Mario Dandy dan Pelajaran Tentang Pola Asuh Orang Tua

Gigih Imanadi Darma
Nostradamus. Homo ludens.
Konten dari Pengguna
25 Februari 2023 10:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gigih Imanadi Darma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelaku penganiayaan di Pesanggrahan, Mario Dandy Satriyo, dihadirkan dalam jumpa pers di Mapolres Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pelaku penganiayaan di Pesanggrahan, Mario Dandy Satriyo, dihadirkan dalam jumpa pers di Mapolres Jakarta Selatan, Rabu (22/2/2023). Foto: Luthfi Humam/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat saya menulis catatan ini dan ketika Anda membacanya, Bumi yang kita tempati ini berputar. Perputarannya tak terasa. Kita jadi tidak pusing. Lain halnya dengan yang dirasakan Rafael Alun Trisambodo, pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) itu pusing sungguhan.
ADVERTISEMENT
Apa sebabnya? Putranya yang bernama Mario Dandy Satrio berbuat ulah. Bukan bermain lato-lato tak kenal waktu sehingga membuat kuping tetangga pekak, atau merengek minta jadi calon Presiden dan kalau tak dipenuhi mengancam bakal menyayat tangannya sendiri.

Duduk Perkara Masalah

Bukan dua hal itu. Melainkan remaja puber itu sedang kasmaran dengan seorang perempuan bernama Agnes Gracia Haryanto, sehingga setan manapun dari segala arah berebut membisiki ayat-ayat asmara: lakukanlah sesuatu untuk perempuan, dia akan klepek-klepek.
Mendengar aduan tambatan hati yang konon diganggu oleh masa lalu, kuping Mario Dandy terasa tipis. Darahnya mendidih 35 derajat Celsius. Jagoan kita ini tiba-tiba menguasai ilmu bela diri secara serampangan.
Skenario pertemuan diatur. Lalu pada sebuah malam David dihajar tanpa ampun, mantan pacar Agnes yang ternyata seorang anak pengurus pusat GP Ansor itu sampai terkapar di aspal jalan.
ADVERTISEMENT
Drama remaja ini terlalu panjang untuk saya ceritakan duduk perkaranya. Juga sekaligus terlalu banyak perspektif yang bisa dipecah untuk membahas dari sudut mana diskusi ini akan kita bawa. Namun saya ingin melanjutkan catatan ini dengan pendekatan psikologi.
Mario Dandy Satriyo pelaku penganiayaan ditampilkan di Polres Jakarta Selatan menggunakan baju tahanan. Foto: Luthfi Humam/kumparan
Jujur saja, saya terpikirkan juga tentang dampak drama ini pada institusi negara. Ditjen Pajak itu. Misalnya kemungkinan terdegradasinya kepercayaan publik yang berujung pada pembangkangan sosial.
Tetapi saya bukan Miftah Rinaldi Harapap, seorang kawan yang menghibahkan pikirannya untuk memikirkan negara terus-terusan tanpa rasa capek. Biarlah itu menjadi urusannya. Ini tanggal 25 dan saya tak mau ambil pusing membahas negara di akhir bulan.
Agar tidak melantur lebih jauh, biar saya mulakan apa yang sedikit saya ketahui tentang pola asuh orang tua pada anak. Biar begini rupa, sedikit-sedikit saya tahu tentang parenting.
ADVERTISEMENT
Kita yakin tidak satupun orang tua yang menghendaki anaknya jadi berandalan. Apalagi untuk ukuran Pak Rafael yang sangat sibuk mengumpulkan harta berpuluh miliar itu, manalah sempat dia mengajari Mario Dandy berkelahi apalagi sambil menggasak kepala orang. Jangankan sekejam itu, membayar pajak untuk Jeep Rubicon yang dipamerkan anaknya saja Pak Rafael belum sempat.
Tanpa Pak Rafael sadari saya yakin apa yang dilakukan oleh Mario Dandy adalah imbas pola asuh yang diterapkannya selama ini.

Empat Jenis Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak

Kita perlu berterima kasih kepada Diana Baumrind, sekitar tahun 1960-an perempuan asal Amerika Serikat yang seorang psikolog klinis itu mencetuskan empat teori yang hingga kini masih relevan, tentang pola asuh orang tua terhadap anak dan bagaimana dampaknya pada perkembangan psikologi anak.
ADVERTISEMENT
Empat teori itu antara lain authoritarian, athoritative, permissive dan terakhir ada uninvolved parenting. Apa itu?

