Konten dari Pengguna

Suhu Meningkat Drastis di Indonesia: Apakah Kurangnya Vegetasi Menjadi Penyebab?

Muhammad Hafidz Aditya Ramadhan
Hafiz, seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Program studi Ilmu Pendidikan Sosial semester 5, yang memiliki hobi bermain bulutangkis, menulis, dan menonton film.
22 Desember 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Hafidz Aditya Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, cuaca yang panas sering kali membuat kita mengeluh, "Aduh, panas sekali, ya!" Fenomena suhu tinggi ini tidak hanya membuat kita merasa tidak nyaman, tetapi juga menjadi perhatian penting di berbagai wilayah di Indonesia. Suhu ekstrem yang terjadi di berbagai tempat menjadi cerminan nyata bagaimana perubahan iklim dan aktivitas manusia saling memengaruhi.
ADVERTISEMENT
Pada 17 April 2023, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, mencatat suhu tertinggi sebesar 37,2°C. Menurut BMKG, suhu tinggi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama minimnya vegetasi dan fenomena urban heat island (UHI). Sebagai wilayah urban yang didominasi beton, aspal, dan gedung-gedung tinggi, Ciputat menyerap lebih banyak panas dan kehilangan ruang terbuka hijau sebagai "pendingin alami."
Data suhu terpanas di Indonesia pada April 2023, Sumber: akun instagram @datatovisual
Setahun kemudian, pada Oktober 2024, fenomena suhu ekstrem kembali terjadi di Indonesia. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), suhu ekstrem tercatat mencapai 38,4°C, yang terjadi akibat beberapa faktor alam. Gerak semu Matahari yang berada tepat di atas wilayah tersebut, minimnya tutupan awan, serta karakteristik geografis NTT yang mendukung terik panas menjadi penyebab utama. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa suhu maksimum harian di Indonesia pada Oktober 2024 ini berkisar antara 37 hingga 38 derajat Celsius, dengan rekor suhu tertinggi tercatat pada 27 Oktober 2024 di Stasiun Meteorologi Gewayantana, Larantuka, Flores Timur.
Data grafik bar suhu terpanas di Indonesia pada Oktober 2024. Sumber: ChatGPT4
Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu di Indonesia dipengaruhi oleh kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia, tergantung pada karakteristik wilayahnya.
ADVERTISEMENT

Penyebab Suhu Panas di Indonesia

1. Kurangnya Vegetasi Hijau

Pohon dapat diibaratkan sebagai "pendingin alami" yang memiliki peran penting dalam menjaga kesejukan udara. Melalui proses evapotranspirasi, pohon melepaskan uap air yang dapat menurunkan suhu di sekitarnya. Namun, dengan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau di Indonesia, fungsi ini tidak lagi optimal.
Sebagian besar wilayah perkotaan kini didominasi oleh material seperti beton dan aspal yang menyerap dan menyimpan panas di siang hari, lalu melepaskannya perlahan pada malam hari. Akibatnya, suhu tetap terasa panas meskipun malam tiba.
Foto perbandingan wilayah dengan keadaan banyak vegetasi dan kurangnya vegetasi sehingga menyebabkan panas. Sumber: www.freepik.com

Berikut adalah beberapa dampak langsung dari minimnya vegetasi:

- Tidak ada penyerap panas alami: Pohon biasanya menyerap sebagian besar panas Matahari. Tanpa pohon, panas Matahari dipantulkan kembali oleh permukaan keras seperti aspal, membuat suhu meningkat.
ADVERTISEMENT
- Udara menjadi kering dan panas: Kurangnya pohon berarti tidak ada uap air yang dilepaskan ke atmosfer, sehingga udara menjadi kering dan lebih panas.
- Polusi semakin parah: Pohon juga berfungsi menyerap karbon dioksida (CO2), gas utama yang menyebabkan pemanasan global. Dengan berkurangnya jumlah pohon, CO2 semakin menumpuk di atmosfer, memperburuk pemanasan global.

2. Peningkatan Pembangunan yang Tidak Ramah Lingkungan

Pesatnya pembangunan di Indonesia, terutama di wilayah perkotaan, turut memperburuk kondisi suhu. Fenomena urban heat island (UHI) menjadi semakin nyata, di mana wilayah perkotaan menjadi jauh lebih panas dibandingkan dengan daerah pedesaan. Pembangunan gedung, jalan, dan infrastruktur tanpa memperhatikan keberadaan ruang hijau menciptakan lingkungan yang tidak lagi sejuk dan nyaman.
Akibatnya, kawasan perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya seringkali mengalami suhu yang lebih tinggi dari daerah pedesaan sekitarnya. Material seperti beton dan aspal menyerap panas Matahari di siang hari dan melepaskannya perlahan pada malam hari, sehingga suhu tetap terasa panas bahkan pada malam hari.
Ilustrasi penggunaan lahan yang menyebabkan berkurangnya vegetasi hijau sehingga menyebabkan panas berlebih. Sumber: www.freepik.com

