Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mempertanyakan Digitalisasi Sekolah
30 Juli 2021 11:33 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah untuk menyediakan laptop bagi sekolah di semua jenjang patut dikritisi bersama. Pertama tentu saja adalah celah korupsi yang terbuka lebar karena proyek pengadaan. Terlepas dari apakah pemerintah telah belajar dari buruknya birokrasi pengadaan barang; usaha digitalisasi institusi pendidikan, dalam hal ini sekolah, tidak melulu soal penyediaan infrastruktur teknologi dan informasi komunikasi (TIK). Itulah mengapa kita harus mempertanyakan program digitalisasi sekolah a la pemerintah.
ADVERTISEMENT
Penyediaan infrastruktur memang penting bagi digitalisasi dalam ranah apapun. Indonesia masih dihadapkan dengan ketimpangan digital (digital divide) terutama bagi daerah-daerah yang tidak memiliki akses dasar seperti jalan dan listrik. Memprioritaskan penyediaan paket alat-alat TIK (laptop, router, connector, dst) bagi daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) memang kelihatan baik. Usaha tersebut harus diiringi dengan penyediaan infrastruktur dasar lainnya seperti listrik, misalnya. Tidak mungkin ada internet tanpa ketersediaan listrik.
Tetapi, digitalisasi sekolah – jika memang itu tujuannya – tidak akan terjadi jika kompleksitas masalah digital divide yang tidak hanya soal akses internet dapat diatasi. Kajian sosiologi dewasa ini menunjukkan bahwa isu digital divide memiliki tiga tingkatan yang jika tidak diperhatikan pemangku kebijakan, justru akan melanggengkan eksklusi sosial.
ADVERTISEMENT
Tingkatan pertama (first digital divide) adalah ketimpangan akses fisik terhadap perangkat digital dan internet. Mereka yang tidak memiliki infrastruktur memadai untuk dapat mengakses internet terjebak pada tingkatan ini. Kalau dilihat, usaha pemerintah dalam mengentaskan digital divide di ranah pendidikan sejauh ini hanya terbatas pada tingkatan pertama: menyediakan laptop dan lain sebagainya.
Kemudian, tingkatan keduanya (second digital divide) adalah ketimpangan dalam hal penggunaan (usages) di antara mereka yang telah memiliki akses internet. Penggunaan, dalam hal ini berkenaan dengan kemampuan seseorang untuk menggunakan perangkat digital guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Literasi digital, pengetahuan tentang TIK, motivasi personal, dan keterampilan penggunaan internet menjadi sangat penting dalam situasi tersebut.
Kita bisa lihat, misalnya, bagaimana banyak guru di sekolah mengalami kesulitan dalam menggunakan perangkat digital untuk proses belajar-mengajar (PJJ) selama masa wabah. Ada beberapa aplikasi yang dikembangkan untuk membantu PJJ, tetapi, beberapa guru justru kesulitan memakainya. Biasanya untuk mengentaskan masalah tersebut, sekolah-sekolah mengadakan lokakarya: melatih para guru agar terampil menggunakan perangkat digital untuk kepentingan mengajar.
ADVERTISEMENT
Namun, perbedaan tingkat penggunaan dalam second digital divide tidak berhenti pada keterampilan menggunakan perangkat digital dan aplikasinya. Dalam ranah pendidikan, keterampilan itu juga mencakup bagaimana aktor-aktor yang terlibat mampu mengeksplorasi berbagai pengetahuan dan disarikan untuk pengembangan pendidikan.
Berkat akses internet yang semakin luas, informasi dan pengetahuan menjadi mudah ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak. Jika memang tujuannya adalah digitalisasi sekolah, cara-cara pengajaran konvensional tidak lagi berlaku. Otoritas atas pengetahuan di sekolah telah bergeser: guru bukan menjadi satu-satunya sumber pengetahuan bagi para murid. Dengan demikian, keterampilan para murid untuk belajar lewat internet akan menentukan kualitas hasil pendidikan. Termasuk, keterampilan para guru untuk membimbing murid-muridnya.
Dalam tulisan sebelumnya di Kumparan, saya telah menjelaskan bagaimana karakter pendidikan di era digital memerlukan pembangunan pemikiran kritis bagi peserta didik. Konsep pedagogi dialogis di mana guru dan murid berada pada posisi setara semakin dibutuhkan agar peserta didik terbiasa untuk berpikir, bahkan seharusnya mampu memiliki preposisinya sendiri atas pengetahuan. Nalar kritis ini selaras dengan literasi digital: memilah informasi yang tepat dan dibutuhkan, serta menggunakannya untuk membangun pengetahuan baru. Cara seperti ini akan sulit apabila peserta didik lebih terbiasa menghafal daripada berpikir dan berargumen.
ADVERTISEMENT
Dari ketimpangan akses internet hingga penggunaannya, kita masuk ke tingkatan ketiga (third digital divide) yaitu ketimpangan penerimaan manfaat. Tujuan dari digitalisasi sekolah bukan hanya mengubah pola belajar-mengajar offline menjadi online. Lebih dari itu, digitalisasi sekolah haruslah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia.
Orang-orang yang memiliki akses internet dan terampil dalam menggunakannya, memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak terampil. Kebermanfaatan dari digitalisasi pendidikan hanya akan dicapai manakala para peserta didik termasuk pengajarnya mampu mengeksploitasi teknologi digitalnya untuk mengembangkan pengetahuan. Jadi, tidak cukup hanya dengan menyediakan akses internet dan perangkat-perangkatnya, lalu dikatakan telah melakukan digitalisasi sekolah.
Di masa pandemi ini, semakin tampak bahwa keterampilan untuk mengeksplorasi pengetahuan melalui teknologi digital semakin dibutuhkan. Banyak orang tua mengeluhkan bahwa selama PJJ, anaknya seperti tidak sekolah (tidak belajar apa-apa). Padahal, kebutuhan literasi digital dan motivasi untuk terus belajar harus dibangun lewat proses dialog antara pendidik dan peserta didik. Saya membayangkan melalui ruang virtual (apapun media atau aplikasinya), para guru justru mendorong anak-anak untuk berpikir atas masalah-masalah sosial atau alam di sekitarnya. Pekerjaan rumah yang diberikan bersifat analitik, dan merangsang peserta didik untuk mencari tahu lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Tetapi masalahnya, pendidikan kita tampak jauh dari gambaran ideal itu. Sekolah digital hanya dimaknai dengan penggunaan internet untuk membantu proses belajar. Seperti memanfaatkan ruang-ruang virtual semata untuk mengikuti tren. Saya melihat bahwa digitalisasi sekolah tidak memiliki tujuan besar bagi kemajuan pendidikan Indonesia. Seharusnya, digitalisasi sekolah haruslah beriringan dengan memperbaiki sistem dan budaya pendidikan bangsa, terutama, agar tercipta peserta didik yang kritis dan mampu berpikir secara mandiri.