Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Student Hidjo: Perang Batin Anak Rantau
13 Mei 2025 14:04 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Ghina Aufa Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
"Saya harus pulang kembali ke Tanah Jawa!" kata Hidjo dalam hati, di akhir novel yang menggambarkan gejolak batin seorang pemuda pribumi di tanah kolonial.
ADVERTISEMENT
Kalimat itu tidak hanya menjadi penutup cerita Student Hidjo, tetapi juga penanda penting bahwa ada identitas yang nyaris hilang karena merantau terlalu jauh, baik secara fisik maupun batin.
Hidjo adalah representasi dari anak muda Indonesia awal abad ke-20 yang dikirim belajar ke negeri Belanda sebuah kehormatan besar, sekaligus beban psikologis yang diam-diam menjerat. Ia berhadapan dengan budaya yang sangat berbeda gaya hidup bebas, relasi antar gender yang longgar, dan godaan gaya hidup hedonis. Bagi Hidjo, ini bukan sekadar perjalanan akademik, tetapi juga pertarungan antara id, ego, dan super ego seperti yang dikaji melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud. Apa yang dialami Hidjo sesungguhnya masih relevan dengan anak-anak muda Indonesia hari ini yang kuliah keluar negeri, atau bahkan hanya beranjak ke kota besar.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit dari mereka yang mengalami culture shock, kehilangan pijakan, atau bahkan bingung terhadap identitas dirinya. Di satu sisi ingin dirinya dalam lingkungan baru, tapi di sisi lain merasa bersalah meninggalkan nilai-nilai lama yang mereka bawa dari rumah.
Perjuangan batin inilah yang dialami Hidjo. Ketika ia mulai meniikmati perhatian perempuan Eropa bernama Betje, dorongan id yakni keinginan untuk bersenang-senang, mulai berdominasi. Tapi jauh di lubuk hati, super ego nya yakni suara moral dari didikan Ibunya, budaya Jawa, dan nilai-nilai leluhur terus menegur.
Hidjo adalah contoh klasik dari "krisis identitas diaspora", sesuatu yang kini kerap kita dengar dalam obrolan anak rantau modern. Bedanya, perjuangan Hidjo terekam dalam sastra, dan kita bisa menyelami batinnya secara lebih mendalam.
ADVERTISEMENT
Sering kali, dalam narasi populer kita, orang yang “berubah” setelah keluar negeri dianggap berhasil. Mereka lebih bebas, lebih terbuka, lebih “Barat”. Tapi Student Hidjo memberi perspektif lain: bahwa perubahan itu juga bisa mengikis jati diri jika tidak disertai kesadaran dan kendali diri.
Mas Marco Kartodikromo menulis Student Hidjo lebih dari seratus tahun lalu, namun isu yang dibahas—antara tradisi dan modernitas, identitas dan godaan global, utara dan selatan dunia—masih menggema hari ini.
Di era globalisasi ini, saat anak muda bisa ‘berkelana’ hanya lewat layar HP dan algoritma, kita semua adalah “Hidjo” yang sedang bertualang—dan berisiko tersesat jika tak mengenal siapa diri kita sebenarnya.
Maka pulang bukan hanya soal kembali ke kampung halaman. Tapi juga pulang ke nilai-nilai, ke kesadaran akan siapa kita dan dari mana kita berasal.
ADVERTISEMENT