news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kegagalan BEM dalam Menemukan Relevansi

Georgius Benny
Political Analyst
Konten dari Pengguna
20 Februari 2023 5:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) adalah salah satu organisasi mahasiswa (ormawa) yang ada di kampus. BEM bersama dengan banyak ormawa lainnya memainkan peran dalam sebuah sistem pemerintahan yang dikenal dengan istilah student governance.
ADVERTISEMENT
Nomenklatur "eksekutif" menunjuk kepada fungsi BEM dalam sistem student governance yang menjalankan fungsi eksekutif sebagaimana dalam konteks negara dijalankan oleh presiden beserta jajaran lembaga di bawahnya.
Fungsi eksekutif yang dijalankan oleh BEM tidak berbeda sama sekali dengan yang dijalankan oleh rumpun kekuasaan eksekutif dalam konteks negara, yaitu merumuskan dan melaksanakan kebijakan.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh BEM biasanya berkutat di sektor advokasi isu kemahasiswaan, pengembangan minat bakat, pengawalan isu sosial politik dan pergerakan sosial, hingga urusan pengabdian kemasyarakatan.
Ilustrasi mahasiswa di Yogyakarta. Foto: Deshana/kumparan
Jika menilik kepada sejarahnya, BEM merupakan organisasi yang menjadi sarana berpolitik bagi mahasiswa untuk turut terlibat dalam fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Sebelum BEM, dikenal istilah Dewan Mahasiswa (Dema) atau Senat Mahasiswa (Sema).
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan NKK/BKK yang keluar pada tahun 1978 membenamkan gerakan mahasiswa dengan dalih bahwa fokus mahasiswa adalah menimba ilmu, bukannya terlibat dalam politik. BEM bangkit kembali di periode 1990-an menjelang reformasi.
Sejarah yang penuh perlawanan tersebut turut menyumbang corak BEM sebagai pressure group dalam dinamika sosial politik di Indonesia. Peristiwa gerakan #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu menjadi salah satu produk dari keikutsertaan BEM dalam gerakan sosial.

Krisis Identitas BEM

Ilustrasi mahasiswa. Foto: shutterstock
Namun, BEM menghadapi waktu-waktu senjakalanya pasca dihantam pandemi covid-19 hingga harus bersaing dengan popularitas kebijakan Kampus Merdeka gagasan Nadiem Makarim. Eksistensi BEM semakin dipertanyakan, khususnya terkait dengan relevansinya di era saat ini.
Permasalahan tersebut dapat dilihat dari angka pendaftar BEM dan Kampus Merdeka yang berbanding terbalik. Minat kepada BEM semakin rendah. Banyak faktor di balik hilangnya gairah mahasiswa kini untuk aktif berorganisasi di dalam BEM.
ADVERTISEMENT
Faktor pertama sekaligus yang paling utama adalah BEM gagal dalam menawarkan benefit dibanding alternatif kegiatan lainnya seperti Kampus Merdeka atau komunitas-komunitas yang bergerak di isu yang lebih spesifik.

BEM vs Everybody

BEM dan gerakan sosial. Sumber: Arsip Penulis.
Kampus Merdeka menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda dalam kancah perguruan tinggi di Indonesia, yaitu kesempatan untuk mengenal dan terjun langsung dalam dunia kerja, bahkan saat masih semester-semester awal. Kesempatan ini sekaligus membuka cakrawala baru bagi mahasiswa untuk memperluas jaringan dan memperpanjang resume untuk mempersiapkan dunia pasca kampus.
Bahkan di banyak tempat, kegiatan magang baik itu melalui jalur Kampus Merdeka atau magang mandiri banyak yang menghasilkan secara finansial. Sesuatu yang tidak ditawarkan oleh BEM yang justru seringkali, mahasiswa terpaksa merogoh kocek pribadi untuk mendanai program kerja BEM karena telatnya dana dari kampus.
ADVERTISEMENT
Selain itu, alternatif kegiatan lain seperti komunitas-komunitas yang mulai menjamur memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk aktif dalam isu yang lebih spesifik mulai dari isu lingkungan, sosial, keseteraan gender, kepemudaan, dan sebagainya. Komunitas ini juga tidak banyak menuntut anggotanya dalam konteks kinerja karena sifatnya yang voluntarisme.
Kampus Merdeka juga mereduksi makna dan kualitas daripada gerakan mahasiswa. Kampus Merdeka dan gerakan mahasiswa ibarat dua magnet yang saling tarik menarik. Sejauh ini Kampus Merdeka unggul dalam menjawab kebutuhan dan kepentingan mahasiswa. Gerakan seolah menjadi opsi nomor sekian bagi mahasiswa.
ADVERTISEMENT