ADVERTISEMENT

3. Gerak Semu Matahari

Gerak semu Matahari adalah fenomena astronomis yang terjadi karena pergerakan tahunan Matahari di langit, yang mengikuti lintasan ekliptika. Selama gerak semu Matahari, posisi Matahari terlihat bergerak dari utara ke selatan dan sebaliknya, mengelilingi khatulistiwa. Pada saat tertentu dalam setahun, terutama saat Matahari berada tepat di atas wilayah tropis, suhu di wilayah tersebut akan mengalami peningkatan signifikan.
Pada Oktober 2024, fenomena gerak semu Matahari menyebabkan Matahari berada tepat di atas wilayah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini meningkatkan intensitas sinar Matahari yang langsung menyentuh permukaan bumi, menyebabkan suhu yang lebih tinggi. Dalam kondisi normal, atmosfer dan awan berfungsi sebagai pelindung untuk memantulkan atau menyerap sebagian besar panas yang datang dari Matahari. Namun, dengan berkurangnya tutupan awan, seperti yang terjadi di beberapa bagian wilayah Indonesia pada 2024, panas yang masuk ke permukaan bumi tidak terhalangi, yang mengarah pada suhu ekstrem.
Grafik tentang gerak semu matahari yang menyebabkan suhu ekstrem di wilayah tertentu. Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Kendari

4. Minimnya Tutupan Awan dan Fenomena Siklon Tropis

ADVERTISEMENT
Minimnya tutupan awan juga menjadi penyebab utama suhu tinggi, karena awan berfungsi sebagai pelindung yang menghalangi panas Matahari langsung menyentuh permukaan bumi. Ketika tutupan awan berkurang, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2024, panas Matahari langsung menyengat tanpa hambatan. Fenomena ini diperburuk dengan adanya siklon tropis di sekitar perairan Indonesia yang turut memengaruhi distribusi angin dan awan, membuat beberapa wilayah lebih rentan terhadap suhu ekstrem. Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Guswanto, menjelaskan bahwa minimnya tutupan awan terjadi di sebagian Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan NTT. Menurut Guswanto, fenomena ini berpengaruh pada suhu panas yang dirasakan masyarakat di Indonesia bagian selatan, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan catatan suhu maksimum beberapa hari terakhir yang hampir selalu dipegang oleh daerah-daerah tersebut. Sebagai contoh, pada Senin (28/10/2024) hingga Selasa pukul 07.00 WIB, Stasiun Meteorologi Gewayantana di NTT mencatatkan suhu maksimum harian sebesar 38,4 derajat Celsius.
ADVERTISEMENT
Tangkapan layar satelit Himawari 8 pada 29 Oktober 2024 menunjukkan minimnya tutupan awan di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Sumber: www.kompas.com
Fenomena ini diperburuk dengan adanya siklon tropis di sekitar perairan Indonesia yang turut memengaruhi distribusi angin dan awan, membuat beberapa wilayah lebih rentan terhadap suhu ekstrem. Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Guswanto, menjelaskan bahwa minimnya tutupan awan terjadi di sebagian Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan NTT. Menurut Guswanto, fenomena ini berpengaruh pada suhu panas yang dirasakan masyarakat di Indonesia bagian selatan, seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan catatan suhu maksimum beberapa hari terakhir yang hampir selalu dipegang oleh daerah-daerah tersebut. Sebagai contoh, pada Senin (28/10/2024) hingga Selasa pukul 07.00 WIB, Stasiun Meteorologi Gewayantana di NTT mencatatkan suhu maksimum harian sebesar 38,4 derajat Celsius.
Ilustrasi mengenai siklon tropis dan bibit siklon tropis yang dapat menyebabkan cuaca ekstrem. Sumber: (SHUTTERSTOCK/lavizzara)

Kombinasi Faktor Alam dan Aktivitas Manusia

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Peningkatan suhu di Indonesia bukanlah hasil dari satu faktor saja. Di satu sisi, faktor alam seperti gerak semu Matahari dan minimnya awan memainkan peran penting. Namun, di sisi lain, aktivitas manusia seperti urbanisasi, alih fungsi lahan, dan deforestasi semakin memperburuk situasi.
Peristiwa di Ciputat dan NTT adalah contoh nyata bagaimana kombinasi kedua faktor ini menghasilkan dampak signifikan. Jika masalah ini tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin wilayah-wilayah lain di Indonesia akan menghadapi risiko serupa di masa mendatang.

Apa Solusinya?

Untuk mengurangi dampak suhu tinggi, diperlukan langkah konkret seperti meningkatkan jumlah ruang hijau, memperbaiki tata kota agar lebih ramah lingkungan, dan memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia dapat menghadapi tantangan ini dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT