Buruh Digital dan Kerja yang Tidak Dibayar

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
24 Maret 2021 18:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kerja secara daring. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kerja secara daring. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Hampir semua orang yang bekerja pasti menginginkan imbalan baik berupa uang, barang, maupun added value. Para pekerja sosial atau relawan yang tidak diupah pada dasarnya mengincar imbalan berupa added value. Misalnya, relawan kebencanaan menginginkan value kemanusiaan ketika menolong sesama; bahwa orang akan merasakan kepuasaan karena telah menolong orang lain.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa tingkat akhir yang magang di perusahaan tertentu juga seringkali mengejar added value berupa meningkatnya pengalaman, skills, atau memperkaya daftar CV (walaupun dalam beberapa kasus mereka justru dieksploitasi). Intinya, imbalan sebagai hasil kerja itu dapat berbentuk fisik (tangible) atau tidak memiliki bentuk (intangible).
Namun, di era serba internet dan kuatnya penetrasi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari manusia, muncul klasifikasi baru dari pekerja yang sangat khas: buruh digital. Berbeda dengan pekerja dengan imbalan materi maupun non-materi yang sadar bahwa mereka sedang bekerja. Buruh digital ini tidak menyadari bahwa mereka sedang bekerja, bahkan mereka menikmati pekerjaannya, namun tidak mendapatkan imbalan yang layak.
Buruh digital itu adalah kita: orang-orang yang aktif berselancar di internet, melakukan pencarian informasi melalui Googling, memiliki akun media sosial, hingga mengaktifkan mode akses lokasi (GPS) dalam genggaman.
ADVERTISEMENT
Tidak semua orang sadar bahwa segala fasilitas di internet yang nampaknya gratis seperti Google dan Facebook, yang pada dasarnya tidaklah gratis. Karena jika benar-benar gratis, tentu pertanyaan sederhananya: bagaimana korporasi digital itu mendapatkan untung? Jawabannya adalah mereka mendapatkan profit dari pengiklan. Lalu apa yang mereka jual kepada para pengiklan? Jawabannya adalah kita, atau lebih tepatnya data perilaku kita di internet.
Setiap aktivitas yang kita lakukan pasti meninggalkan jejak digital. Coba saja melakukan pencarian kata kunci seperti “rumah”, “KPR”, atau “kredit rumah” di Google. Saat kita membuka akun Instagram, akan muncul iklan mengenai perumahan. Ini adalah contoh sederhana dari mekanisme penjualan data perilaku digital kita. Kenyataannya mekanisme ini berlangsung dengan masif dan sangat intensif.
ADVERTISEMENT
Jangan berpikir bahwa data yang kita gadaikan hanyalah “data pribadi” seperti nama, nomor telepon, alamat, dan seterusnya. Apa yang kita ketik di kolom pencarian Google, apa yang kita klik, apa yang kita berikan suka, komentar, dan ulasan, bahkan ke mana kita pergi sepanjang akses lokasi di HP kita aktif adalah data perilaku kita yang telah disimpan dan dijual. Google memiliki rekaman ke mana kita pergi dan tempat apa saja yang kita kunjungi setiap hari.
Korporasi digital yang berkumpul di Silicon Valley itu bahkan memiliki mekanisme agar kita terus engage bahkan kecanduan dengan layanan mereka. Facebook dan Instagram memiliki mekanisme semisal notifikasi, kuantifikasi likes, komentar, bahkan fitur stories agar penggunanya ketagihan. Platform didesain agar ramah pengguna (user friendly) sekaligus dibanjiri informasi yang tiada henti. Orang-orang tidak akan berhenti melakukan scroll, melihat berbagai konten hingga ikut berpartisipasi. Coba tanya pada diri sendiri: seberapa kuat kita tidak membuka aplikasi digital di HP dalam sehari?
ADVERTISEMENT
Semakin banyak waktu berselancar, semakin banyak pula data perilaku yang kita hasilkan. Korporasi itu mengawasi segala aktivitas kita, dan mereka membuat model prediksi perilaku para penggunanya dengan sangat akurat. Model prediksi yang akurat dan terukur itulah yang kemudian mereka konversi menjadi keuntungan ekonomi. Data perilaku kita yang sangat besar itu dijadikan komoditas yang keuntungan sejatinya hanya dinikmati oleh Mark Zuckerberg dan rekannya.
Oleh sebab itulah “waktu berselancar” kita pada hakikatnya adalah “waktu kerja”. Bayangkan sebuah pabrik penghasil sepatu. Para buruh setiap hari bekerja (katakanlah) delapan jam untuk menghasilkan sepatu dalam jumlah tertentu. Semakin banyak waktu kerjanya berarti semakin banyak jumlah sepatu yang dihasilkan. Tentu saja produksi yang banyak tersebut akan menjadi sumber profit bagi pabrik karena banyak yang dapat dijual. Walaupun dalam praktiknya seringkali terjadi over-produksi sehingga perusahaan harus menanggung rugi untuk barang-barang yang tidak laku.
