Konten dari Pengguna
Kambing Bernama Samin dan Seonggok Batu Sunyi
6 Juni 2025 10:12 WIB
·
waktu baca 14 menit
Kiriman Pengguna
Kambing Bernama Samin dan Seonggok Batu Sunyi
Seseorang pernah bilang, bahwa dunia bisa berhenti berputar jika seekor kambing tiba-tiba menangis di mimpi seorang pejabat desa.Gilang Ramadhan
Tulisan dari Gilang Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah Cerita Pendek

Seseorang pernah bilang, bahwa dunia bisa berhenti berputar jika seekor kambing tiba-tiba menangis di mimpi seorang pejabat desa. Aku tak tahu siapa yang pertama menyebarkan keyakinan ini di kampung kami, kemungkinan besar Mbah Rifa’i, juru kunci makam yang sekaligus paranormal paruh waktu, atau bisa jadi Mbah Tuminah, tukang urut yang sering menyelipkan ayat Kursi sambil mengurut betis. Tapi yang jelas, sejak Pak Lurah mimpi itu, suasana kampung mendadak seperti nonton film kungfu sambil puasa: tegang, haus, dan absurd.
ADVERTISEMENT
Waktu itu malam Jumat Legi, seminggu sebelum Hari Raya Qurban. Bulan nyaris penuh, nyaris terang, tapi tetap seperti wajah Pak RT setelah kalah catur dari anaknya sendiri, terang tapi tak bersinar. Dan di malam itu, Pak Lurah, yang nama lengkapnya Lurah Haji Muhammad Fadlan bin Samsuri bin Wahab bin Suparlan (yang terakhir ini pedagang terpal, bukan ulama), mengaku mendapat mimpi aneh: seekor kambing putih, bermata coklat seperti mata istri mudanya, mendekat perlahan sambil meneteskan air mata, lalu dengan bahasa manusia yang fasih, seperti dosen sastra yang baru sadar bahwa cinta dan pengorbanan adalah sinonim tragis, berkata: “Tolong… jangan potong aku tahun ini.”
Pagi harinya, Pak Lurah tidak langsung cerita ke siapa-siapa. Ia hanya termenung di teras, minum kopi yang sudah dingin sebelum sempat disesap, sambil melihat seekor kambing betina tetangga, yang kebetulan memang putih dan bermata coklat seperti dalam mimpi, memakan daun pepaya dengan santai, tak tahu bahwa seminggu lagi dunia bisa berubah.
ADVERTISEMENT
Sebagai kepala dusun yang sudah menjabat tiga periode tanpa lawan, Pak Lurah terbiasa menghadapi konflik: dari sengketa batas tanah yang sebenarnya cuma salah tanam pohon pisang dua meter ke kanan, hingga tuduhan santet yang sebenarnya cuma masalah rebutan WiFi antara menantu dan ibu mertua. Tapi kali ini beda. Ia merasa... gentar. Dan dalam gentarnya, muncul satu pemikiran tak terucapkan tapi mendesak: "Bagaimana kalau memang benar kambing itu utusan Tuhan?"
Pak Lurah, yang biasanya skeptis terhadap segala yang melibatkan bisikan, mimpi, atau kenangan mantan istri, mendadak jadi murung. Ia tidak langsung menafsirkan mimpi itu sebagai wahyu atau isyarat ilahiah, tapi dalam gaya khas pejabat kampung yang pernah ikut pelatihan manajemen spiritual di Cibubur, ia mengumpulkan para tokoh masyarakat. Bukan untuk musyawarah qurban, seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi untuk membahas satu pertanyaan ganjil: Bolehkah seekor kambing menolak disembelih?
ADVERTISEMENT
Kiai Matali, tokoh agama paling disegani se-Kecamatan (meski beliau sendiri lebih suka disebut mantan kuli panggul yang tobat), hadir dengan jubah putih dan sandal jepit swallow. Di tengah diskusi di balai desa, ia mengangkat tangan pelan, seperti hendak bertanya tapi juga menandakan ingin pulang lebih cepat karena ada janji ngisi pengajian malamnya.