Politik Kampus yang Kuno

com-Ilustrasi Lulus Kuliah Foto: Shutterstock
Adagium kampus adalah miniatur negara rasanya memang tepat, terlebih jika dibicarakan dalam konteks politik. Politik kampus hari ini terkesan kuno dan cenderung masih terjebak dalam cara-cara lama.
Mulai dari persaingan atas nama gengsi atau harga diri kelompok. Kelompok yang dimaksud bisa berupa program studi, fakultas, UKM, organisasi eksternal, hingga kelompok dengan poros politik tertentu.
Persaingan tersebut dimaksudkan dalam perebutan kekuasaan menjadi pimpinan BEM baik di tingkat universitas dan juga fakultas. Tidak beda jauh dengan yang kita saksikan di media bagaimana politisi dari tiap partai politik pengusung capres tertentu saling sikut demi memenangkan jagoannya.
ADVERTISEMENT
Politik kampus seolah hanya "gladi bersih" dari helatan politik nasional di masa depan. Dapat kita saksikan bagaimana kompaknya aliansi mahasiswa yang mengalami dualisme organisasi atau saling lempar bangku dalam kongres nasional. Sangat familiar dengan apa yang dilakukan oleh politisi-politisi senior.

Gagal untuk Tetap Relevan

Ilustrasi mahasiswa sedang mengerjakan tugas. Foto: BongkarnGraphic/Shutterstock
Hal yang paling mendasar lagi fundamental ialah urgensi konsep student governance yang dijalankan oleh BEM yang dianggap mulai tidak relevan. Negara mahasiswa yang dulu dijadikan alat perjuangan, kini justru mengalami dekadensi sedemikian rupa hingga peran dan fungsinya tiada beda dengan organisasi macam OSIS.
Jabatan Ketua BEM yang menggunakan nomenklatur "Presiden Mahasiswa" hingga jajarannya yang disebut Menteri Koordinator, Menteri, Sekretaris Kabinet, dan sebagainya yang seringkali menciptakan jarak antara ketua organisasi dengan anggotanya. Jika ketua organisasi dengan anggotanya saja berjarak, bagaimana hubungan antara "Presiden Mahasiswa" dengan "Konstituennya" bisa ideal?
ADVERTISEMENT
Istiqomah dengan konsep student governance menjadi pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh BEM. Apakah eksistensi BEM mesti ditunjang oleh konsep student governance? Tidak bisakah BEM berdiri tanpa status pemerintah mahasiswa ataupun nomenklatur eksekutif?
Lebih lagi untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu kembali ke pertanyaan mengenai eksistensi daripada BEM itu sendiri. Filsafat eksistensialisme tepat dijadikan pendekatan dalam menjawab eksistensi daripada BEM. Sebagaimana yang disebutkan Jean Paul Sartre "Eksistensi mendahului Esensi". Artinya "ada" menjadi hal yang perlu dijawab dahulu oleh BEM.
Penulis mengajukan alur berpikir melalui rentetan pertanyaan seperti berikut untuk menjadi pisau analisis dalam menjawab eksistensi BEM:
ADVERTISEMENT
Alur berpikir tersebut wajib dijawab oleh BEM agar ia senantiasa relevan atas dasar kebutuhan dari mahasiswa, bukan dipertahankan demi ego segelintir pihak.

Revolusi Paradigma BEM

Ilustrasi mahasiswa sedang mengerjakan tugas. Foto: StockImageFactory.com/Shutterstock
Jika ingin tetap eksis dan relevan, maka BEM harus merevolusi cara pandangnya terhadap fungsi serta pelaksanaannya. Paradigma BEM sebagai student governance harus dievaluasi total. Penulis menawarkan satu paradigma pemerintahan modern yang dapat diadopsi oleh BEM, yaitu less government but more governance.
Paradigma less-government but more governance terjadi dalam konteks memadatkan struktur pemerintahan dengan menggabungkan atau menghapuskan beberapa lembaga. Konsep student governance harus disederhanakan baik lembaga kemahasiswaan di luar BEM dan BEM itu sendiri.
BEM harus mampu untuk merampingkan struktur, namun meluaskan fungsi. Beberapa fungsi yang dapat dialihkan kepada organisasi lain harus mulai dilepaskan oleh BEM sehingga BEM bukanlah "tata surya" organisasi mahasiswa.
Ilustrasi mahasiswa muslim di Prancis Foto: Philippe Desmazes/AFP
Selain itu, perlu juga ditinjau pula aktivitas politik BEM. Masih perlukah BEM antar kampus saling beraliansi ketika aliansi tersebut justru menjadi ladang kepentingan politik kelompok tertentu. Ketika aliansi BEM justru menciptakan dikotomi antara "kampus besar" dan "kampus kecil"
ADVERTISEMENT
BEM juga perlu menawarkan alternatif yang menarik kembali minat mahasiswa. Alternatif yang tidak kalah dibanding apa yang ditawarkan oleh Kampus Merdeka ataupun komunitas. Tawaran alternatif tersebut dapat beragam rupanya mulai dari pembenahan sistem dan alur kerja, perluasan kesempatan membuka relasi dan koneksi untuk dunia pasca kampus, hingga dihapusnya cara-cara lama dalam berorganisasi.
Jika tantangan-tantangan tersebut dapat dijawab oleh BEM, maka niscaya BEM akan menemukan kembali relevansinya sehingga tidak akan kehilangan jatidiri. Jika gagal, maka rasanya wacana pembubaran BEM serta negara mahasiswa perlu dipertimbangkan secara serius.