Mendengarkan 'Crawling' Tak Pernah Sesentimentil Begini

Gilang GP
A Profesional Marketer yang suka membaca, menulis, dan menganalisis suatu fenomena. Di sini menulis kuliner, review film, sesekali politik.
Konten dari Pengguna
30 Juli 2017 22:22 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gilang GP tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Chester Bennington (Foto: Instagram @linkinpark)
zoom-in-whitePerbesar
Chester Bennington (Foto: Instagram @linkinpark)
ADVERTISEMENT
"Your voice was joy and pain, anger and forgiveness, love and heartache all wrapped into one. I suppose that's what we all are."
ADVERTISEMENT
Begitulah isi penggalan surat terbuka yang ditulis frontman Linkin Park, Chester Bennington, untuk mendiang sahabatnya yang juga frontman Soundgarden dan Audioslave, Chris Cornell, pasca kematiannya beberapa waktu silam karena depresi yang disusul dengan tindakan bunuh diri.
Hal yang sama pun dilakukan Bennington di kediamannya, di Los Angeles, Amerika Serikat, tepat di hari ulang tahun Chris Cornell 10 hari lalu dengan alasan persis: depresi.
Depresi adalah penyakit mental yang bisa menghinggapi siapapun. Ia tak pandang bulu dan mampu menyasar homo sapiens klasifikasi manapun.
Depresi tak mengenal suku, ras, agama, afiliasi politik maupun juga hierarki sosial dan ekonomi. Ia bagaikan serum chip yang terautomasi pada sel-sel darah manusia. Saya pun pernah mengalaminya.
ADVERTISEMENT
Pemikiran mengakhiri hidup muncul ketika seluruh tubuh seakan tak sanggup menanggung apa yang ditawarkan dunia. Segala aspek di dalamnya seolah gelap, terang sudah tak lagi nampak dan ketika terbangun di pagi hari harapan sudah tak muncul lagi yang biasanya terbit bersama mentari.
Sebuah titik terendah akan kehendak untuk melanjutkan kefanaan hidup.
Namun, kala itu saya mencari cara agar hidup terasa lebih dinamis dan berarti. Saya menyibukkan diri dengan banyak hal. Salah satunya seperti sekarang ini: menulis.
Menulis membuat saya sedikit lebih baik.
James W. Pennebake, psikolog yang mengajar di Southern Methodist University, USA, menganjurkan kepada kita agar menulis.
Terutama menuliskan emosi-emosi serangkaian peristiwa pahit. Menurutnya, menulis adalah bagian dari terapi hati dan pikiran yang pada gilirannya dapat merilis stres atau trauma yang tersumbat di dalam ruang-ruang gelap pikiran manusia.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun juga hidup harus terus berlanjut dan dirayakan, begitulah jika kata Tan Malaka di buku Madilog-nya, yang dia adopsi dari secuil pemikiran Nietzsche soal mencintai hidup yang direpresentasikan melalui serangkaian tragedi. Fatum brutum amorfati.
Saya tahu mungkin saya telat menuliskan kepergian sang frontman Linkin Park yang juga bersahabat dengan frontman Soundgarden dan Audioslave yang saya asumsikan bukan kebetulan mereka melakukan hal serupa yang begitu memilukan hati hampir seluruh warga dunia.
Sekalipun kepiluan ini berada pada level yang berbeda, yang jelas tulisan ini dipicu karena unggahan video Linkin Park featuring Chris Cornell di youtube melalui akun Ruudzik2 yang diposting 2008 lalu.
Konon, semenjak itu mereka mulai dekat satu sama lain yang kemudian intens bersahabat.
ADVERTISEMENT
Barangkali benar kata seorang kawan, jika temanmu punya kecenderungan melakukan hal tertentu maka ada tendensi sahabatnya akan melakukan hal yang sama.
Saya bukan die hard fans dari keduanya, namun sulit untuk tak beririsan dengan single 'Crawling', 'Like a Stone', ataupun 'Black Hole Sun'.
Saya tak terlalu menyukai karakter vokal Bennington, lain halnya dengan Chris yang memiliki karakter suara yang seolah merangkum segala tragedi seorang individu namun output-nya soulful, singkatnya: kepedihan yang bisa dinikmati. Sebagai remaja yang tumbuh di sebuah kota kecil yang mengkonsumsi beragam musik rock tidak terlalu sulit untuk mengakses ketiga lagu tersebut.
Namun, seringnya memang mendengarkan 'Crawling' yang disusul 'Like a Stone'. Betapa tidak radio lokal yang cukup hip di kota kecil yang saya tinggali ketika itu memutar Crawling setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Seolah menjadi anthem remaja urban. Bahkan, refrain lagu itu kerap saya gumamkan di kelas sewaktu SMP sambil menggebuk-gebuk meja.
Sedangkan untuk tembang 'Like a Stone' sendiri saya ketahui dari para personil Rage Againts The Machine.
Saat itu saya adalah konsumen loyal mereka. Tak pernah satu haripun melewatkan album The Battle of Los Angeles melalui format kaset pita meskipun RATM sendiri kala itu sudah bubar. Tersiar kabar bahwa mereka, kecuali Zack Dela Rocha frontman RATM pasca membubarkan diri membuat supergrup bernama Audioslave, dan menjadikan frontman Soundgarden sebagai vokalisnya.
'Like a Stone' pun tak lepas dari masa remaja saya yang masih saya dengarkan hingga saat ini.
Mendengar keduanya pergi meninggalkan dunia ini dengan cara yang sama saja sudah menyayat hati. Lalu, ditambah lagi ketika saya menemukan unggahan video di Youtube berisikan dua orang sahabat itu bernyanyi bersama, dua orang yang memiliki pengaruh bagi dunia musik, dua orang yang sepertinya betul-betul memahami baris demi baris lirik 'Crawling' yang mereka nyanyikan di atas panggung.
ADVERTISEMENT
Dua orang yang meninggalkan dunia ini dengan cara yang sangat mengoyak pikiran dan perasaan, baik bagi penggemarnya maupun bukan. Dear, Chris Cornell dan Chester Bennington, terima kasih telah menjadi bagian dari perjalanan remaja saya yang seru. Terima kasih untuk musik yang kalian ciptakan yang menemani terang dan gelapnya di hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Terimakasih, damailah di surga sana. Rest In Peacefully.