Menilik Childfree dari Sisi Kebijakan Publik

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2021 10:14 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto seorang anak. Gambar oleh Aamir Mohd Khan dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Foto seorang anak. Gambar oleh Aamir Mohd Khan dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Beberapa kalangan dari kelas menengah perkotaan belakangan ini menyuarakan childfree (tidak ingin memiliki anak) di jagat media sosial. Sebut saja salah satunya adalah influencer Gita Savitri. Alasan Gita sederhana saja: tidak ingin memiliki anak karena kecenderungan egoistik. Syahdan, memiliki anak agar kelak berbakti dan mengurus orang tua di masa senja memang menjadi alasan arus utama yang dominan di masyarakat Indonesia. Nilai agama jelas berperan dalam membentuk pikiran banyak orang tentang “kewajiban” memiliki anak setelah menikah.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk memiliki anak atau tidak bagi pasangan memang urusan privat. Namun bayangkan apabila orang-orang yang berpikir seperti Gita jumlahnya berlipat ganda. Katakanlah 50 persen pasangan suami-istri di Indonesia mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. Jelas agregat keputusan tersebut berdampak pada kondisi sosial-ekonomi-demografi negara.
Mari kita lihat lintasan historis kebijakan negara dalam mengatur jumlah anak: keluarga berencana (KB). Sebelum 1970-an, angka kelahiran total (total fertility rate) atau disingkat TFR berada di kisaran 4 – 5. Itu artinya, rata-rata anak yang dilahirkan perempuan di masa suburnya adalah 4 – 5 anak. Semakin besar jumlah anak yang dilahirkan, semakin cepat pula laju pertumbuhan penduduk di suatu wilayah. Tidak terkendalinya laju pertumbuhan penduduk jelas membebani perekonomian negara.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Orde Baru pada saat itu menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dikejar apabila kelompok penduduk usia produktif jumlahnya lebih besar dibandingkan kelompok non-produktifnya. Kondisi ini disebut sebagai bonus demografi, yang baru sekarang periodenya telah dimulai di Indonesia berkat kebijakan KB bertahun-tahun lalu. Bonus demografi adalah situasi ideal untuk memacu pertumbuhan ekonomi selain karena jumlah penduduk usia produktifnya tinggi, juga rasio ketergantungannya relatif rendah.
Kita barangkali mengingat bagaimana kampanye “dua anak lebih baik” menjadi narasi yang melekat di kepala pada dua hingga empat dekade lalu. Pusat-pusat kesehatan masyarakat turut andil memperkenalkan berbagai jenis kontrasepsi modern untuk menahan angka kelahiran anak. Sebagian besar ulama melalui fatwanya menyebut bahwa kontrasepsi halal digunakan meskipun tidak sampai memperbolehkan childfree (dalam tafsir Islam arus utama, berupaya agar memiliki anak adalah kewajiban suami-istri).
ADVERTISEMENT
Kebijakan KB yang diluncurkan sejak era presiden Suharto menuaikan hasil yang sangat signifikan terhadap struktur demografi Indonesia. Data statistik resmi menunjukkan bahwa angka TFR yang sebelumnya mencapai empat, kini dapat ditekan hingga hampir menyentuh angka dua. Angka pemakaian kontrasepsi modern juga perlahan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan penduduk yang pada 1970-an sebesar 2,32 persen menjadi 1,43 persen pada 2015 lalu.
Sebetulnya kebijakan KB bukanlah khas Indonesia. Apa yang dilakukan pemerintah juga sejatinya mengikuti kehendak global. Lagipula, banyak negara menerapkan kebijakan KB dengan menekan angka kelahiran untuk menjaga perekonomiannya.
Salah satu yang cukup ekstrim dalam catatan sejarah dunia adalah kebijakan pemerintah Deng Xiaoping di Cina pada 1979 lewat one-child policy dan baru berakhir 2015 lalu. Sebagai negara dengan jumlah penduduk sangat besar, kebijakan one-child policy a la Cina menjadi sangat relevan untuk diperhatikan.
ADVERTISEMENT
One-child policy bermula dari kebijakan KB yang diperkenalkan pemerintah Cina pada pertengahan 1970-an. Saat itu slogan yang dikampanyekan adalah “Later, Longer, Fewer” yang berarti menunda usia pernikahan, memperbesar jarak antar-kehamilan, dan memperkecil jumlah anak. Namun yang terjadi belakangan adalah kewajiban pasangan suami-istri di Cina saat itu untuk hanya memiliki satu anak.
Pasangan suami-istri yang berhasil hanya memiliki satu anak diberikan sertifikat KB. Masyarakat diberikan insentif untuk saling mengawasi satu sama lain. Apabila ada yang melanggar, dapat dilaporkan ke pemerintah melalui kanal khusus. Pasangan suami-istri yang terbukti melanggar one-child policy akan dikenakan denda dan tidak mendapatkan akses layanan publik. Sedangkan mereka yang patuh diberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, upah yang lebih tinggi, dan berbagai bantuan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tetapi kita juga harus tahu bahwa one-child policy menimbulkan efek samping yang sangat serius. Angka aborsi dan sterilisasi perempuan meningkat drastis. Terjadi ketidakseimbangan gender karena jumlah laki-laki yang lebih besar dibandingkan perempuan. Ketidakseimbangan ini juga terjadi karena pasangan suami-istri semasa one-child policy diberlakukan, cenderung ingin memiliki anak laki-laki agar kelak dapat bekerja. Selain itu, jumlah penduduk lansia meningkat drastis yang membuat pensiunan angkatan kerja semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak yang seharusnya berada di masa sekolah justru memasuki pasar tenaga kerja.