1. Authoritarian Parenting

Sebagaimananya sebutannya, pola asuh ini mendasarkan pada kepatuhan sang anak. Aturan ketat dibuat. Hukuman disiapkan. Pendisiplinan habis-habisan. Tak ada atau hanya sedikit ruang bagi si anak untuk mengemukakan pendapat.
Hubungan anak dan orang tua seperti bawahan dan majikan. Tidak hangat. Asal bapak senang. Ini seperti bom waktu. Duarr! Meledak.
Maka lahirlah generasi manipulatif yang kelak jadi pembangkang. Demi terhindar dari hukuman si anak hidup penuh dengan kepalsuan. Di rumah jadi Ayam sayur. Di luar Singa mengamuk.

2. Ahoritative Parenting

Inilah pola asuh yang dianggap paling ideal. Pola asuh yang berada di titik tengah. Orang tua memberi batasan namun tetap memberi kepercayaan pada si anak untuk berbuat. Kesalahan disikapi dengan bijak. Anak diberi tanggung jawab agar bisa disiplin sambil tetap dikomunikasikan segala sesuatunya.
ADVERTISEMENT
Umumnya si anak akan tumbuh jadi pribadi yang terbuka namun memiliki value yang kukuh. Adaptasi sosialnya jempolan. Ceria, percaya diri, dan gampang saja menghadapi persoalan-persoalan hidup dan seterusnya.

3. Permissive Parenting

Alih-alih menampilkan diri sebagai seorang yang berwibawa, orang tua dengan pola asuh permissive santai saja dan cenderung seperti teman sendiri. Terdengar bagus. Tetapi sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan kedisplinan dengan takaran yang pas.
Aturan longgar. Banyak pemakluman. Apa-apa keinginan anak cepat dipenuhi. Orang tua gagal membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Yang penting anak tidak merengek.
Orang tua model ini baru akan kewalahan ketika dihadapkan pada masalah yang serius yang membuat mereka harus turun tangan langsung.
Dengan sentuhan seperti itu seorang anak akan menjadi pribadi yang egois dan agresif, dan sukar mandiri, minim tanggung jawab, melabrak aturan sosial dan agama, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT

4. Uninvolved Parenting

Inilah pola asuh yang paling buruk. Anak dilepas begitu saja. Jangankan komunikasi satu arah seperti pada pola authoritarian, di titik yang ekstrem orang tua dengan pola uninvolved ini bahkan tidak menetapkan aturan apapun atau memberi harapan pada sang anak.
Tidak ada waktu untuk berkomunikasi berarti juga tidak adanya bimbingan, perhatian-perhatian kecil yang mengekspresikan kasih sayang dan sebagainya.
Dalam prosesnya perkembangannya si anak akan jadi pribadi yang dungu secara emosional. Empatinya jongkok. Sehingga mudah saja bagi si anak untuk berbuat serong. Tak perduli serong ke kiri atau ke kanan, ke segala penjuru mata angin.

Memetik Pelajaran Tentang Pola Asuh Orang Tua

Mario Dandy Satriyo pelaku penganiayaan ditampilkan di Polres Jakarta Selatan menggunakan baju tahanan. Foto: Luthfi Humam/kumparan
Begini, dari kasus Mario Dandy saya melihat kombinasi antara authoritarian, permissive dan uninvolved parenting. Marilah kita ambil penyederhanaan dari teori-teori parenting di atas.
ADVERTISEMENT
Point pelajaran yang ingin saya highlight adalah fakta bahwa manusia itu bukan cuma segumpal daging yang diberi nyawa. Ada dua aspek yang sama krusialnya yang harus diisi oleh orang tua. Lahir dan batin. Jasmani dan rohani. Jasad dan jiwa.
Kendaraan mewah, pakaian bagus, rumah yang lantainya mengkilap, makanan dengan gizi lengkap, dan sebagainya. Semua itu penting, tapi tidak cukup. Hal-hal kebendaan seperti itu hanya bersifat jasadiah.
Orang tua bertanggungjawab atas kebutuhan rohaniah anak. Memberikan teladan. Dan teladan itu bisa menyalakan ruh si anak. Teladan itu ada dalam banyak bentuk aktivitas bersama dan perilaku.
Anak butuh diajak bermain, dibersamai dalam ibadah, diberi nasihat-nasihat kecil, menghadirkan obrolan-obrolan ringan yang diselingi humor, diterima pendapatnya, diapresiasi hal-hal yang sudah dilakukannya, tidak membanding-bandingkan, menyadari bakat dan potensinya, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Sebab anakmu tetaplah anakmu. Dia bukan milik fajar dan sang mentari. Kecuali kalau Anda memutuskan childfree. Tabik!