desember 2021 13:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pembunuh. Foto: Pixabay/ghostw1997
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pembunuh. Foto: Pixabay/ghostw1997
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai The Sunrise of Java, Banyuwangi dikenal sebagai salah kota di Pulau Jawa yang memiliki panorama nan elok. Di antara banyaknya destinasi wisata, dua yang paling terkenal adalah Kawah Ijeng dan Pantai Plengkung yang disebut memiliki ombak terbaik di dunia.
ADVERTISEMENT
Di balik keindahan, kota di bagian paling timur Pulau Jawa ini menyimpan catatan sejarah kelam. Tragedi yang terjadi pada Februari hingga September 1998 tersebut masih meninggalkan kenangan pahit bagi warga Banyuwangi sampai saat kini.

Mengenal Geger Santet

Adalah Geger Santet, sebuah tragedi yang meneror para dukun di Banyuwangi pada tahun 1998. Banyuwangi memang sempat dikenal sebagai kota santet karena aktivitas spiritualnya yang cukup masif pada masa itu. Tak hanya untuk mencelakai orang lain dan pesugihan, pengobatan yang dilakukan oleh dukun juga termasuk dalam santet.
Namun, karena santet terlanjur mendapat stigma buruk dari orang awam, para dukun di Banyuwangi pun kerap mendapatkan teror dari kelompok orang tak dikenal.
Demi menjaga keamanan wilayahnya, Purnomo Sidik selaku Bupati Banyuwangi kala itu akhirnya memberi perintah pada para camat dan kepala desa melalui radiogram. Mereka diminta untuk mendata semua warganya yang berprofesi sebagai dukun demi menjaga keamanan wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, radiogram tersebut bocor dan diketahui oleh kelompok orang tak dikenal. Kelompok tersebut akhirnya datang secara bergilir untuk "membasmi" para dukun. Bahkan, ada pula rombongan pembunuh yang diangkut truk dan melakukan pembantaian sadis di beberapa tempat di Banyuwangi.
Dalam tragedi yang disebut Gerakan Antitenung atau Gantung tersebut, para pembunuh menyasar nama-nama yang terdapat dalam data warga berprofesi dukun yang telah terkumpul sebelumnya.
Masyarakat yang tidak percaya dukun juga memberikan informasi tambahan pada kelompok pembunuh tersebut mengenai tempat tinggal para dukun yang belum terdata. Mereka percaya bahwa kelompok itu adalah utusan pemerintah pusat.
Pasca jatuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998, pemerintah pun meluruskan bahwa gerakan tersebut bukan dari pemerintah atau aparat keamanan.
ADVERTISEMENT

Kemunculan "Ninja"

Cuplikan pemberitaan Pembantaian Banyuwangi di media cetak. Foto: Wikipedia
Tak berhenti sampai di situ, muncul kelompok pembunuh lain yang berpakaian bak seorang ninja. Mereka memakan baju serba hitam dan menutupi sebagian wajahnya. Bahkan, ada yang menyebut bahwa kelompok tersebut dapat terbang dan meloncat dari atap ke atap.
Kelompok ninja ini disebut sebagai kelompok yang paling sadis pada tragedi tersebut. Pasalnya, mereka melakukan pembantaian hampir setiap waktu, baik siang hari maupun malam hari. Tak hanya dukun, kelompok tersebut juga membunuh ulama, ustaz, dan tokoh agama lainnya di Banyuwangi.
Warga pun akhirnya berusaha menyelamatkan diri dengan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Para ulama pun menuntut pemerintah pusat untuk segera mengatasi masalah tersebut.
Tak lama setelah itu, pemerintah pusat menurunkan tim khusus untuk memberantas pada ninja. Mereka yang sebelumnya terlibat dalam pembunuhan dukun juga ditangkap dan diadili.
ADVERTISEMENT
Akibat kejadian itu, pemerintah daerah Banyuwangi berusaha menghapus stigma wilayahnya sebagai kota santet. Salah satunya dengan mengembangkan objek pariwisata yang akhirnya kini menjadi sorotan nasional hingga internasional. (mit)