Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ode Akta Kelahiran
3 Oktober 2019 10:07 WIB
Tulisan dari Grathia Pitaloka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Adelinoh dos Santos berbinar menatap akta kelahiran di tangannya. Pendeta berusia 49 tahun itu berencana segera mengurus paspor agar dapat mengunjungi tanah kelahirannya, Timor Leste.
ADVERTISEMENT
Pasca referendum tahun 1999, Adelinoh tak pernah menginjakan kaki di Bumi Lorosae. Hampir dua dekade ia dan istrinya mengungsi di Desa Dualaus, Kabupaten Belu, meninggalkan harta benda serta sanak keluarganya di Los Palos. “Kalau hamba Tuhan gunakan jalur tidak resmi nanti umat ikut,” ujarnya sembari terkekeh ketika ditanya kenapa tidak masuk ke Timor Leste menggunakan jalan tikus.
Adelinoh sangat mencintai Indonesia. Bahkan ia menamai anak sulungnya Supriyadi sebagai bentuk penghargaannya terhadap salah satu pejuang Tanah Air. “Saya sedih melihat dari televisi orang-orang di Jakarta dengan mudahnya menyebarkan kalimat kebencian yang memecah belah Indonesia,” kata Adelinoh sembari tertunduk.
Kegembiraan Adelinoh juga dirasakan Orlando de Cavarlho. Kakek 54 tahun ini baru memperoleh akta kelahiran, berbarengan dengan cucunya yang paling kecil. “Akhirnya saya tidak perlu sembunyi-sembunyi untuk mengunjungi keluarga di Timor Leste. Saya bisa buat paspor karena sudah punya akta kelahiran,” katanya sumringah.
ADVERTISEMENT
Pasca referendum 1999, keluarga Orlando tercerai berai. Ayah dan kakak tertuanya menetap di Timor Leste, sementara ia dan ibunya mengungsi ke Indonesia. “Meski hidup terpisah dari keluarga, saya tidak pernah menyesal memilih Indonesia,” ujar kakek empat cucu ini.
Adelinoh dan Orlando merupakan dua dari ribuan bekas penduduk Timor Leste yang mengungsi ke Desa Dualaus, Atambua. Selama hampir dua dekade mereka tinggal di bedeng- bedeng kecil berdampingan dengan warga asli. Hidup serba kekurangan dalam belenggu kemiskinan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang baru menikmati listrik tahun 2018 lalu, karena tak punya uang untuk memasang meteran.
Mayoritas dari mereka (generasi pertama) tak memiliki kartu identitas, sehingga tak terdata ketika pemerintah memberikan bantuan sosial. Besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk mengurus identitas dari desa ke kantor Dukcapil membuat mereka terpaksa mundur teratur.
ADVERTISEMENT
Meski hidup dalam keterbatasan, bekas penduduk Timor Timor ini memiliki tekad baja untuk mengubah takdir. Mereka bersusah payah menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan mereka adalah pemasok sarjana terbanyak di Desa Dualaus.
Mereka percaya pendidikan merupakan jalan pembebasan dari belenggu kemiskinan. “Kami bukan pengungsi Timor Timor, kami orang Indonesia yang ingin ikut serta membangun negeri ini,” kata Adelinoh.