Transformasi Digital Memperkokoh Ketimpangan Sosial

Grady Nagara
Direktur Eksekutif Next Policy
Konten dari Pengguna
14 Juli 2022 10:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Grady Nagara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi search engine (sumber: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi search engine (sumber: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam prolog edisi kedua buku The Rise of Network Society (2010), Manuel Castells mengatakan: “revolusi teknologi yang berpusat pada informasi, semakin menentukan basis material dari masyarakat kita hari ini”.
ADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud revolusi mengacu pada teknologi digital, sementara basis material adalah struktur sosial masyarakat yang semakin ditentukan oleh informasi. Revolusi tersebut mendorong konektivitas yang mengglobal, arus informasi yang sangat padat, dan struktur masyarakat yang semakin datar (flat). Castells, dan beberapa scholars menyebutnya sebagai era masyarakat jejaring (network society).
Adalah internet, yang sejak era world wide web (www) dikenal dunia, menjadi basis bagi konektivitas dalam masyarakat jejaring. Proses transformasi itu sampai saat ini masih terus berlangsung. Ia menjadi megatrend yang mengubah berbagai dimensi dan aturan main dalam kehidupan: sosial, ekonomi, politik, bahkan agama. Teknologi digital menjadi arena (field) tempat banyak orang membangun interaksi untuk berbagai kepentingan dan mengambil benefit di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Mekanisme pasar semakin ditentukan oleh tren global dari arena digital. Sementara jejaring maya (virtual network) telah menjadi sesuatu yang nyata (real virtuality). Sepanjang 24 jam non-stop kita saling terhubung pada jejaring semacam itu, bahkan kondisi tidur sekalipun.
Masyarakat jejaring adalah realitas sosial hari ini. Akan tetapi, tidak semua orang nyatanya mampu terhubung dalam jejaring tersebut. Mengapa demikian? Jawabannya adalah ketiadaan akses internet memadai. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa kecenderungan/peluang untuk akses internet paling besar ditentukan oleh kelas menengah atas di Indonesia. Itupun didominasi oleh kalangan menengah perkotaan dan bagian Barat dari Indonesia.
Peluang akses semakin kecil jika seseorang berada dalam posisi kelas bawah, tinggal di desa, dan secara geografis berada di bagian Timur.
ADVERTISEMENT
Posisi individu dalam kelas sosial dan letak geografis bukan hanya mencerminkan keadaan ekonomi, melainkan juga status yang memproduksi gaya hidup masyarakat. Pertama bahwa kondisi ekonomi sangat menentukan kemampuan akses berdasarkan banyak studi (lihat: Rogers, 2001). Memang benar bahwa tarif internet di Indonesia terhitung murah di dunia (0,42 USD atau Rp 6000 per GB), namun ini tetap menjadi penghalang serius bagi kelas sosial paling bawah untuk mendapatkan aksesnya (mereka disebut juga dengan digital underclass).
Persoalan penting lainnya adalah kualitas internet dengan kecepatan akses terendah di Asia Tenggara (15,44 Mbps). Semakin lambat kecepatan akses, kecenderungan untuk mengakses informasi yang begitu kaya juga semakin rendah. Itulah mengapa negara-negara dengan kualitas akses internet minimal menjadi pasar empuk bagi penyebaran disinformasi dan berita palsu (fake news) karena kapasitas verifikasi yang lemah.
ADVERTISEMENT
Kedua bahwa kelas sosial juga mencerminkan gaya hidup macam apa yang dibentuk. Gaya hidup ini bukan soal negative lifestyle yang konsumtif, melainkan cara mereka menjalani keseluruhan hidup dan memandang kehidupan. Masyarakat kota dan desa memiliki gaya hidup yang sangat kontras, begitupun antara kelas menengah atas dan juga bawah; bahkan antara usia tua dengan muda. Gaya hidup, selera, dan nilai-nilai kehidupan tersebut juga memengaruhi bagaimana seseorang berperilaku di ranah digital.
Misalnya, sebuah studi menyebutkan jika kelompok usia tua cenderung mudah termakan fake news karena cara mereka menelan informasi digital layaknya membaca koran cetak. Masyarakat pedesaan cenderung memiliki akses rendah karena mungkin saja mereka tidak benar-benar membutuhkan internet untuk hidup. Terkadang kita (orang kota) cenderung sok tahu bahwa masyarakat desa “terbelakang” karena tidak mengadopsi teknologi digital: seolah-olah mereka patut untuk didikte.