“Pak Lurah,” katanya pelan, suaranya berat seperti mesin penggiling tebu yang lelah, “ini bukan soal boleh atau tidak. Ini soal niat dan pengorbanan. Nabi Ibrahim saja diminta menyembelih anaknya, masa kita takut sama kambing?”
Pak Lurah mengangguk, tapi hatinya belum mantap. “Tapi, kalau kambing itu bicara dalam mimpi?”
“Apa dia pakai bahasa Arab atau Jawa?” potong Pak Guru Salimin, guru SD yang sejak pensiun lebih sering main catur dan menyusun ulang koleksi koran bekasnya berdasarkan berita tentang koruptor dan pemadaman listrik.
ADVERTISEMENT
“Jawa halus,” jawab Pak Lurah.
“Wah, kambingnya lulusan pesantren berarti,” gumam Pak Guru sambil terkekeh.
Diskusi itu akhirnya tak menghasilkan keputusan tegas. Yang muncul malah usulan konyol dari Pak RW, mantan sopir pribadi anggota dewan yang pernah viral karena menabrak gerobak bakso saat live Instagram.
“Gini aja, Lurah. Kita adakan sayembara. Kalau kambing itu benar-benar bisa bicara pas sadar, kita batalin penyembelihannya. Tapi kalau dia diam saja, ya berarti mimpimu cuma efek makan semur jengkol malam-malam.”
Dan yang paling aneh adalah semua orang mengangguk setuju. Bahkan Kiai Matali, yang biasanya paling kaku dalam soal ritual, cuma tertawa kecil dan bilang, “Nabi Sulaiman aja bisa ngobrol sama semut, masa kita nggak boleh percaya kambing bisa ngomong?”
ADVERTISEMENT
***
Hari itu juga, diumumkan lewat pengeras suara musholla dan WhatsApp grup RT bahwa akan diadakan “Majelis Pembuktian Verbalitas Kambing”, sebuah nama yang, kalau tidak tahu konteksnya, akan terdengar seperti seminar linguistik metafisik. Kambing putih milik Bu Murni, tetangga Pak Lurah, dibawa ke balai desa dan diletakkan di atas panggung kecil dari kayu sengon bekas pelaminan. Di sekelilingnya duduk para saksi: Pak Lurah, Kiai Matali, Pak RW, dua orang pemuda masjid, dan satu orang notulen yang sebenarnya adalah anak SMA yang disuruh bolos demi dokumentasi untuk keperluan arsip sejarah dusun.
Orang-orang berkumpul. Suasana khidmat tapi absurd. Seorang ibu-ibu menangis karena teringat kambingnya yang dulu pernah hilang pas Idul Adha. Seorang bocah SD membawa catatan kecil karena ingin wawancara kambing itu untuk tugas akhir semester. Seekor ayam jantan bahkan ikut naik ke panggung sebelum akhirnya diusir dengan lembut oleh panitia.
ADVERTISEMENT
Pak Lurah maju, suara bergetar, seperti ustaz dadakan di acara peringatan Maulid di kantor kelurahan.
“Wahai kambing, kalau engkau memang punya pesan, sampaikanlah. Kami mendengar.”
Kambing itu diam. Mengunyah. Matanya coklat dan tampak bijaksana, seperti tahu bahwa dunia ini terlalu rumit untuk sekadar “iya” atau “tidak”.
Seseorang batuk di kejauhan. Angin lewat. Seorang anak kecil bertanya ke ibunya, “Bu, kambing itu mirip caleg, ya?”
Dan di saat semua orang nyaris menyerah, kambing itu tiba-tiba, mengembik.
