Merasa Kurang Tidak Sama dengan Kehilangan: Catatan Melankolia dari Seseorang

Gilang Mahadika
Anthropologist, and interested in Southeast Asian studies. #SameShitDifferentDay
Konten dari Pengguna
11 Agustus 2021 1:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/photos/church-b-w-indoor-old-room-memory-5374287/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/church-b-w-indoor-old-room-memory-5374287/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aku masih ingat di sebuah kuliah dari salah satu dosen filsafat, Ia bercerita mengenai istrinya yang baru saja meninggal. Ia pun berkata, "Saya percaya istriku tidak meninggal, melainkan Ia pergi ke dimensi yang berbeda," ungkapnya. Pada saat upacara pemakaman istrinya, aku menyempatkan waktuku untuk melayat ke rumahnya. Aku masih ingat ketika bertemu kembali dengan bapak dosen ini di kediamannya. Siang hari itu, Ia sedang menyambut kepada para tamu dengan tersenyum di tengah perayaan duka. Para tamu kemudian berdoa dengan melingkari istrinya yang telah tertidur nyenyak dalam peti. Namun, anak dari dosenku tiba-tiba menghampiriku dan kemudian berbisik, "Ibu ada di sana," sambil menunjukkan petinya. Aku pun hanya bisa tersenyum menanggapi anak yang masih kecil ini.
ADVERTISEMENT
Suasana duka mendalam yang dialami oleh salah seorang dosenku seolah tertutupi oleh perayaan kematian yang berjalan normatif, perlu dilaksanakan sesuai dengan pedoman ibadat kematian dan peringatan arwah. Namun, di tengah perayaan kematian yang formal ini tentu tidak mampu menyembunyikan rasa kehilangan dari sang istri yang selalu menemani hari-harinya. Terlihat bagaimana dosenku hanya bisa duduk tersenyum melihat para tamu yang hadir melingkari peti istrinya. Satu persatu para tamu kemudian mencari kursi yang telah disediakan untuk memulai ibadat kematian. Di tengah upacara, dosenku pun hanya duduk dan seolah bertanya-tanya melihat banyaknya tamu yang datang hanya untuk mengunjungi orang yang telah meninggal. Pikirannya seolah kosong kataku, tidak tahu harus berbuat apa, dan tidak begitu mengikuti ibadat dengan baik.
ADVERTISEMENT
Setelah ibadat kematian selesai, peti itu mulai ditutup dan diangkat ke suatu tempat, tidak jauh dari rumahnya untuk dikubur di tempat itu. Di tengah keramaian orang, aku hanya bisa melihat dosenku dari kejauhan yang sedang dengan tekun menikmati penguburan istrinya. Tanah demi tanah dihampurkan menggunakan cangkul hingga menutupi utuh peti itu hingga tidak terlihat sedikit pun. Kala itu, istrinya benar-benar telah terkubur di dalam tanah. Seolah ikatan mereka berdua yang sudah terjalin lama di dunia nyata, terpisah oleh kematian yang datang menyembut istrinya untuk kembali kepada-Nya.
Merasakan duka, kenestapaan yang dialami oleh dosenku ini membawaku kepada sebuah keadaan melankolis dalam menghadapi kematian terhadap orang yang sangat dicintainya. Merasakan cinta tentu saja suatu misteri kata Erich Fromm. Seorang filsuf satu ini menuliskan sesuatu dalam bukunya, “Dogma of Christ & Other Essays on Religion, Psychology, and Culture" (1963), membagi karakter masyarakat yang cinta akan kematian, dan cinta akan kehidupan. Dari sini makna cinta kemudian menjadi dilematis karena terjebak dalam dikotomi dalam manusia. Ia menuju pada eksistensi karena dibangkitkan oleh perasaan cinta.
ADVERTISEMENT
Namun, cinta kemudian dapat diartikan bahwa manusia mencintai kematian. Mereka akan sangat bahagia ketika berbicara mengenai kematian. Mereka benar-benar jatuh hati ketika memikirkan kematian. Ada benarnya juga jika dipikirkan bahwa di setiap masyarakat dengan latar belakang kebudayaan kematian yang berbeda, secara harafiah mereka akan menuju kematian pada akhirnya.
