Khairunnas Anfa'uhum Linnas, Memahami Fitrah Manusia sebagai Makhluk Sosial

Hafidz Nazmul Kauni
#Mahasiswa Teknik Informatika - Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA #Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Konten dari Pengguna
15 September 2022 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hafidz Nazmul Kauni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Berbagi Makan Siang, Foto : Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Berbagi Makan Siang, Foto : Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Khairunnas Anfa’uhum Linnas, Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad ini tentunya sudah sangat sering terdengar dan terasa familiar oleh kita. Satu kalimat singkat namun bermakna, mewakili fitrahnya seorang manusia yang hidup sebagai makhluk sosial. Memahami hadits tersebut secara penuh tidaklah hanya secara literal namun praktiknya dalam kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Sebelum menilik lebih jauh peran manusia sebagai makhluk sosial, hendaklah memahami betul yang dinamakan manusia itu yang seperti apa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Manusia” adalah “makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain)”. Mari kita bedah.
Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Berakal, hal tersebut yang membuat manusia berbeda dari makhluk lainnya, tak seperti hewan atau tumbuhan yang hidup tanpa diberi karunia akal oleh Allah SWT., manusia bisa berfikir, menelaah, mengobservasi segala hal yang terjadi di dunia ini jika mereka menggunakan akalnya. Manusia juga Berbudi, budi atau biasa kita kenal sebagai akhlak merupakan paduan dari akal dan perasaan. Akhlak adalah bagaimana cara kita bersikap, bukan hanya secara vertikal kepada Sang Pencipta tetapi secara Horizontal yang kaitannya dengan hubungan antar manusia, kepada teman, keluarga, guru, masyarakat, bahkan kepada diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Sesempurna itu Allah SWT menciptakan makhluk bernama manusia ini. Namun, masih banyak manusia yang tidak merefleksikan dengan baik makna dan tujuan diciptakannya manusia ke dunia ini. Akal yang Allah SWT berikan tak selalu digunakan untuk kebaikan, banyak yang lupa juga bahwa kebaikan bukanlah hanya untuk dirinya sendiri tapi untuk disemestakan dan memberi dampak baik pula kepada sesama.
Sejatinya manusia merupakan sosok pemimpin juga sebagai makhluk sosial. Hal itu sudah mutlak melekat pada diri manusia dan saling berkorelasi antar keduanya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT pada surah Al-Baqarah ayat 30 yang artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."”
ADVERTISEMENT
Begitupun dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad yang bunyinya Khairunnas Anfa’uhum Linnas, hadits tersebut berarti bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Dari kedua dalil diatas bisa kita simpulkan bahwa manusia memang mempunyai tanggung jawab untuk membawa kebermanfaatan.
Sudah seharusnya kita menyadari bahwa kita tidak hidup sendiri dan tentunya saling berbagi peran dalam bermasyarakat. Apalagi hidup di negara yang masyarakatnya heterogen, keberagaman dan kemajemukan sudah menjadi hal lumrah yang harus kita syukuri bersama. Sebab dalam keberagaman terdapat banyak warna yang berpadu menciptakan keindahan serta saling menguatkan, bagai pelangi yang dinanti setelah derasnya hujan, juga bagai bendera tanah air tercinta yang indah bukan hanya dengan satu warna. Kita memang diciptakan tidak sama, tapi hendaklah kita menerima bahwa kita hidup bersama.
ADVERTISEMENT
Dengan menerima keberagaman tanpa adanya penyeragaman, garis finish yang dituju pastilah untuk menciptakan lingkungan yang menjadi representasi dari Sila Ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia” yaitu lingkungan yang harmonis tanpa adanya konflik serta supportif dan partisipatif.
Lantas bagaimana prosesnya untuk mengusahakan terciptanya utopia dalam lingkungan bermasyarakat? Jawabannya klise namun benar adanya bahwa kebaikan hendaklah dimulai dari lingkup terkecil dan terdekat terlebih dahulu. Unsur terkecil dalam bermasyarakat adalah sebuah individu yang mana adalah diri kita sendiri, maka ciptakanlah kebaikan untuk diri kita sendiri, karna untuk mengubah sebuah lingkungan maka diri kita sendiri terlebih dahulu yang perlu diubah, kalau ingin memberi dampak maka ciptakanlah dampak untuk diri kita dahulu. Tidaklah benar jika hendak membawa kebermanfaatan untuk masyarakat namun kita masih menjadi sosok yang kurang baik, yang egois, yang tidak mementingkan sesama, yang apatis, yang tutur katanya kasar, yang perilakunya keras, dan tak layak dicap teladan.
ADVERTISEMENT
Kembali memahami fitrah manusia sebagai makhluk sosial, sudah jelas bahwa menurut dalil yang ada juga dalam memaknai sosok makhluk sempurna itu sendiri yang tak bisa hidup tanpa sesamanya, manusia harus sibuk dengan manusia lainnya, karna jika tidak maka tidak akan tercipta sebuah utopia dalam lingkungan bermasyarakat. Sudah seharusnya nurani seorang menusia tergerak jika melihat kawannya atau orang yang ditemuinya tanpa sebab mengalami kesusahan, maka tolonglah karna kebaikan akan kembali kepada dirinya. Ikatan timbal balik tersebut yang membuat manusia menjadi makhluk sempurna.
Bersosial, berbagi manfaat, juga dengan diiringi niat ibadah serta mengharap ridho Allah SWT merupakan esensi dari diciptakannya manusia itu sendiri. Maka hendaklah hidup membawa kebermanfaatan, jangan terlena dalam zona nyaman menjadi target pemberdayaan, sesekali jadilah pelaku pemberdayaan. Berbagi tak harus menunggu memiliki segudang materi, secuil dari diri kita yang kita miliki maka buatlah orang lain merasakannya, terdapat hak orang lain pula pada bagian dari diri kita. Apa yang bisa kita bagi selain materi? Ilmu, semua orang pastilah memiliki ilmu yang dikuasai dalam bidangnya masing-masing, entah ilmu yang sifatnya teoritis ataupun praktis maka sebarkanlah, sebab sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang mengalir.
ADVERTISEMENT
Intinya berperan tidak selalu harus menunggu punya banyak hal dari diri kita, mulai dari yang terkecil dan terdekat adalah cara terbaik memulai langkah untuk membawa kebermanfaatan.