The Last of Us Part II, Pergolakan Subaltern Hidup di Reruntuhan

Gilang Mahadika
Anthropologist, and interested in Southeast Asian studies. #SameShitDifferentDay
Konten dari Pengguna
29 Juni 2020 8:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang Mahadika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Living in ruins illustration | doc : https://segmentnext.com/2015/09/03/nier-concept-art-gives-the-impression-of-the-last-of-us-going-jrpg/
zoom-in-whitePerbesar
Living in ruins illustration | doc : https://segmentnext.com/2015/09/03/nier-concept-art-gives-the-impression-of-the-last-of-us-going-jrpg/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu permainan yang diantisipasi dan banyak diperbincangkan oleh para gamers dan juga karena antusiasiasme dari alur cerita permainan ini, The Last of Us Part 2 telah rilis tahun ini. Narasi yang berbeda disajikan dari gim ini rupanya mengundang pilu di saat Joel sebagai tokoh utama yang super badass harus meninggalkan Ellie, anak perempuan yang sangat dikasihi dan dilindungi olehnya. Bahkan, dalam keadaan kritis bersimbah darah, Joel pun masih berusaha untuk berdiri dan melindungi anaknya sendiri satu-satunya yang masih hidup, Ellie. Momen yang sangat tragis dan menyedihkan ini juga meninggalkan rasa kejut, heran, dan seolah tidak dapat menerima kejadian ini melihat Joel untuk terakhir kalinya. Namun, Ellie dan kawan-kawannya, terutama dengan kawan intimnya, Dina harus tetap menjalani hidup yang keras di tengah reruntuhan peradaban manusia. Petualangan kemudian diambil alih oleh Ellie dan Dina yang mulai melacak gerakan separasi, WLF (Washington Liberation Front), yang diyakini kelompok yang membunuh Joel dan juga misi pencarian Tommy, saudara Joel, yang berusaha membalaskan dendamnya kepada segerombolan separasi WLF di luar tempat perlindungan mereka.
ADVERTISEMENT
Apa yang menjadi menarik dari serial gim The Last of Us baik di bagian pertama dan bagian kedua kali ini, tidak hanya memberikan getaran rasa kemanusiaan pada diri kita, berusaha menunjukkan sifat manusia yang rentan, namun juga angkuh, tercermin dari sifatnya yang menyukai perang, menciptakan bio-weapon, saling berebut sumber daya, dan lain sebagainya. Namun, tidak sedikit dampak dari keangkuhan itu menghasilkan peradaban yang berangsur-angsur runtuh bagai bumerang bagi manusia sendiri, meski dibalut dengan tujuan “demi kehidupan manusia yang lebih baik.” Ellie dan Dina menjadi cermin korban dari adanya sifat manusia yang angkuh, yang pada akhirnya meninggalkan mereka berdua harus bertahan hidup di tengah destruksi (kehancuran). Menempatkan Ellie dan Dina yang hidup di tengah reruntuhan menjadi menarik untuk dibahas terutama bagi masyarakat yang sempat menjalani hidup sesudah kehancuran.
ADVERTISEMENT
Sebuah tulisan etnografi menarik dari Gaston R. Gordillo berjudul Rubble: the Afterlife of Destruction (2014) memaparkan serangkaian kejadian kehidupan manusia setelah menghadapi kehancuran yang terjadi di bagian utara Argentina. Kehancuran tersebut dapat berupa bencana alam seperti gempa bumi (earthquake) dan peperangan (kekerasan) yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Akibat dari kehancuran ini adalah banyak bangunan yang mulai ditinggalkan dan berakhir sekedar menjadi reruntuhan yang meninggalkan jejak historis dari bangunan tersebut.
Salah satu yang menarik adalah bangunan gereja sangat tua dari peninggalan reruntuhan San Juan Bautista de Balbuena yang coba dikunjungi oleh Gordillo dan salah satu penduduk lokal Alfredo yang mengantarkan dirinya ke peninggalan Gereja La Manga tersebut yang sudah ditinggalkan dan tidak terpakai. Setibanya di sebuah gereja itu, Alfredo menceritakan gereja ini sudah ditinggalkan hingga pada abad ke-18. Tampak depan gereja sudah hancur, beberapa dinding masih ada yang berdiri kokoh sekitar tujuh meter tingginya, altarnya masih terpelihara dengan baik, banyak pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bangunan ini, dan urat-urat cabang pohon telah merayap di dinding-dinding gereja. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa bangunan ini sudah sangat tua, ditinggalkan, tidak layak huni, dan tidak layak pakai lagi (hlm, 3). Alfredo pun menambahkan,
ADVERTISEMENT
Alfredo pun dengan sengaja memukul bingkai lapisan di atas pintu sakristi dalam gereja itu dengan tangannya. Beberapa serpih bingkai itu runtuh dan Ia kemudian memukulnya terus-menerus hingga beberapa bingkai roboh. Alfredo di sini ingin menunjukkan ke Gordillo bahwa bangunan tua ini sudah tidak digunakan dan tak terpakai.
