Seberapa Patriarki Masyarakat Indonesia?

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
30 November 2020 14:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang pria diantara wanita. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang pria diantara wanita. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Patriarki secara sederhana diartikan sebagai suatu sistem sosial yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibanding perempuan. Dominasi kekuasaan ini mencakup peran pemimpin politik, otoritas moral, hak-hak sosial, hingga kepemilikan properti.
ADVERTISEMENT
Beberapa kalangan juga ada yang menyebut sistem tersebut menjadi sumber eksploitasi bagi perempuan: kekerasan, pelecehan seksual, buruh perempuan dengan upah murah, dan seterusnya.
Diskusi tentang patriarki semakin bersitegang sejak pro-kontra Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) muncul di permukaan. Orang-orang yang mendukung RUU PKS cenderung menganggap patriarki dan relasi kuasa berbasis gender menjadi sumber bagi kekerasan seksual terhadap perempuan.
RUU PKS bagi mereka adalah sumber aturan yang radikal untuk melawan sistem patriarki di Indonesia. Sedangkan bagi mereka yang kontra, RUU PKS cenderung dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan dan agama.
Bagi orang-orang yang kontra, konsep relasi kuasa dan patriarki berasal dari Barat terutama gerakan feminisme yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia.
ADVERTISEMENT
Benarkah masyarakat Indonesia cenderung patriarki? Jika iya, seberapa patriarki masyarakat kita? Jawaban ini perlu dilihat secara makro dan digeneralisasi secara kuantitatif. Ukurannya saya ambil dari beberapa variabel relevan dari hasil studi World Value Survey (WVS) Indonesia tahun 2018.
Sebetulnya WVS merupakan studi ilmiah untuk mengukur nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya di dunia, termasuk di Indonesia.
Pada 2018 sendiri, terdapat 3200 responden yang dipilih secara acak dan representatif untuk mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, di tiap-tiap provinsi dibagi secara acak berdasarkan kawasan perkotaan dan pedesaan.
Terdapat tujuh pertanyaan terkait gender, di antaranya: [a] ketika seorang ibu bekerja, anak-anaknya akan menderita; [b] secara umum, laki-laki menjadi pemimpin politik yang lebih baik dibanding perempuan; [c] Pendidikan universitas lebih penting bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan; [d] Secara umum, laki-laki menjalankan bisnis/usaha lebih baik daripada perempuan; [e] Jika pekerjaan sangat terbatas, laki-laki seharusnya mendapatkan hak yang lebih utama daripada perempuan untuk memperoleh pekerjaan; [f] Jika seorang perempuan berpenghasilan lebih besar daripada suaminya, hal itu hampir pasti akan menimbulkan masalah; [g] Perempuan memiliki hak yang sama dengan pria.
ADVERTISEMENT
Variabel [a], [b], [c], dan [d] diukur dalam skala 1–4, di mana angka 1 menunjukkan sangat setuju dan sebaliknya angka 4 menunjukkan sangat tidak setuju. Kemudian untuk variabel [e] dan [f] diukur dalam skala 1–5, di mana angka 1 menunjukkan sangat setuju dan angka 5 menunjukkan sangat tidak setuju.
Pada variabel ini, terdapat skala 3 yang menunjukkan pilihan netral atau tidak pada posisi setuju maupun tidak setuju. Terakhir, variabel [g] diukur dalam skala 1–10, di mana angka 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak penting bagi demokrasi dan angka 10 adalah penting bagi demokrasi.
Mengukur Patriarki
Hasil studi WVS Indonesia 2018 menunjukkan bahwa secara umum, masyarakat Indonesia memang memiliki kecenderungan patriarki, walaupun tidak sepenuhnya menganggap bahwa laki-laki selalu “lebih berkuasa” dibanding perempuan dalam segala aspek.
ADVERTISEMENT
Misalnya, responden cenderung setuju bahwa laki-laki lebih baik dari perempuan dalam hal memimpin politik dan urusan bisnis. Hal ini terlihat dari mean score pada variabel [b] sebesar 2,07 dan variabel [d] sebesar 2,21 yang menunjukkan skala kedekatan pada level ‘setuju’.