Cuma sekali. Tapi panjang, dalam, dan anehnya penuh kesedihan. Suaranya seperti campuran antara panggilan sahur yang telat dan tangisan bayi yang tahu dunia ini tidak adil sejak lahir.
Lalu hening.
Seseorang bersin. Pak Lurah gemetar.
ADVERTISEMENT
“Dia, dia menangis juga di mimpi saya,” bisiknya.
Besoknya, keputusan dibuat. Kampung memutuskan untuk tidak menyembelih kambing itu. Sebagai gantinya, kambing itu akan “dilepas sebagai simbol kasih sayang manusia kepada makhluk hidup lain yang punya rasa takut dan mungkin, juga punya doa.”
Kiai Matali memberikan fatwa dadakan: “Ini bukan pembatalan qurban, ini hanya pilihan qurban yang lebih mendalam: menahan diri dari menyakiti, meski kita punya hak.”
Sebagian warga setuju. Sebagian lagi menyebut ini bid’ah. Tapi anehnya, semua patuh. Bahkan Pak RW bilang, “Mungkin Tuhan memang sedang ngajari kita lewat kambing, bukan lewat khutbah.”
***
Dan sejak hari itu, kambing itu hidup di kampung sebagai semacam “kambing suci”. Ia diberi nama Samin, dari kata samina wa atha’na, karena semua orang merasa harus mendengarkannya. Ia tak pernah bicara lagi. Tapi matanya, selalu seperti menyimpan rahasia yang tak bisa dijelaskan dengan dalil atau logika.
ADVERTISEMENT
Sejak pagi takbir menggema di langit kampung, Samin duduk diam di halaman musholla. Tidak diikat. Tidak diawasi. Tapi semua anak kecil, tanpa disuruh, berbaris di sekitarnya seperti santri mengelilingi kiai mereka yang baru turun dari menara mimpi. Ada yang memakaikan kalung melati, ada yang menyisir bulunya pakai sisir boneka. Seorang bocah bahkan bersalawat sambil mengayun-ayunkan seikat rumput segar, seolah-olah sedang merayu malaikat agar ikut membebaskan Samin dari apa pun yang membuat dunia terasa kejam.
Hari Raya Qurban itu, tak satu pun dari warga menyangka bahwa seekor kambing bisa menjadi lebih penting daripada khutbah. Biasanya, yang ditunggu-tunggu adalah potongannya, dagingnya, sate dan gulainya, siapa dapat bagian kepala, siapa dapat tulang. Tapi tahun ini, yang ditunggu justru, diamnya Samin.
ADVERTISEMENT
Ia tidak berbicara. Tidak menangis. Tidak mengembik seperti kemarin. Tapi keheningannya justru seperti semacam pelajaran yang sangat dalam, dengan cara yang membuat Pak Guru Salimin menangis diam-diam dan berkata kepada istrinya: “Mungkin kita selama ini salah paham tentang arti pengorbanan.”
Sebelum khutbah dimulai, Pak Lurah berdiri di mimbar darurat yang biasanya hanya dipakai untuk lomba karaoke antar RT. Ia tak bawa teks. Tak juga pakai batik seragam panitia qurban seperti tahun-tahun lalu. Ia hanya berdiri, menatap ke arah lapangan yang sudah siap dengan pisau-pisau tajam, tim penyembelih, dan kambing-kambing lain yang menatap Samin dengan ekspresi ambigu: antara iri dan syukur.
Suasana sunyi. Bahkan suara takbir dari speaker musholla pun seperti mengecil dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
“Jadi hari ini,” lanjut Pak Lurah, “kita tetap qurban. Kita tetap sembelih. Karena itu syariat. Tapi kita juga belajar dari yang tidak disembelih, dari yang dibiarkan hidup. Karena barangkali, yang Tuhan inginkan bukan hanya darah, tapi juga hati yang bisa menunda, menimbang, dan mendengarkan.”