Namun, yang menarik dari perilaku Alfredo menurut Gordillo saat memukul bangunan tua ini dianggap sebuah ekspresi bagi kaum subaltern (golongan pekerja atau proletariat) yang memandang sebuah bangunan adalah sekedar bangunan yang dibangun dengan tumpukan-tumpukan bata, semen, dari hasil kerja para buruh, yang terkadang bangunan tua tersebut dianggap objek yang menarik oleh para elite (borjuis) dengan cara memfetiskan bangunan tersebut untuk dijadikan wisata warisan budaya dan semacamnya (hlm, 254, 261).
ADVERTISEMENT
Hal ini yang dianggap oleh Slavok Zizek bahwa memfetiskan (fetishization) reruntuhan bangunan seperti gereja tua adalah cara para elite untuk menyembunyikan kehancuran yang diciptakan oleh mereka sendiri dengan pengembangan kapitalisme (hlm, 254). Oleh karena itu, reruntuhan adalah ciptaan dari para elite yang terus berupaya mengembangkan bisnis mereka sesuai dengan minat pasar. Apabila sudah tidak menguntungkan bangunan tersebut terkadang hanya akan ditinggalkan, dan berakhir sekedar menjadi reruntuhan. Padahal bangunan tersebut sempat dibangun dari kerja keras para buruh bangunan, yang mana para buruh menganggap segala bangunan itu sama, hanya berbeda dalam pemaknaan.
Ellie, Dina, dan bahkan masyarakat luas yang hidup di tengah reruntuhan memandang sebuah bangunan yang telah ditinggalkan itu layaknya para pekerja (kaum proletariat) yang memandang bangunan tersebut tidak begitu berarti karena sekedar menjadi tumpukan-tumpukan kaca, bata, dan semen tua yang ditumbuhi oleh rumput-rumput dan pohon-pohon yang mulai masuk ke dalam bangunan.
ADVERTISEMENT
Salah satu scene menarik di saat Ellie dan Dina sedang mencari gas agar dapat menyalakan radiator. Mereka memasuki sebuah sinagoga, sebuah bangunan ibadah di mana para Yahudi biasa berkumpul bersama untuk melakukan ibadah. Dalam sinagoga banyak sekali barang-barang yang ditinggalkan dan bangunan tersebut sudah ditinggalkan, seperti kaca-kaca arabesque yang sudah pecah, beberapa tembok sudah ada yang runtuh, dan lain sebagainya. Ellie pun dengan mudahnya mengambil barang-barang yang sekiranya dapat digunakan untuk kebutuhan pasokan dirinya untuk bertahan hidup, seperti metal, sekrup, botol kaca, dan lain sebagainya. Bahkan, mereka tidak segan untuk bergantungan di bangunan yang dulunya menjadi tempat sembahyang tersebut.
Ellie bergantung di bangunan sinagoga yang telah ditinggalkan | captured from theRadBrad
Saat Ellie dan Dina berhasil sampai di Seattle, mereka melihat bagaimana rupa kota Seattle yang telah ditinggalkan. Bangunan-bangunan pencakar langit mulai ditumbuhi banyak pepohonan dan rerumputan yang menjalar hingga menutupi aspal jalan. Kendaraan mobil diam dan tersebar di berbagai tempat. Lampu jalan menjulang tinggi sejajar dengan pohon-pohon. Sambil menaiki kuda mengelilingi kota “mati” Seattle mereka pun bercakapan,
ADVERTISEMENT
Ellie dan Dina menaiki kuda sampai di kota Seattle | captured from theRadBrad.
Bangunan seolah menjadi materi yang sekedar menjadi puing-puing reruntuhan yang tidak bermakna bagi para proletar, ditambah apabila sudah sangat ditinggalkan. Ellie dan Dina menjadi cermin dari kaum pekerja yang sudah terbiasa hidup di tengah reruntuhan. Namun, di sini juga menunjukkan bahwa hidup di tengah reruntuhan akibat malapetaka (katastrofe) yang diciptakan oleh manusia (elite) atau pun bencana alam, tidak menjadi masalah bagi para kaum pekerja, karena mereka sendiri yang akan membangun kembali atau pun memilih untuk tidak ingin membangun kembali bangunan tersebut demi menjaga relasi yang tidak setara antara elite dengan pekerja. Ellie dan Dina menjadi representasi masyarakat pekerja yang tak takut hidup di tengah katastrofe dan dari kekerasan politik para elite yang menciptakan dunia menjadi layaknya serial The Walking Dead. Hal ini sudah menjadi jalan umum bagi proletariat untuk bertahan hidup di tengah reruntuhan.
ADVERTISEMENT