Pada aspek tenaga kerja, tampak masyarakat Indonesia masih menganggap laki-laki lebih berhak untuk memiliki pekerjaan dibanding perempuan. Mean score variabel [e] menunjukkan angka 2,18 yang berarti responden cenderung setuju jika lapangan pekerjaan terbatas, laki-laki diutamakan untuk bekerja dibanding perempuan.
Walaupun pada sisi yang lain, responden cenderung tidak terlalu mempermasalahkan apabila seorang istri memiliki penghasilan lebih besar dari suaminya. Angka mean score pada variabel [f] cenderung moderat, yaitu 3,16 atau mendekati pilihan antara tidak setuju dan setuju.
ADVERTISEMENT
Hal penting sekaligus menarik lainnya, responden cenderung tidak setuju jika ibu yang bekerja akan membuat anak-anaknya menderita (variabel [a]), dengan mean score 2,97.
Temuan dari WVS tersebut setidaknya menjadi sinyal positif bahwa perempuan memiliki posisi tawar di dalam pasar tenaga kerja. Ada kecenderungan umum bahwa perempuan yang bekerja adalah hal wajar, meskipun laki-laki tetap diutamakan untuk memiliki pekerjaan dibanding perempuan.
Gejala patriarki juga tampak pada partisipasi perempuan di pendidikan. Mean score untuk variabel [c] berada di angka 2,44, yang sesungguhnya lebih dekat pada kecenderungan setuju bahwa pendidikan universitas lebih penting bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan.
Namun yang patut menjadi catatan, sebagian besar responden pada pilihan variabel [c] cenderung memilih angka 3 yang berarti tidak setuju. Hal ini juga menjadi sinyal positif untuk meningkatkan pendidikan perempuan, meskipun tekanan patriarki masih cukup terasa di dalam persepsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang juga penting dilihat dari temuan WVS, ternyata masyarakat Indonesia cenderung menganggap bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan itu penting bagi demokrasi, di mana mean score variabel [g] sebesar 7,53. Tampaknya ini juga selaras dengan persepsi umum responden yang menganggap penting demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan gambaran umum tersebut, sebetulnya gejala patriarki masih eksis terutama di sektor tenaga kerja. Walaupun ada kecenderungan umum bahwa perempuan juga tidak bermasalah jika memiliki penghasilan lebih tinggi dari laki-laki, maupun para ibu yang bekerja di luar rumah.
Hal yang lebih penting lagi adalah persepsi patriarki tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Mean score pada keseluruhan variabel di atas tampak tidak berbeda banyak antara laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Artinya, perempuan sendiri menganggap, misalnya, laki-laki lebih berhak memiliki pekerjaan dibandingkan perempuan. Begitupun tampak perbedaan yang tidak terlalu mencolok antara desa dan kota, meskipun perbedaan angkanya lebih besar jika dikontrol dengan variabel desa-kota dibanding jenis kelamin.
Satu-satunya variabel yang tampak terlihat berbeda jika dikontrol dengan jenis kelamin dan desa-kota adalah pendidikan. Responden laki-laki cenderung menganggap bahwa perempuan tidak lebih penting untuk mengenyam pendidikan universitas dibanding pria, namun tidak bagi responden perempuan sendiri.
Begitupun pada konteks desa-kota, tampak responden yang tinggal di desa cenderung menganggap perempuan tidak lebih penting untuk mengenyam pendidikan universitas dibanding pria.
Intinya, temuan WVS Indonesia 2018 menunjukkan bahwa memang betul patriarki itu ada di dalam masyarakat kita. Namun jika dikatakan bahwa laki-laki sepenuhnya mendominasi perempuan, rasa-rasanya terlalu berlebihan karena kecenderungan umum tidaklah demikian. Setidaknya itu yang dapat dilihat dari hasil survei.
ADVERTISEMENT