Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menilik Ulang Feminisme Bersama Julia Kristeva
29 November 2020 20:32 WIB
Tulisan dari Raiza Kirana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbedaan gender atau seksualitas merupakan topik yang seolah tidak pernah ada habisnya.
ADVERTISEMENT
Rasanya, satu hal yang pasti dan tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan ini adalah pelabelan feminin dan maskulin yang seringkali otomatis tersemat. Tak jarang, terkadang pelabelan ini menuai permasalahan sebab masih dirasa sensitif oleh sebagian orang. Penyebabnya bukan lain dikarenakan adanya stereotip yang seakan sudah menjadi warisan di tengah-tengah masyarakat dimana kata feminin cenderung dikaitkan dengan segala sesuatu yang buruk atau lemah.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang pernah menyangka jika nyatanya prasangka turun temurun mengenai feminitas ini kemudian membawa masalah dan kerugian hingga hari ini. Seringkali, perempuan lah yang harus menanggung akibatnya sebab pada umumnya kata feminin biasa diasosiasikan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya permasalahan yang berkaitan dengan kesetaraan gender seperti tuntutan kesetaraan dalam lingkup pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik.
Adanya kesadaran perempuan untuk saling membantu dalam mendapat kesetaraan, mengawali munculnya gerakan feminis yang biasa disebut dengan feminisme. Sejak awal kemunculannya di abad ke 18, telah terjadi empat gelombang feminisme. Gelombang-gelombang pergerakan ini muncul dengan visi yang berbeda dalam setiap masanya. Pada gelombang pertama, aktifitas pergerakan feminis berfokus dalam pengupayaan kesetaraan hak wanita dengan laki-laki yang tercakup pada ekualitas dalam mendapat pendidikan yang layak, hak berpendapat, serta mendapat upah yang memadai untuk perempuan yang saat itu belum terpenuhi.
ADVERTISEMENT
Dalam masa penyebaran gerakan feminisme dan tuntutan atas pemenuhan hak-hak akan kesetaraan, sejatinya tidak semua orang memiliki pendapat yang sama. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta di lapangan yang menunjukkan adanya pihak yang kontra atau tidak sepaham dengan gagasan yang diusung oleh para feminis, khususnya di gelombang pertama. Fakta jika salah satu orang yang berlawanan dengan gagasan tersebut adalah wanita menjadikan hal ini kemudian menarik. Ia adalah Julia Kristeva, wanita kelahiran Bulgaria pada abad ke-20 tepatnya pada tahun 1941. Sosok yang dikenal luas sebagai teoritikus, ahli linguistik, kritikus sastra, dan juga filsuf.
Julia Kristeva memiliki anggapan bahwasannya penggunaan bahasa adalah awal dari ketidakadilan gender. Melalui salah satu pemikirannya mengenai representasi semiotik pada ranah bahasa, Julia Kristeva juga menekankan jika penggunaan kata feminin dan maskulin sejatinya tidak perlu dengan khusus dikaitkan dengan jenis kelamin. Sebab menurutnya, kedua hal tersebut merupakan dua hal yang berbeda. Serta, baginya ketertarikan pada seseorang tidak hanya berfokus pada fisik melainkan juga karena bahasa yang disematkan kepada orang tersebut. Dengan begitu, Ia beranggapan jika bahwasannya tidak perlu muncul keheranan jika seorang wanita atau perempuan memiliki sifat yang maskulin sedang laki-laki memiliki sifat feminin. Oleh sebab itu, Kristeva lebih menekankan feminisme kedalam sastra.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, Kristeva setuju jika feminisme pada gelombang pertama yang juga menjadi dorongan awal atas penuntutan kesetaraan merupakan pembawa perubahan yang besar dan membantu wanita mendapatkan keadilan. Namun baginya, gagasan yang diusung oleh gerakan feminis lama terlalu berkutat pada “kebebasan” yang sejatinya merupakan visi utama dari pergerakan gelombang tersebut. Kebebasan yang dimaksudkan disini merupakan wujud independensi para wanita dari budaya patriarki yang cenderung didominasi oleh maskulinitas. Dalam pandangannya, penuntutan hak atas kebebasan untuk wanita pada saat itu menciptakan beberapa masalah baru yang harus dihadapi setelahnya oleh para wanita.
Jurang perbedaan yang lebih dalam antara maskulinitas dan feminitas merupakan satu dari sekian permasalahan baru yang harus dihadapi. Terbukti dengan munculnya anggapan jika gerakan feminisme merupakan lawan dari maskulinisme. Hal ini kemudian menghasilkan pandangan jika segala gerakan yang mengatasnamakan feminisme kemudian menjadi berseberangan dengan kebabasan maskulinitas.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya menurut Kristeva, gagasan yang menjadi visi para feminis di gelombang pertama menyebabkan lenyapnya keunikan dan perbedaan yang dimiliki oleh para wanita. Lenyapnya keunikan yang dimiliki oleh tiap individu hasil pengaruh dari perbedaan budaya yang ada di lingkungan mereka sejatinya bukan merupakan hal yang baik. Sebab, dorongan yang kuat oleh feminisme lama akan gagasan “kebebasan” dan mendapat keuntungan seperti laki laki dalam berbagai bidang seakan menggeneralisasi wanita untuk menjadi sama. Menurutnya, fenomena yang mengatasnamakan feminis ini dapat melenyapkan keunikan atau karakteristik individu yang dimiliki tiap-tiap wanita melalui perbedaan yang dipengaruhi oleh ciri khas dari budaya masing-masing. Hal ini menimbulkan anggapan bahwasannya wanita tidak perlu lagi memikirkan budaya yang ada di sekitar mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tuntutan untuk menjadi setara dengan laki-laki menyebabkan wanita memiliki peran ganda. Yaitu, wanita memiliki keharusan untuk berperan di dalam ranah domestik dan juga publik yang kemudian menjadikan beban wanita justru bertambah. Sebab, wanita diharapkan mampu mengambil tindakan yang baik pada kedua ranah tersebut.
Selain adanya permasalahan baru yang muncul akibat feminisme gelombang pertama, Julia Kristeva memiliki beberapa opini ketidakcocokan mengenai konsep feminisme yang diusung oleh gelombang tersebut. Untuk itu, Kristeva merasa jika konsep yang sudah ada sebelumnya mengenai definisi dari feminisme perlu untuk ditinjau ulang. Salah satunya adalah munculnya dorongan bagi para wanita agar terbebas dari budaya patriarki serta dominasi maskulin hasil dari definisi kebebasan dari gerakan feminis lama. Salah satu wujud dari budaya yang dimaksud merupakan pemosisian peran ibu sebagai wujud dari patriarki. Hal ini dipandang keliru oleh Kristeva, melalui esainya yang bertajuk Woman’s Time (1981) Ia beranggapan jika seorang wanita berperan sebagai Ibu bukan merupakan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Dengan catatan, hal tersebut merupkan pilihan dari wanita yang bersangkutan dan tidak ada paksaan atau intervensi dari pihak lain.
ADVERTISEMENT
Baginya, menjadi seorang feminis di masa sekarang tidak harus menggeneralisasi wanita harus menjadi seperti apa dan bagaimana. Bukan juga karena keharusan untuk menjadi lawan dari maskulinitas. Sebaliknya, seorang feminis kini seharusnya membebaskan perempuan dalam menjadi apa dan bagaimana caranya atas keinginannya sendiri.