ADVERTISEMENT
Logika yang sama juga berlaku untuk para buruh digital. Waktu kerja yang kita habiskan adalah waktu berselancar di internet untuk menghasilkan produk berupa data perilaku. Pabrik bagi buruh digital tidaklah dalam pengertian tradisional yang terbatas pada tempat tertentu. Justru batasan pabrik menjadi sangat samar dalam arti, semua tempat adalah pabrik. Kita pun tidak menyadari waktu kerja karena kita menganggapnya sebagai waktu senggang. Pada akhirnya, waktu senggang adalah waktu kerja; dan waktu kerja adalah waktu senggang.
Sebetulnya cara kerja yang mirip buruh digital bukanlah hal baru. Dahulu ketika orang-orang menonton televisi, aktivitas tersebut yang dikonversi menjadi rating stasiun TV dan dijual kepada para pengiklan. Pabriknya adalah ruang keluarga karena aktivitas “produksi” (menonton TV) dilakukan di rumah masing-masing. Era buruh digital nyatanya membuat waktu dan ruang kerja itu semakin luas dan intens.
ADVERTISEMENT
Mungkin ada yang beranggapan bahwa toh kita sebagai pengguna juga mendapatkan manfaatnya. Dari aktivitas bermedia sosial kita tetap dapat manfaat seperti makin banyak teman, akses informasi, dan kepuasan untuk menampilkan citra diri kita. Kita merasa senang berselancar di dunia maya dan hidup kita tergantung dengannya. Padahal alih-alih manfaat yang kita dapatkan, sebaliknya kita sedang dimanipulasi. Kita semua memang sedang didesain agar bergantung pada platform mereka dan dibuat agar merasa hidup kita sangat dibantu olehnya.
Facebook misalnya, menebarkan jargon “Membantu Anda terhubung dan berbagi dengan orang-orang dalam kehidupan Anda”. Jargon ini tampak sangat baik sekali, tapi di sisi lain sangatlah problematis. Kata “sosial” di dalam media sosial sendiri sebetulnya patut digugat karena tidak mencerminkan arti kehidupan sosial yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Relasi dan interaksi sosial di media sosial sangat dipengaruhi oleh rekayasa. Kehidupan sosial manusia yang dasarnya adalah tingkat kualitas hubungan digeser sedemikian rupa menjadi sekadar kuantitas: seberapa banyak followers yang kita miliki dan berapa likes yang kita dapatkan dalam sekali posting. Dengan kuantitas yang besar, orang-orang akan merasa semakin “sosial”, meskipun nyatanya itu semua adalah ilusi. Sebaliknya kerekatan kita dengan orang-orang paling dekat seperti anak dan orang tua semakin renggang. Apakah ini kehidupan sosial yang ideal?
Lagi-lagi situasi itu sengaja dimanipulasi melalui mekanisme algoritma agar kita bergantung pada platform digital. Tujuannya hanya satu: mengumpulkan data perilaku kita sebanyak-banyaknya, menjadikannya komoditas, lalu mengonversikannya menjadi keuntungan ekonomi. Keuntungan itu jelas hanya dinikmati perusahaan. Sedangkan kita mendapatkan imbalan manfaat yang tidak sebesar kerugian yang dirasakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Siapakah yang bertanggung jawab atas masifnya berita palsu? Polarisasi politik yang sangat kuat, permusuhan, bahkan kekerasan rasial dan seksual menjadi efek dari sampah hoaks yang intens. Sedangkan hukuman hanya dapat dikenakan kepada mereka yang menyebarkan informasi palsu.
Saat ini banyak orang terutama remaja semakin depresi dan kesehatan mental mereka terganggu karena ketergantungan digital. Dalam ranah psikologi dikenal istilah Fear of Missing Out (FOMO) karena orang merasa takut ketinggalan dari moda atau tren. Citra yang ditampilkan di Instagram adalah ilusi yang membuat orang saling berlomba-lomba dan merasa kelelahan batin. Banyak orang tetap berselancar meski kesehatan mental mereka terganggu. Tapi itulah yang diinginkan korporasi digital dari Silicon Valley untuk terus mendulang keuntungan.
ADVERTISEMENT
Data 2016 menunjukkan bahwa 80 persen dari pendapatan iklan digital dikuasai oleh Google, Facebook, dan korporasi besar sejenisnya. Sekalipun ada Selebgram atau YouTubers yang mendadak kaya karena pendapatan iklan, nyatanya pendapatan mereka kalah jauh dibandingkan para pemilik platformnya. Digital content creators harus berpikir keras untuk menjaga engagement dengan penonton, sedangkan korporasi digital tidak membutuhkan itu untuk mendulang keuntungan. Mereka hanyalah aggregator dari konten-konten yang diproduksi penggunanya. Kasarnya, korporasi digital adalah sebenar-benarnya tukang plagiat.
Tapi kita juga harus tahu bahwa buruh digital bukan satu-satunya yang ironi. Lihat iPhone di kantong, serta laptop dan hardware lainnya yang kita gunakan. Barang-barang ini tetaplah hasil produksi pabrik dari keringat buruh yang dibayar murah. Bahkan bahan bakunya diambil dari mineral yang didapat dari negara-negara Afrika.
ADVERTISEMENT
Eksploitasi itu tetap ada dan nyata. Bedanya kita dengan buruh-buruh yang bekerja untuk menghasilkan perangkat keras adalah; kita merasa senang dieksploitasi, dan mereka berdarah-darah melaluinya.