Bentuk cinta yang bangkit dari ide kematian seolah cenderung pesimistis dalam melihat hidup yang tentu saja jika dipikir memang rumit, sehingga tidak ada salahnya kemudian mencintai kematian. Hal tersebut kemudian muncul dalam eksistensi manusia yang menafsirkan hidup setelah kematian jauh lebih penting dibandingkan hidup saat ini. Ya tentu saja, akan mengarah pada paham terorisme, fasisme seperti zaman Nazi, atau bahkan tragedi G30S/PKI, di mana ketiga tragedi ini berusaha membawa kematian untuk sekelompok etnis, religius, dan tuduhan atas afiliasi politiknya (seperti Yahudi, mereka yang dituduh komunis, dan sebagainya).
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, cinta akan kematian juga akan jauh lebih biblikal, seperti kisah Yudas yang menggantung diri (bunuh diri) karena diselimuti penyesalan karena mengkhianati Yesus. Kemudian tindakan bunuh diri ini rupanya juga dapat diartikan dalam kategori ini. Keragaman motif bunuh diri rupanya juga tidak hanya diakibatkan oleh keadaan mental-psikologis atau ekonomi seseorang, melainkan juga perkara eksistensial yang mengatasnamakan agama tertentu (paham terorisme) dengan melakukan aksi bunuh diri kemudian menunjukkan bagaimana cintanya akan kematian.
Sedangkan cinta pada kehidupan dapat diartikan positif bagi orang-orang yang terus berjuang untuk membebaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan yang ada di dunia. Makna dari hidup dan mati, secara tidak disadari bahwa manusia berusaha mengingkari pemaknaan kematian yang tidak akan membawa kita ke mana-mana atau ke dalam ketiadaan, namun lebih kepada usaha manusia menuju kehidupan yang abadi. Hakekat cinta akan kehidupan ini yang muncul dari pernyataan seorang dosenku yang meyakini bahwa istrinya tidak meninggal, melainkan Ia berada di dimensi atau dunia yang lain. Namun, perasaan ini juga diselimuti oleh keadaan yang melankolis, di mana dosenku sudah mulai tidak mampu merasakan senyumnya, sentuhan kulitnya, kehadirannya dalam hidupnya lagi. Hal yang membuat sakit ketika segala kenangannya hanya tersisa dalam benaknya.
ADVERTISEMENT
Mungkin saja perasaan melankolis ini kemudian yang dianggap sebagai sebuah perasaan yang menyiksa, menyayat hati ketika diri kita ditinggal oleh seseorang yang benar-benar kita kasihi. Slavoj Žižek dalam tulisannya yang berjudul, Melancholy and the Act (2000), menawarkan kompleksitas pemaknaan dari keadaan melankolis seseorang. Salah satu yang menyentak dalam tulisan ini ketika ada suatu pernyataan bahwa, “merasa kurang, tidak sama dengan kehilangan”. Seolah ini adalah perasaan melankolis yang dialami oleh dosenku bahwa Ia sudah tidak punya lagi hasrat untuk memiliki istrinya kembali karena Ia sudah meninggal.
Namun, Ia tidak bisa berduka seutuhnya, dan benar-benar meninggalkan istrinya pergi begitu saja. Keadaan terjebak dalam benak (pikiran), memori, kenangan ini yang membuatnya terikat dalam suasana melankolis, suatu perasaan di tengah-tengah, sudah tidak lagi menginginkan istrinya, namun tidak mampu untuk berduka, benar-benar merelakan dirinya pergi.
ADVERTISEMENT
Dua pandangan filosofis, Erich Fromm yang eksistensial dan Slavoj Žižek yang materialis (un-marxist) saling melebur beda dalam memandang emosional dan pengalaman subjektif seorang dosen yang ditinggal kekasihnya untuk selamanya. Namun, memang begitulah ketika membangun hasrat (desires) yang diletakkan pada seseorang atau objek yang kita cintai. Di saat Ia pergi, seseorang yang dulunya memiliki hasrat ini kemudian jatuh dalam keadaan melankolia, di mana kita tidak lagi bersama dengan orang yang dicintai, namun, kita terjebak dan tersiksa dalam memori yang telah dibangun sebegitu megahnya, dan sulit untuk benar-benar berduka, merelakan dirinya benar-benar pergi dari keberadaan kita. Namun, hanya tinggal menunggu waktu saja dosenku mampu berduka seutuhnya.