Setelah khutbah, penyembelihan tetap berlangsung. Seekor demi seekor, kambing dan sapi dipotong sesuai tata cara. Tangisan anak-anak masih terdengar, seperti biasa. Tapi anehnya, tiap kali satu kambing disembelih, beberapa warga melihat ke arah Samin. Seolah bertanya dalam diam: “Apakah ini sudah benar?”
Dan Samin, dengan tenangnya yang tak masuk akal, hanya duduk di bawah pohon jambu. Memandang, memamah biak, kadang menoleh sejenak ke langit.
***
Seminggu setelah itu, keajaiban-keanehan mulai muncul.
ADVERTISEMENT
Pertama, Bu Murni,npemilik sah Samin, mengaku bahwa kambing itu tidak mau makan nasi, tapi hanya mau rumput yang dipetik langsung oleh anak kecil yang belum pernah bohong. “Saya coba kasih daun singkong, daun pepaya, malah sayur lodeh sisa tahlilan, dia enggak mau,” katanya. Tapi waktu cucunya datang, yang baru umur 5 tahun dan belum bisa bedain antara bohong dan imajinasi, Samin makan rumput pemberiannya sampai tanduknya gemetar puas.
Kedua, seekor kucing kampung yang biasanya liar mendadak jinak tiap kali duduk dekat Samin. Mereka berdua sering duduk bersebelahan seperti dua filsuf yang tidak butuh bahasa untuk bertukar hikmah. Beberapa warga mulai bilang: “Kucing itu pasti wali juga. Dia muridnya Samin.”
Ketiga, dan ini yang paling mengherankan: Pak Darsono, tukang jagal kampung yang sudah 27 tahun bertugas tiap Idul Adha, mendadak pensiun. Ia bilang, “Saya enggak bisa lagi, Pak. Kemarin malam saya mimpi Samin nyuruh saya belajar baca puisi. Katanya, tangan saya terlalu keras buat darah, tapi bisa lembut buat kata-kata.” Dan sejak itu, Pak Darsono mulai menulis sajak. Jelek memang, dan banyak sajaknya tentang pisau. Tapi niatnya tulus, dan itu cukup membuat kampung bingung sekaligus terharu.
ADVERTISEMENT
***
Samin hidup berpindah-pindah. Kadang di halaman musholla, kadang di lapangan, kadang di dekat SD yang sudah roboh setengah tapi masih dijadikan tempat les Iqra. Ia tak pernah membuat gaduh. Tak pernah kawin, meski banyak kambing betina datang menggoda. Tak pernah mengembik tanpa alasan.
Dan dalam diam itu, warga mulai percaya: Samin bukan kambing biasa. Ia utusan. Ia lambang. Ia, seperti yang dikatakan Pak Guru Salimin dalam artikel buat blog pribadinya yang tidak pernah dibaca siapa-siapa, “sebuah kemungkinan spiritual yang turun ke tanah dalam bentuk makhluk paling rentan di dunia.”
Beberapa bulan setelah Idul Adha, seorang wartawan dari Jakarta datang. Ia mendengar kisah Samin dari status Facebook seorang pemuda masjid yang juga content creator dadakan. Wartawan itu datang membawa kamera, drone, dan segudang pertanyaan sinis yang dikemas dalam senyum profesional.
ADVERTISEMENT
“Bapak yakin, ini kambing suci?”
Pak Lurah tidak menjawab langsung. Ia hanya berkata, “Yang suci bukan kambingnya. Yang suci adalah momen saat kita semua berhenti merasa tahu segalanya.”
Wartawan itu tertawa kecil. Ia wawancarai beberapa warga, termasuk Bu Murni yang bilang bahwa sejak Samin tinggal di dekat rumahnya, padi yang ditanamnya tak pernah gagal panen, walau pupuknya sama saja. Bahkan ia mulai percaya bahwa Samin adalah reinkarnasi suaminya yang dulu mati tersesat di hutan waktu cari kayu bakar.
