Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Usulan Sertifikasi Haram: Mengganti Sistem Sertifikasi Halal yang Acap "Bolong"
5 Mei 2025 17:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bayu Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Belakangan ini, isu mengenai produk halal yang menyalahi aturan di Indonesia kembali muncul. Pada 21 April 2025, BPJPH mengeluarkan siaran pers mengenai isu produk pangan olahan bersertifikat halal yang terdeteksi mengandung unsur babi (Porcine). Pada siaran pers tersebut, disebutkan bahwa terdapat 9 produk yang terdeteksi mengandung unsur babi. Dari 9 produk tersebut, 7 di antaranya sudah bersertifikat dan berlabel halal.
ADVERTISEMENT
BPJPH telah memberikan sanksi berupa penarikan barang dari peredaran terhadap 7 produk yang sudah bersertifikat halal tersebut. Diketahui bahwa mayoritas dari 9 produk yang terindikasi mengandung babi diproduksi oleh perusahan China dan Filipina yang kemudian diimpor oleh perusahaan lokal. Dikutip dari detik.com, Kepala BPJPH, Ahmad Haikal Hasan, mengimbau agar masyarakat turut ambil peran dalam pengawasan produk-produk yang beredar dan tidak segan untuk melapor jika mendapati produk yang tidak memenuhi ketentuan dan regulasi Jaminan Produk Halal yang berlaku. Tapi, kejadian ini tentunya memberi pukulan yang menimbulkan keraguan dan pertanyaan di benak masyarakat mengenai sistem sertifikasi halal.
Beredarnya produk bersertifikat halal yang mengandung babi membuat masyarakat dan media bertanya-tanya mengenai kinerja sistem jaminan produk halal. Bahkan, saat ini muncul kembali usulan lama mengenai penggunaan sertifikasi haram alih-alih sertifikasi halal. Mengutip dari tempo.co, penggunaan sertifikasi haram dikatakan layak dicoba. Alih-alih mengatur kehalalan sebuah produk pangan, akan lebih efektif dan efisien jika negara mengatur label haram.
ADVERTISEMENT
Dengan jumlahnya yang lebih sedikit dibanding produk halal, pengawasan pangan haram akan lebih mudah. Tempo juga menyatakan bahwa skema sertifikasi halal saat ini menimbulkan celah kecurangan antara produsen dan auditor Lembaga Pemeriksa Halal. Seandainya yang diatur sertifikat haram, BPJPH dan BPOM tinggal mewajibkan deklarasi kandungan produk kepada produsen, adapun audit yang perlu dilakukan tidak akan sebanyak audit pada sistem sertifikasi halal.
Labelisasi Haram
Sebenarnya, sudah ada regulasi mengenai labelisasi atau pemberian keterangan haram pada produk haram/produk yang menggunakan bahan yang diharamkan. “Labelisasi haram” ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada pasal 26 ayat 2 yang berbunyi “Pelaku Usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk”. Artinya, memang sudah ada kewajiban bagi pelaku usaha atau produsen untuk mendeklarasikan produknya yang menggunakan bahan yang diharamkan dengan pemberian keterangan “tidak halal” atau “haram”.
ADVERTISEMENT
Kewajiban ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal pada pasal 110. Pada ayat 1 disebutkan “Pelaku Usaha yang memproduksi produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, wajib mencantumkan keterangan tidak halal.” Kemudian pada ayat 2 disebutkan “pencantuman keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.”
Terdapat sanksi bagi produsen yang tidak patuh terhadap kewajiban pemberian keterangan pada produk yang menggunakan bahan haram. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2014, sanksi tersebut diatur pada pasal 27 ayat 2, yaitu dikenakan sanksi administratif berupa: a) teguran lisan, b) peringatan tertulis, atau c) denda administratif. Sedangkan dalam PP Nomor 42 Tahun 2024, sanksi tersebut diatur pada pasal 185, yaitu wajib menarik produk dari peredaran sampai dengan pencantuman keterangan tidak halal. Selain itu, BPJPH akan mengumumkan produk yang dikenakan sanksi tersebut kepada masyarakat melalui media elektronik, media sosial, dan/atau media cetak.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, pemberian keterangan haram pada produk yang menggunakan bahan yang diharamkan bukan berupa penerbitan sertifikat haram, tetapi hanya sebatas keterangan dalam bentuk label atau bentuk lainnya yang dilakukan oleh produsen. Kewajiban pemberian keterangan haram pada Undang-Undang dan Peraturan yang sudah dibahas merupakan aturan pendukung, bukan pengganti sertifikasi halal. Artinya, selain kewajiban untuk mempunyai sertifikat halal, juga terdapat kewajiban deklarasi keterangan haram untuk produk-produk yang berasal dari bahan yang diharamkan.
