Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Tentang "Tri N" Ki Hadjar Dewantara
16 November 2024 15:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Gilang Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan, jika kita lihat dari dekat, seharusnya seperti kebun yang kita rawat setiap hari. Kita menyiram, mencabut rumput liar, memberi pupuk secukupnya, lalu biarkan tanaman itu tumbuh. Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, melihat pendidikan dengan cara yang sama. Dia percaya bahwa setiap anak adalah benih yang tumbuh dengan caranya sendiri, dengan arah yang ia tentukan sendiri. “Memanusiakan manusia,” katanya, adalah tugas utama pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kita sering mendengar semboyan Ki Hadjar yang paling terkenal: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan kita memberi contoh, di tengah kita membangun semangat, dan di belakang kita memberi dorongan. Ki Hadjar tahu bahwa pendidikan bukan hanya soal buku, angka, atau deretan nilai. Pendidikan adalah perjalanan panjang untuk menumbuhkan seseorang, seperti pohon yang dibiarkan menjangkau matahari, dengan kita berdiri di sampingnya, memastikan dia tetap sehat.
Kita ingat waktu kecil, belajar hanya sebatas menghafal rumus, tanggal-tanggal sejarah, atau nama-nama planet yang pada akhirnya sulit kita ingat. Kita menganggap pendidikan sebagai sebuah mesin besar yang harus digerakkan terus-menerus, tapi tak pernah benar-benar memahami apa yang kita lakukan. Ki Hadjar bilang, pendidikan itu seperti merawat nyala api kecil di dalam diri setiap anak. Api itu harus dijaga agar tidak padam, dibiarkan membesar dengan caranya sendiri, bukan dipaksa untuk menyala sesuai keinginan kita.
ADVERTISEMENT
Belajar menurut Ki Hadjar punya tiga tahap yang ia sebut dengan Tri N: Niteni (memahami), Nirokke (menirukan), dan Nambahi (mengembangkan). Di tahap pertama, anak-anak diajak untuk mengamati dan memahami. Mereka melihat dunia di sekelilingnya, meresapinya, mencari tahu kenapa ini terjadi dan kenapa itu begitu. Di sini, anak-anak mulai membentuk pemahaman awal mereka tentang dunia.
Begitulah sebenarnya proses belajar yang alamiah, bukan dengan cara paksa. John Dewey, filsuf pendidikan asal Amerika, punya pemikiran yang mirip ketika dia bilang, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan menuju sesuatu yang lain. Ki Hadjar juga berpikir demikian. Kita belajar dari kehidupan sehari-hari, dari alam di sekitar kita, dan dari pengalaman-pengalaman kecil yang kadang luput dari pandangan.
ADVERTISEMENT
Setelah anak-anak memahami, mereka masuk ke tahap Nirokke, atau meniru. Seperti seorang anak kecil yang belajar berjalan dengan melihat orang lain berjalan, begitu juga mereka belajar dengan meniru. Tahapan ini bukan berarti tanpa pemikiran, tapi justru adalah tahap untuk membangun keterampilan dasar. Di sinilah pendidikan berperan sebagai ruang bagi anak untuk belajar secara langsung, tanpa tekanan, tanpa ketakutan akan kesalahan.
Saya sering berpikir tentang ini: betapa banyak anak yang takut untuk mencoba hanya karena takut salah. Kita lupa bahwa Ki Hadjar percaya, pendidikan adalah proses yang alami, proses yang tidak pernah menghakimi. Dan di sini, seorang guru atau orang tua seharusnya hadir bukan sebagai pengawas, tapi sebagai teman yang ada di sisi anak. Mereka ada di sana untuk membimbing, bukan menghakimi.
ADVERTISEMENT
Tahap terakhir adalah Nambahi, atau mengembangkan. Setelah anak-anak bisa mengamati dan meniru, mereka didorong untuk mengembangkan pemahaman mereka sendiri. Mereka diberi ruang untuk bereksperimen, untuk mencoba hal baru. Ini adalah tahap di mana seorang anak menemukan jati dirinya, menemukan minat, dan belajar untuk berpikir mandiri. Ki Hadjar percaya bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk tumbuh dengan keunikannya masing-masing.
Pendidikan kita sering kali lupa pada tahap Nambahi ini. Kita lebih sering mengurung anak-anak dalam standar yang sama, dalam kurikulum yang sama, tanpa memberi ruang untuk kreativitas dan kebebasan berpikir. Ki Hadjar ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang merdeka, bukan pribadi yang terperangkap dalam cetakan. Dia ingin anak-anak menemukan kebebasan dalam belajar, bukan belajar untuk mencapai suatu tujuan yang dipaksakan dari luar.
ADVERTISEMENT
Dan di sinilah semboyan “Tut Wuri Handayani” menjadi sangat berarti. Ki Hadjar mengajarkan bahwa di belakang, kita seharusnya mendorong anak-anak, bukan mengarahkan mereka ke arah tertentu. Kita membiarkan mereka memilih jalan mereka sendiri, memberi mereka dukungan ketika mereka butuh, dan memberi mereka ruang saat membuat kesalahan. Pendidikan seharusnya menjadi proses yang membebaskan, bukan mengikat.
Saya sering merenung tentang itu. Betapa pendidikan kita kadang lupa bahwa anak-anak bukanlah mesin yang bisa diatur dengan mudah. Mereka adalah individu yang punya cara pikir sendiri, cara belajar sendiri. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghargai keberagaman itu.
Ki Hadjar Dewantara ingin melihat pendidikan yang seperti itu, pendidikan yang memberi ruang pada anak untuk tumbuh dengan kebebasan, bukan hanya dengan kepatuhan. Seperti api yang perlu dijaga agar tetap menyala, bukan dipadamkan. Kita semua, sebagai orang tua, guru, atau siapa saja yang peduli dengan pendidikan, mungkin perlu mengingat lagi bahwa tugas kita adalah menjaga api itu tetap hidup.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua, ayah dari seorang anak perempuan yang cemas akan skena pendidikan kita, saya ingin melihat sistem pendidikan yang tidak sekadar memberi nilai, tapi memberi arti dan makna, yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tapi juga memanusiakan. Dan di sinilah Ki Hadjar Dewantara memberikan kita arah, bahwa pendidikan adalah tentang memberi kebebasan, tentang menjadi teman di sepanjang perjalanan, bukan sekadar pemberi aturan.