Problem serius yang mengemuka juga terjadi di Jepang. Negara industri ini telah memasuki fase bonus demografi pada saat Indonesia bahkan belum memulai kebijakan KB. Namun, ketika fase bonus demografi di Jepang telah usai, negara ini secara perlahan mengalami stagnansi pertumbuhan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia. Kini Jepang menjadi super-aged society karena penduduk berusia 65 tahun ke atas jumlahnya sangat tinggi yaitu 28,7 persen dari total populasi. Semakin tingginya penduduk berusia tidak produktif, itu artinya beban ekonomi yang harus ditanggung negara sangat besar.
ADVERTISEMENT
Apa yang dapat kita pelajari dari Jepang menunjukkan bahwa kebijakan KB tidak melulu soal mengurangi jumlah anak. Sebaliknya, kebijakan KB di Jepang justru mendorong pertumbuhan penduduk melalui memperbesar angka kelahiran anak. Ada sejumlah insentif yang telah disiapkan pemerintah Jepang untuk melaksanakan kebijakan tersebut (saya ringkas dari tulisan Ida Ayu di Kumparan). Pertama, memberikan subsidi biaya pernikahan bagi penduduk yang hendak menikah di bawah usia 34 tahun. Kedua, memberikan dukungan dana kehamilan dari sisi perawatan dan biaya kesehatan. Ketiga, memberikan santunan berupa dana bagi perempuan yang melahirkan. Keempat, memberikan durasi cuti melahirkan yang cukup panjang.
Childfree dan Beban Ekonomi
Mari kita menyimak kembali apa yang dikatakan Gita tentang alasannya memilih childfree dalam sebuah wawancara di YouTube:
ADVERTISEMENT
…salah satu poin dari diskusi kita soal ini (childfree) adalah bahwa kayaknya ada banyak teman-teman aku, bahkan orang tua aku sendiri, saat ditanya alasan mengapa memiliki anak mereka tidak bisa memberikan jawaban yang di aku tidak terdengar selfish…
Gita Savitri dan Suami. Sumber: Instahgram pribadi Gita Savitri (@gitasav)
Kata selfish (egois) yang dikatakan Gita di atas merujuk seperti apa yang ditampilkan di muka tulisan ini, bahwa banyak orang ingin memiliki anak agar memberikan benefit bagi orang tuanya (seperti berbakti dan merawat saat lansia kelak). Dalam wawancara itu, Gita membalikkan argumennya kepada aspek kesiapan dan tanggung jawab orang tua terhadap anak: “…mereka memiliki anak di saat tidak memiliki apa-apa, berani sekali ya?”.
Argumentasi Gita ini dapat dipahami mengingat beban ekonomi yang dirasakan terutama bagi masyarakat perkotaan sangatlah besar. Di kota, orang-orang bergelut dengan kerasnya persaingan kerja, upah minim, dan sulitnya akses terhadap hunian layak. Kelas menengah kota yang lebih intens mengakses informasi lewat internet, berpotensi besar untuk mengaminkan bahkan mengikuti jejak Gita kendati banyak di antara mereka yang tidak setuju.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi ini memang urusan privat yang semestinya tidak dicampuri orang lain. Namun, apabila gagasan childfree menjadi tren yang menulari pikiran banyak orang, negara perlu mengambil perhatian serius. Dengan semakin kecilnya angka kelahiran, fase bonus demografi di Indonesia akan semakin cepat berakhir dan penduduk usia tua jumlahnya semakin mendominasi. Seperti Jepang, Indonesia mungkin akan kesulitan untuk menaikkan TFR manakala jumlah kelahiran terlampau sedikit saat fase bonus demografi berakhir yang diprediksi 2035.
Terlepas dari kebijakan KB, keluhan bahwa beban ekonomi anak sangatlah besar menjadi realita tak terbantahkan. Meskipun biaya kelahiran ditanggung BPJS, namun perawatan anak menelan biaya tidak sedikit. Di sisi lain, orang tua mereka berhadapan dengan tekanan upah minim yang membuat, terutama kelas menengah kota berpikir berkali-kali sebelum memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Gita bahwa “berani-beraninya memiliki anak padahal tidak punya apa-apa”, seharusnya bukan semata-mata menjadi beban orang tua. Ada peranan negara di sana, yang tidak hanya mengendalikan jumlah kelahirannya, melainkan juga memastikan bahwa anak-anak yang dilahirkan memiliki seperangkat jaminan untuk dapat hidup layak. Negara juga mesti memastikan bahwa para lansia tidak lagi menjadi beban bagi sang anak, karena mereka telah dipelihara oleh negara.