“Aku tahu dari matanya,” katanya. “Itu mata yang sama waktu minta maaf karena lupa ulang tahun.”
Setelah liputan itu viral, banyak orang dari luar kampung datang. Ada yang ingin melihat langsung kambing ajaib. Ada yang berdoa di dekatnya. Bahkan ada yang mencoba menyuap Bu Murni agar mau menjual Samin dengan harga motor bebek plus laptop.
ADVERTISEMENT
Tapi Samin tak bergeming. Dan Bu Murni, entah kenapa, selalu menjawab semua tawaran dengan satu kalimat: “Kalau kamu bisa tidur dan mimpiin dia, baru kita bicara harga.”
Dan dari situ, tumbuhlah tradisi baru di kampung kami: Malam Tafakur Samin, seminggu sekali, warga berkumpul untuk tidur bersama di musholla, berharap bermimpi tentang kambing yang bicara. Tak ada paksaan. Tak ada ceramah. Hanya tidur, dan menunggu isyarat.
Kadang ada yang mengaku bermimpi bertemu Samin. Kadang tidak. Tapi yang jelas, sejak itu kampung jadi lebih tenang. Lebih sabar. Bahkan, kata Pak RW, “Sudah dua bulan enggak ada yang ribut soal warisan. Kayaknya Samin emang lebih ampuh dari aparat.”
Dan seperti semua yang benar-benar berharga dalam hidup, Samin pun hilang.
ADVERTISEMENT
***
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terbit. Embun masih menggantung seperti sisa doa yang belum dikabulkan. Pak Lurah, seperti biasa, menyapu halaman musholla lebih awal dari jam biologis manusia normal. Tapi yang dia temukan bukan hanya daun-daun jati yang gugur sebelum waktunya, melainkan tali tambang yang biasanya melingkar di leher Samin, tergeletak begitu saja, nyaris seperti ular yang sudah mati keyakinan.
Tak ada jejak darah. Tak ada tapak kaki. Hanya sisa bau rumput segar dan, menurut pengakuan Bu Murni, “seperti bau air mata yang terlalu lama disimpan.”
Warga geger. Bukan geger karena kehilangan seekor kambing. Tapi geger karena kehilangan makna. Karena sejak kehadiran Samin, kampung itu punya arah. Punya narasi. Dan sekarang, tiba-tiba, narasi itu dicabut dari tengah-tengah babak kedua, seperti novel murahan yang ditinggal mati penulisnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa menduga Samin diculik. Beberapa yakin ia moksha. Pak Guru Salimin menulis di status WA: “Mungkin, Samin hanya ingin melihat apakah kita masih bisa hidup bijak tanpa kehadirannya.” Dan orang-orang membalas dengan emoji menangis, bukan karena setuju, tapi karena tidak tahu cara lain mengekspresikan kehilangan yang terlalu simbolik untuk dijelaskan secara rasional.
Anehnya, kehidupan tetap berjalan.
Padi tetap tumbuh. Sapi tetap beranak. Anak-anak tetap sekolah. Tapi semuanya terasa... sedikit kurang nada. Seperti orkestra yang kehilangan nada dasar. Seperti makan soto tapi tanpa kuah.
Musholla tetap ramai. Tapi malam-malam tafakur jadi lebih sunyi. Beberapa orang tetap mengaku bermimpi tentang Samin. Tapi dalam mimpinya, Samin tidak bicara. Hanya berdiri di ujung gang, memandang ke arah langit, dan sesekali menjilat air dari batu.
ADVERTISEMENT
Ada seorang pemuda, mantan pemain PUBG yang insaf karena mimpinya diselamatkan Samin dari granat spiritual, membangun akun TikTok khusus tafsir mimpi tentang kambing. Akunnya viral, tentu saja. Tapi suatu hari ia menghapus semua kontennya dan menulis caption terakhir: “Saya tahu terlalu banyak, dan tahu terlalu sedikit sekaligus.”