ADVERTISEMENT
Pada intinya, latar belakang sosio-ekonomi menentukan sejauh mana kemampuan akses dan pengalamannya menggunakan teknologi digital. Pengalaman itu terefleksi pada apa yang disebut Hargittai (2002) sebagai kompetensi digital (digital skills). Kompetensi digital ini mencakup literasi informasi dan kemampuan memanfaatkan internet untuk kehidupan.
Persoalan digital skills ini juga mengemuka di Indonesia karena nyatanya kemampuan tersebut cenderung masih sangat rendah (The SMERU Research Institute, 2022). Minimnya literasi digital juga merupakan manifestasi dari rendahnya kecakapan membaca jika diukur berdasarkan indikator PISA. Pada gilirannya, keterbatasan akses hingga rendahnya skills akan memengaruhi bagaimana outcome atau benefit dari penggunaan teknologi digital untuk kelangsungan hidup.
Inilah yang saya maksud dari “transformasi digital memperkokoh ketimpangan sosial”. Ilustrasinya seperti ini: Mereka yang sejak awal beruntung dari sisi sosial-ekonomi, akan mampu mengakses internet dan menggunakannya dengan layak. Kemampuan itu memberikan banyak benefit yang sangat berguna untuk kehidupannya kembali (atau minimal mempertahankan posisi sosio-ekonominya).
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, mereka yang sejak awal tidak beruntung dalam hidup, membuat kemampuan akses dan keterampilan digital begitu lemah, sehingga mereka tidak mampu mengambil benefit apapun dari internet untuk memperbaiki kehidupannya. Misalnya, saat ini banyak lapangan pekerjaan dimediasi oleh berbagai jenis platform digital (seperti JobStreet atau LinkedIn).
Orang-orang yang tidak memiliki keterampilan digital (oleh karena ia sejak awal miskin), tidak akan mampu bersaing mendapatkan pekerjaan yang tersedia secara virtual. Artinya, orang tersebut akan tetap atau bertambah miskin karena gagal bersaing di pasar tenaga kerja yang semakin ditentukan oleh keberadaan teknologi digital.
Ini bukan berarti bahwa kelas bawah tidak mampu sama sekali memperbaiki hidupnya dari internet. Secara absolut, cukup banyak orang yang “biasa-biasa saja” kemudian menjadi kaya-raya berkat internet (seperti kemunculan YouTuber dan Selebgram). Tetapi secara relatif (persentase) jumlah mereka kecil. Dalam bahasa sosiologi, apa yang terjadi semata hanyalah mobilitas individu (naiknya kualitas hidup orang-per-orang), bukan mobilitas struktural (Ragnedda, 2017).
ADVERTISEMENT
Mobilitas struktural artinya semakin kecilnya ketimpangan sosial berkat internet, tetapi hal ini tidak terjadi. Apa yang terjadi justru keberadaan internet mereproduksi ketimpangan sosial itu sendiri: bahwa orang-orang tidak beruntung kemudian gagal memanfaatkan resources dari internet, dan mereka tidak mendapatkan manfaat apapun untuk menaikkan posisi kelasnya (ketimpangan sosial tetap eksis).
Tentu kita tidak dapat mundur dari realitas sosial baru yang dikonstitusi oleh jejaring lewat digitalisasi. Apa yang saya ingin tunjukkan betapa persoalan digital divide begitu kompleks dan multidimensional. Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan para pemangku kebijakan.
Pertama, oleh karena kehidupan digital begitu dipengaruhi oleh situasi ketimpangan sosial sebelumnya, menjadi penting bagi pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan inklusif. Hal ini menjadi mutlak karena efeknya yang berganda (multiplier effect) pada kehidupan dalam masyarakat jejaring.
ADVERTISEMENT
Kedua, internet kenyataannya masih belum menjadi barang publik (public goods) yang aksesibel bagi seluruh masyarakat kendati tarifnya sangat rendah. Idealnya, internet menjadi public goods dan semestinya gratis.
Ketiga, memperbaiki infrastruktur agar tidak hanya menjangkau melainkan juga meningkatkan kecepatan akses. Hal ini juga penting karena dengan akses internet cepat, artinya memudahkan masyarakat untuk memperoleh berbagai informasi berharga. Pada gilirannya, menjadi jalan untuk meningkatkan digital skills.
Keempat, melakukan edukasi masyarakat yang bersifat bottom-up. Pemerintah tidak dapat serta-merta hadir dengan logikanya sendiri: perlu suatu dialog dengan masyarakat untuk mengetahui perkembangan dan kebutuhan riil. Tidak dengan mendikte mereka (objek), tetapi juga menjadikan mereka partisipan aktif (subjek) dalam menentukan pembangunan digital di era masyarakat jejaring.
ADVERTISEMENT