I Love You, but I Hate You, Arsenal

Konten dari Pengguna
19 November 2017 12:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gisesya Ranggawari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arsene Wenger, legenda Arsenal. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
zoom-in-whitePerbesar
Arsene Wenger, legenda Arsenal. (Foto: Reuters/Andrew Couldridge)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masih teringat jelas dalam kenangan Arsenal pada tahun 2004, mereka berhasil meraih takhta tertinggi di sepakbola Inggris tanpa menderita satu kalipun kekalahan, imbang 12 kali dan menang 26 kali, ‘The Invincibles’ katanya. Arsenal berhasil meraih piala emas atas pencapaiinya tersebut. Sebuah raihan yang fantastis yang tertulis di buku sejarah sepakbola.
ADVERTISEMENT
Puncaknya pada tahun 2006 Arsenal melaju ke partai final Liga Champions Eropa dengan mengalahkan Juventus dan Real Madrid serta mengungguli Barcelona 1-0 di Final pada babak pertama lewat sundulan Sol Campbell pada menit 37, sebelum berakhir 2-1 untuk kemenangan Barcelona di akhir laga lewat dua gol dari Samuel Eto’o dan Belletti. Kemenangan Barcelona ini tidak terbilang mulus dalam mengalahkan Arsenal yang pada tahun 2006 itu merupakan final pertamanya di Liga Champions Eropa. Barcelona baru bisa menyamakan kedudukan lewat Eto’o pada menit 76, padahal Arsenal sudah bermain dengan sepuluh pemain sejak Jens Lehmann mendapatkan kartu merah di menit 18 karena melanggar Eto’o yang sudah sendirian.
Itulah generasi emas Arsenal era Arsene Wenger. Diisi oleh pemain berkualitas seperti Sol Campbell, Vieira, Gilberto Silva, Pires, Bergkamp dan tentu saja King Henry. Setiap pertandingan Arsenal hampir selalu menguasai lini tengah dengan peran Vieira dan Gilberto. Pemain yang sangar dan garang ketika setiap bermain, tak jarang setiap pertandingan Arsenal seringkali diwarnai oleh perkelahian dan tensi tinggi dari Vieira.
ADVERTISEMENT
Momen yang selalu akan diingat adalah ketika melawan Manchester United di Old Trafford ketika Vieira mendapatkan kartu merah setelah kartu kuning kedua karena dinilai wasit ingin menendang Ruud van Nistelrooy, Vieira tak terima oleh keputusan tersebut, sontak terjadi ketegangan dan saling dorong oleh para pemain. Arsenal yang bermain dengan sepuluh orang semakin terpuruk ketika dipenghujung laga Manchester United mendapatkan pinalti setelah pelanggaran Martin Keown.
Publik berpikir rupanya ini kekalahan pertama Arsenal di musim itu, dan yang terjadi Van Nistelrooy gagal mengeksekusi pinalti, para peamain Arsenal menghampiri dan mengejek Van Nistelrooy setelah laga bekesudahan 0-0. Arsenal selepas kepergian Vieira, Arsenal sudah tidak mempunyai sosok sangar dan garang di lini tengah, membuat pemain lawan leluasa menguasai bola di lini tengah. Dan yang paling jelas sampai saat ini Arsenal kehilangan goal getter, predator lini depan, dan Raja Arsenal, yaitu Thiery Henry.
ADVERTISEMENT
Henry sendiri berhasil menjadi top skor dengan 30 gol di musim 2003/2004 itu. Henry berhasil menjadi predator lini depan setelah bakatnya ditemukan dan diasah oleh sang Professor Arsene Wenger. Pada tahun 1999 dibeli dari Juventus dengan harga 10,5 juta pound dengan statistic hanya mengoleksi 3 goal di Juventus dalam 16 kali penampilan. Henry tak lepas oleh bantuan lini tengah seperti Robert Pires, Ljungberg dan Bergkamp di second striker Pada masanya Arsene Wenger memang terkenal memiliki kelebihan menemukan talenta-talenta muda berbakat, tak salah jika mendapat julukan The Professor.
Tiga belas tahun sudah berlalu dari masa keemasan Arsenal yang berhasil meraih piala emas Liga Inggris. Sosok seperti Vieira, Pires, Bergkamp, Henry sudah tidak ada, yang tersisa dari masa emas itu hanyalah sang pelatih. Sang pelatih yang mungkin sudah memudar keahliannya. Sang professor yang ramuan dan racikan obatnya sudah kalah canggih dan mutakhir dari pesaingnya. Padahal sebelum Pep Guardiola terkenal dengan tiki-taka, Arsenal sudah dulu menerapkannya walau tidak semulus Barcelona. Filosofi bermain indah ala Wenger ini nampaknya sudah tergerus zaman.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun para gooners selalu berharap dan harapan itu sirna setelah paruh musim, badai cedera atau striker yang tidak tajam selalu menjadi kendala. Empat tahun belakangan Wenger sedikit mengobati gooners dengan juara Piala FA. Menilik sejarah Arsenal yang merupakan tim besar, juara FA saja tidak cukup setiap tahunnya. Sudah saatnya Arsenal menatap Eropa, tapi jangan dulu ke Eropa, Liga Inggris saja sulit. Ketika tim lain berkembang dari segi prestasi, Arsenal malah menurun setelah final Champions 2006.
Menurut saya akan lebih bijaksana jika Wenger mengundurkan diri saat terakhir Arsenal menjuarai piala FA pada tahun 2016. Mungkin akan dikenang menjadi legenda dan memberikan kesan tak terlupakan, namun Wenger enggan juga untuk mundur, manajemen juga selalu memberikan kontrak baru untuknya karena mungkin dinilai finansial Arsenal sangat baik untuk bisnis ketika ditangani oleh Wenger. Tetapi para gooners rindu Arsenal yang garang, yang galak setiap pertandingan, bukan sebagai Arsenal yang selalu menjadi objek meme, cemoohan dan ejekan.
ADVERTISEMENT
Kami para gooners mungkin tidak akan luntur rasa cintanya pada Arsenal hanya karena gelar atau piala, tetapi sudahi lah segala ejekan ini dengan kemenangan, dengan permainan cantik, dengan motivasi yang tinggi dan semangat juang yang keras. Harus ada rombakan besar-besaran pada tim ini, dari manajemen, pemegang saham, staf kepelatihan hingga beberapa pemain. Wenger tidak boleh berlindung dalam kenangan gelar Invincibles demi mempertahankan kursi kepelatihannya, sudah saatnya. Semoga kemenangan North London Derby tadi malam menjadi pemacu semangat untuk Wenger setidaknya memberikan satu gelar tahun ini lalu undur diri. I love you, but I hate you ARSEN(e)AL. #WengerOut
***
Salam! VCC