Penut: Bertemu Penut (Part 7)

Generasi Milenial
Generasi Milenial
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2022 16:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cerita horor Penut. Foto: Syarafina Yusof/Unspalash
zoom-in-whitePerbesar
Cerita horor Penut. Foto: Syarafina Yusof/Unspalash
ADVERTISEMENT
Setiba di makam kecil itu, udara dingin menyerbuku. Padahal, seharusnya matahari sudah tampak di ufuk timur. Tetapi kegelapan menyelimuti langit dan pegunungan.
ADVERTISEMENT
Aku mulai merasa ragu untuk mendekati kuburan itu yang tampak begitu gelap karena tidak ada satu pun pencahayaan di langit. Ketika mataku sudah beradaptasi dengan kegelapan, aku melihat makam itu kosong, tidak ada seorang pun di sana.
Keberanianku meningkat saat aku ingat bahwa mayat keponakanku dibawa penut. Kata orang-orang, ketika mayat bayi dibawa penut artinya bayi itu akan dimakan oleh makhluk jelek itu. Keponakanku akan meninggal dua kali tanpa pernah hidup sekali pun kalau itu terjadi. Aku menarik napas dalam lalu melangkahkan kakiku perlahan.
Saat itulah aku mendengar suara sesuatu di dekat makam. Aku mencoba mendengarkan lebih dalam, lebih saksama. Semakin aku mendekat, perutku semakin bergolak. Dalam kegelapan yang pekat di dekat makam, aku melihat sesuatu berwarna putih bergerak-gerak. Gerakannya ke atas dan ke bawah, berulang-ulang.
ADVERTISEMENT
Aku meneguk ludah. Sekarang, aku mengenal suara itu. Suara seseorang sedang mengunyah. Bibirku terkatup rapat dan seluruh tubuhku bergetar. Hidungku membaui keamisan di udara.
Kalau aku memejamkan mataku sekarang, pasti tidak akan ada bedanya. Namun, aku harus terus melihat ke depan untuk memastikan bahwa suara yang kudengar bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi, bagaimana kalau itu Penut?
Kakiku menginjak daun kering dan menimbulkan suara keras yang menggema. Setelah itu, hutan kembali menjadi sepi. Aku tidak mendengar suara burung atau kelelawar atau apa pun yang bisa membuatku yakin bahwa aku tidak sendirian di hutan.
Warna putih yang tadi bergerak di dekat makam menjadi diam. Aku menahan napas ketika sadar bahwa warna itu adalah kafan. Kafan itu kembali bergerak, kali ini tidak ke atas dan ke bawah, tetapi bergerak meninggi. Dia berdiri.
ADVERTISEMENT
“Udin….” Kembali aku mendengar suara Suami Kak Siseh. “Udah habis, Din.”
Aku mundur selangkah. Jantungku berdegup kencang.
Kafan itu berjalan mendekat ke arahku. Di balik kafan yang mendekat itu, aku melihat kafan lain yang lebih kecil—menggantung di ujung makam. Aku tidak bisa mengalihkan tatapan dari kafan kecil itu sampai tidak sadar bahwa penut sudah ada di depan wajahku.
Wajahnya begitu hitam dengan darah menetes di ujung dagunya. Yang bisa kulihat hanyalah kafan yang melingkari wajahnya. Kafan kotor dengan bercak darah di mana-mana. Kalau aku berteriak sekarang, aku yakin aku akan pingsan.
Penut itu perlahan membuka kafannya. Memperlihatkan kepalanya yang berbentuk aneh, terlihat seperti kepalan nasi yang tidak beraturan bentuknya. Dia tersenyum menunjukkan gigi-gigi putihnya.
ADVERTISEMENT
Aku masih berdiri di depannya ketika dia telanjang tanpa kafan menyelimuti tubuhnya. Namun, saat dia berjalan mendekat dan menyentuh lenganku. Segalanya menjadi gelap. Dan, hening. (day)