***
Berbulan-bulan kemudian, datanglah Idul Adha berikutnya.
Kampung mulai bersiap seperti biasa: beli hewan, bagi kupon, koordinasi takmir dan ibu-ibu dapur. Tapi tidak ada satu pun yang bisa melupakan Samin. Bahkan kambing-kambing yang baru dibeli, entah mengapa, jadi terlalu sunyi. Tidak ada satu pun yang mengembik keras. Tidak ada yang berontak saat diikat. Seolah-olah mereka semua tahu bahwa sebelumnya sudah ada kambing yang mencapai maqam yang tidak bisa dijelaskan lewat dalil.
ADVERTISEMENT
Pak Lurah, yang tahun lalu berkhutbah tanpa teks, tahun ini tak mau khutbah sama sekali.
“Saya takut bicara,” katanya, “karena bisa saja kata-kata saya hanya memantul balik seperti gema di gua kosong.”
Dan khutbah pun digantikan dengan pembacaan puisi oleh Pak Darsono, si mantan jagal. Puisinya berjudul “Tulang yang Tahu Kapan Harus Diam”, dibacakan sambil memegang pisau tumpul. Beberapa anak-anak ketakutan. Tapi banyak pula yang tersenyum, seperti mengerti sesuatu yang tak diajarkan di sekolah mana pun.
Tepat setelah pemotongan hewan selesai, hujan turun. Tidak deras. Tapi juga tidak ragu.
Dan di bawah rintik itu, di pojok belakang musholla, di tempat Samin biasa tidur, terlihat seeonggok batu. Batu biasa. Tak ada yang aneh. Tapi basahnya hujan di atasnya tampak membentuk pola tertentu. Seperti bentuk telinga. Seperti tanda tanya. Seperti setengah embik yang ditahan oleh sunyi.
ADVERTISEMENT
Pak Guru Salimin mengambil batu itu, mencium permukaannya, dan berkata: “Mungkin ini yang Samin tinggalkan. Bukan tubuh. Bukan suara. Tapi semacam bekas. Semacam... sisa pemahaman.”
Tahun-tahun berlalu. Anak-anak tumbuh. Banyak yang tak tahu siapa Samin. Tapi nama itu tetap disebut, kadang dalam bentuk dongeng, kadang dalam bentuk pertanyaan di pelajaran akidah: “Mengapa Allah mengganti Ismail dengan kambing?” Dan seorang murid dengan kepala botak akan menjawab: “Mungkin karena Allah tahu, manusia masih terlalu muda untuk mengorbankan yang benar-benar mereka cintai.”
Dan guru itu akan terdiam.
Karena di dalam dirinya, Samin masih duduk. Masih menatap. Masih menjadi gema dari sesuatu yang tidak ingin dijelaskan.
Pada akhirnya, Samin tidak pernah kembali.
Tapi mungkin itu memang intinya. Bahwa qurban bukan tentang kambing yang mati, tapi tentang sesuatu yang pergi, lalu membuat kita memandang ulang apa yang tinggal. Bahwa sembelih bukan hanya tentang pisau dan darah, tapi juga tentang ego yang pelan-pelan disayat, ditahan, lalu disedekahkan pada dunia.
ADVERTISEMENT
Dan jika kau bertanya apakah semua ini nyata, kambing yang bermimpi, mimpi yang menangis, kampung yang bertransformasi karena seekor makhluk tak bisa bicara, jawabannya mungkin sama seperti jawaban Pak Lurah saat ditanya oleh wartawan: “Apakah Anda percaya kambing bisa menyadarkan manusia?”
Ia tertawa kecil, menoleh ke arah sawah yang kini tumbuh subur, dan menjawab: “Kalau manusia bisa menyembelih tanpa rasa, kenapa kambing tidak bisa mengajarkan cinta?”