Bisakah menerapkan Sertifikasi Haram sebagai pengganti dari Sertifikasi Halal?
Walaupun secara sekilas penggunaan sertifikat haram terlihat lebih mudah karena jumlah produk yang perlu disertifikasi haram tidak sebanyak produk yang perlu disertifikasi halal, tetapi pada dasarnya tidak berlaku semudah itu. Produk halal tidak hanya sekedar produk yang menggunakan bahan-bahan halal. Produk halal merupakan produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Dan untuk menjamin kehalalan, suatu produk perlu dipastikan dari berbagai aspek termasuk penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
ADVERTISEMENT
Definisi produk halal tentunya meluas seiring dengan berkembangnya industri makanan. Saat ini, makanan mengalami proses yang panjang untuk bisa dikonsumsi. Dalam menghasilkan satu produk makanan olahan, bahan baku bisa melewati beberapa kali proses produksi/pengolahan. Selain itu, produk makanan memiliki proses distribusi yang panjang untuk bisa sampai ke tangan konsumen. Halal dapat dimaknai secara komprehensif dengan memenuhi semua prinsip Islam dalam seluruh rantai proses produksi dari awal pembuatan hingga diterima oleh konsumen sehingga memastikan bahwa produk terlindungi dari kontaminasi oleh produk haram (sesuatu yang dilarang dikonsumsi dalam Islam) dan adanya unsur berbahaya.
Seandainya pemerintah menerapkan sistem sertifikasi haram, produk yang paling mudah diidentifikasi adalah produk yang menggunakan bahan yang diharamkan. Jika menimbang dari jumlah produk yang seperti itu, tentu jumlahnya sedikit dan terkesan mudah serta efisien untuk melakukan penerbitan sertifikat haram dan proses pengauditan. Namun, apakah produk-produk selain "produk yang menggunakan bahan yang diharamkan" sudah pasti halal? Belum tentu. Karena keharaman suatu produk bukan hanya ditentukan oleh bahan-bahan yang digunakan.
ADVERTISEMENT
Pemotongan hewan yang dihalalkan tetapi tidak sesuai syariat Islam, kontaminasi najis dan/atau sesuatu yang diharamkan selama proses produksi, alat/proses distribusi produk halal menyatu/bercampur dengan produk haram, merupakan beberapa contoh penyebab lain yang dapat membuat produk yang asalnya halal berubah menjadi haram. Pada akhirnya, untuk memastikan halal/haramnya suatu produk, tetap perlu dilakukan pemeriksaan dan audit terhadap produk secara keseluruhan.
Selain itu, perubahan sistem sertifikat halal menjadi sertifikat haram tentunya akan menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen. Konsumen akan lebih nyaman dan percaya dengan “produk bersertifikat halal” daripada “produk tidak bersertifikat haram”. Apalagi konsumen untuk produk makanan halal Indonesia tidak hanya mencakup masyarakat domestik, tetapi sudah merambah ke masyarakat mancanegara. Dengan kondisi ini, penggunaan sertifikasi haram akan menimbulkan masalah baru dalam ekspor produk terutama ke negara-negara muslim seperti negara-negara Teluk.
ADVERTISEMENT
Ditambah, Indonesia tidak bisa mengabaikan potensi industri halal yang sangat besar. Berdasarkan State of The Global Islamic Economy Report 2023/2024, konsumen muslim dunia melakukan belanja senilai 2,29 Triliun USD untuk produk-produk halal. Sektor halal dengan nilai belanja terbesar adalah sektor makanan halal dengan nilai belanja sekitar 1,4 Triliun USD. Hal ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi kinerja industri halal Indonesia sedang berjalan baik. Berdasarkan sumber yang sama, Indonesia berada di peringkat ke-8 sebagai top eksportir produk halal dan berada di peringkat ke-5 sebagai top eksportir makanan halal.
Negara-negara muslim menjadikan sertifikat halal sebagai salah-satu dokumen persyaratan agar produk bisa masuk dan diterima di negaranya. Dengan penggunaan sertifikat haram, selain harus melakukan diplomasi perdagangan untuk membahas perubahan dokumen persyaratan ekspor bersama mitra dagang, akankah menambah birokrasi baru yaitu penerbitan “keterangan tidak haram” bagi produsen yang ingin mengekspor produknya? Dengan skenario ini, tentunya penggunaan sistem sertifikasi haram, tidak begitu mudah dan efisien seperti yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
Saya setuju bahwa sistem sertifikasi halal yang berlaku saat ini masih perlu dievaluasi dan diperbaiki, tetapi mengganti penggunaan sertifikat halal menjadi sertifikat haram nampaknya tidak terlihat sebagai jawaban dan masih perlu dikaji lebih dalam.