Konten dari Pengguna

Bagaimana Amerika Mengubrak-abrik Ekonomi Turki dan Venezuela?

Haekal Husain
Digital enthusiast. Tertarik pada isu sosial, pengembangan diri, teknologi, sosial, dan hubungan internasional.
23 Agustus 2018 23:54 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Haekal Husain tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Donald Trump. (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump. (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
ADVERTISEMENT
Amerika dengan segala pengaruhnya sukses membuat para otoritas keuangan bekerja keras akhir-akhir ini. Mata uang di beberapa negara tertekan, berada di titik yang bisa dibilang tidak menyenangkan. Setidaknya di dua negara yang benar-benar menjadi korban dari semua ini: Turki dan Venezuela.
ADVERTISEMENT
Di Turki, selain beberapa masalah ekonomi yang ada, ketegangan di antara Turki dan Amerika bermula akibat kasus ditahannya seorang pendeta evangelis dari North Carolina, Andrew Brunson. Turki menduga Brunson terlibat dengan kelompok-kelompok politik.
Tak terima, Amerika meminta pihak otoritas untuk melepaskan pendeta tersebut. Tapi permintaan itu tak kunjung dikabulkan oleh Turki. Amerika pun meradang.
Mulanya Amerika memberlakukan sanksi kepada Menteri Kehakiman Turki dan Menteri Dalam Negeri Turki, Abdulhamit Gul dan Soleyman Soylu. Sanksi tersebut berupa pemboikotan atas seluruh properti dan kepentingan kedua menteri tersebut di semua wilayah yurisdiksi Amerika Serikat. Di mata Amerika, kedua menteri ini memiliki peran penting dalam penangkapan pendeta Brunson.
Tak kunjung dapatkan solusi atas permasalahan pendeta Brunson, Amerika akhirnya mengambil langkah lanjutan: menaikan bea masuk dua kali lipat terhadap baja dan aluminium Turki. Amerika juga baru-baru ini menyiapkan sanksi baru jika Turki tak juga melepaskan pendeta Brunson.
ADVERTISEMENT
Lalu apa respons Turki?
Recep Tayyip Erdogan (Foto: Lefteris Pitarakis/AP)
zoom-in-whitePerbesar
Recep Tayyip Erdogan (Foto: Lefteris Pitarakis/AP)
Alih-alih tunduk pada Amerika, Turki malah menantangnya. Menteri Lingkungan Turki memastikan negaranya tidak akan lagi menggunakan produk Amerika di segala proyek konstruksi yang ada di negaranya.
Presiden Turki bahkan mengajak warganya untuk sama-sama menjual dolar dan (dengan gaya khasnya) menantang siapapun yang mengobrak-abrik perekonomian Turki. Lalu bagaimana para pelaku pasar merespons hal ini?
Seperti yang sudah bisa ditebak, sentimen negatif tak terelakkan. Lira (mata uang Turki) kehilangan hampir sepertiga dari nilainya hanya dalam tiga hari saja. Pasar ekuitas Turki turun 17% karena khawatir perusahaan Turki tidak mampu membayar utang dalam Euro atau Dolar.
Sayangnya di tengah kondisi seperti ini, Presiden Turki malah mengambil langkah yang tak biasa dengan mengangkat menantunya sebagai Menteri Keuangan (yang seperti kita bisa tebak) tidak mampu menyemangati para investor. Turki dihantui krisis.
ADVERTISEMENT
Itu baru Turki. Keadaan yang lebih parah terjadi di Venezuela.
Negeri yang kaya akan minyak itu tengah dilanda krisis ekonomi yang sangat parah. Banyak warga yang pergi meninggalkan negara tersebut karena inflasi yang meroket. Bayangkan, untuk menggunakan segulung tisu Anda harus mengeluarkan 2,6 juta--mata uang setempat.
Ilustrasi tisu toilet menggunakan uang (Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tisu toilet menggunakan uang (Foto: REUTERS/Kai Pfaffenbach)
Di 2003, Pemerintahan Venezuela memutuskan untuk mengendalikan pasar mata uang asing sendiri. Maksudnya, setiap warga Venezuela yang ingin menukar dolar harus mendaftar ke sebuah badan mata uang yang dijalankan pemerintah. Karena ketidak-bebasan inilah, pasar gelap berkembang dan inflasi pun meningkat.
Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya tekanan dari beberapa negara di dunia terhadap pemilu presiden Venezuela yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Negara-negara seperti Kanada, Uni-Eropa, dan beberapa negara di Amerika Latin tidak mengakui pemilihan tersebut. Awalnya tekanan ini tidak terlalu berdampak pada stabilitas Venezuela, semua itu goyah ketika Amerika bergabung dengan banyak negara yang menolak hasil pemilu tersebut.
Nicolas Maduro (Foto: Reuters/Marco Bello )
zoom-in-whitePerbesar
Nicolas Maduro (Foto: Reuters/Marco Bello )
Tak tanggung-tanggung, Amerika langsung menerapkan sanksi kepada rezim Maduro dengan melarang perusahaan Amerika untuk melakukan transaksi ke Caracas maupun perusahaan minyak milik Venezuela. Seperti yang bisa ditebak, Bolivar (mata uang Venezuela) tertekan.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini diperparah dengan meluncurnya mata uang Bolivar baru untuk mengganti mata uang yang lama dan merevaluasi nilainya. Pemerintah Venezuela menganggap ini hal yang tepat untuk mengatasi inflasi namun sayangnya para pengamat mengatakan hal itu memperburuk krisis yang ada. Tak hanya itu, Pemerintah Venezuela juga meluncurkan serangkaian kebijakan ekonomi yang diharap mampu meredakan krisis ekonomi yang terjadi di Venezuela saat ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia diharap mampu mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di kedua negara di atas. Yang paling penting, kita sebagai warga negara Indonesia harus terus bersatu memperjuangkan kedaulatan negeri kita sendiri. Dengan cara apa? Bisa dimulai dengan mencintai rupiah. Kurangi penggunaan mata uang asing jika bertransaksi di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT