Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Benarkah Vertical Farming Solusi Bertani bagi Masyarakat Urban?
13 Agustus 2023 5:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fadli Hafizulhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Ilustrasi vertical farming sederhana. Sumber: Pixabay](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01h7jfzyx3n57cgt6zy8q0k154.jpg)
ADVERTISEMENT
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, stigmatisasi petani sebagai profesi kalangan menengah ke bawah mulai memudar. Tidak dapat dipungkiri bahwa bauran teknologi dan pertanian membuat gengsi dari sektor yang telah ada dari zaman purba ini meningkat. Salah satu buktinya adalah sekarang sudah banyak generasi muda dan orang berpunya yang berkecimpung di bidang pertanian.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi juga membuat kegiatan pertanian dapat dilakukan meski di lahan terbatas. Sayur-mayur berkualitas kini bisa diproduksi oleh masyarakat urban atau perkotaan. Salah satu teknologi yang mendukung hal tersebut adalah vertical farming atau pertanian vertikal.
Jika lahan pertanian pada umumnya tumbuh ke samping, vertical farming mengusung konsep anti mainstream yaitu tumbuh ke atas atau secara vertikal. Tanaman ditempatkan pada rak-rak vertikal yang dapat menampung media tanam. Hal yang lebih menarik adalah petani tidak hanya dapat menerapkan vertical farming secara outdoor tetapi juga indoor atau di ruang tertutup.
Dikutip dari Al-Kodmany (2018) dalam tulisan ilmiahnya "The Vertical Farm: A Review of Developments and Implications for the Vertical City", ide pertanian vertikal sebenarnya bukan sepenuhnya baru. Contoh dari penerapan konsep pertanian tersebut telah ada semenjak era kuno dalam The Hanging Gardens of Babylon yang dibangun pada sekitar tahun 600 SM.
ADVERTISEMENT
Sedangkan istilah vertical farming sendiri diciptakan oleh seorang ahli geologi Amerika bernama Gilbert Ellis Bailey pada 1915 melalui bukunya yang berjudul "Vertical Farming".
Di masa sekarang, pertanian vertikal digaungkan seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang keberlanjutan. Ia diklaim lebih baik dari pada pertanian konvensional, terutama dalam hal dampaknya terhadap lingkungan.
Beberapa keunggulannya adalah lebih hemat dalam irigasi, penggunaan media tanam yang secukupnya, meminimalisir pengguna pupuk, pestisida, hingga herbisida. Produk yang dihasilkan dari pertanian vertikal juga lebih sehat dan aman dari pada pertanian konvensional.
Lebih lanjut, meskipun penerapan pertanian vertikal tidak terbatas pada wilayah urban, akan tetapi para peneliti dan pihak terkait sering mengaitkan teknologi ini dengan masyarakat urban. Narasinya dimulai dari proyeksi penduduk dunia akan mencapai 9 miliar, di mana 80% penduduk akan terkonsentrasi di wilayah perkotaan.
ADVERTISEMENT
Peningkatan jumlah penduduk tentu akan meningkatkan jumlah kebutuhan akan makanan. Sementara itu, dikutip dari publikasi Food and Agriculture Organization (FAO), total lahan pertanian di seluruh dunia saat ini diperkirakan mencapai 5 miliar hektare atau 38% dari permukaan lahan global. Mirisnya, agaknya sulit mengharapkan adanya pertumbuhan lahan pertanian di tengah maraknya alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan industri non agriculture.
Dengan demikian, untuk mencegah kekurangan pasokan bahan makanan, masyarakat urban dapat “mengusahakan” sendiri menanam bahan makanan mereka. Di tahap itulah teknologi pertanian vertikal tadi dapat menjadi opsi cara bertani di tengah minimnya lahan di wilayah kota.
Jika masyarakat kota menanam sendiri bahan makanannya, mereka akan dapat menikmati bahan segar setiap harinya. Konon begitulah salah satu penyebab pertanian vertikal semakin digaungkan.
ADVERTISEMENT
Namun meskipun demikian, penerapan pertanian vertikal tidak semudah membayangkannya. Hal yang tidak disadari oleh banyak orang adalah peluang selalu hadir dengan tantangan yang menyertainya. Pengadopsian teknologi pertanian vertikal juga menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah.
Pertama, keefektifan biaya, skalabilitas, dan keberlanjutan dari pertanian vertikal intensif masih belum menentu. Istilah “intensif” merujuk pada pertanian yang membutuhkan tenaga kerja dan investasi dalam jumlah yang besar.
Pengaplikasian pertanian vertikal lebih mudah untuk direncanakan dan diukur di skala hobi dan bisnis kecil, namun tidak di skala besar atau industri.
Kedua, pertanian vertikal membutuhkan tenaga kerja terampil dengan kemampuan dan pengetahuan tinggi. Hal ini dikarenakan pertanian vertikal pada umumnya menggunakan konsep hidroponik yang membutuhkan kemampuan khusus dalam perawatannya.
ADVERTISEMENT
Terlebih jika pertanian vertikal dilakukan secara indoor, beberapa tugas lain seperti polinasi dan pencahayaan tanaman akan menjadi tugas tambahan para pekerja.
Ketiga, konsumsi energi dapat menjadi lebih besar dari pertanian konvensional. Paling tidak pertanian vertikal membutuhkan listrik untuk menghidupkan pompa irigasi. Semakin tinggi instalasinya, maka akan semakin besar daya listrik yang dibutuhkan pompa.
Penggunaan energi akan semakin membengkak jika pertanian dilakukan secara indoor dengan iluminasi atau penerangan buatan menggunakan lampu berjenis LED.
Terakhir, sampai saat ini jenis tanaman yang bisa dibudidayakan dengan pertanian vertikal juga masih terbatas. Sebagai contoh sayuran, hanya beberapa jenis sayuran saja yang cocok ditanam dengan pertanian vertikal. Di samping itu, biaya operasional yang tinggi juga akan berdampak pada harga jual produk.
ADVERTISEMENT
Meskipun secara kualitas produk hasil pertanian vertikal lebih unggul (lebih aman dan sehat), tapi agaknya masyarakat perlu diedukasi lebih banyak tentang mutu dan keamanan dari produk hasil pertanian.
Kesudahannya, terlepas dari latar belakang kehadirannya sebagai solusi pertanian di wilayah kota, pertanian vertikal atau vertical farming masih memiliki “masalah” dalam hal akseptabilitas. Saat skalanya masih kecil, pengaplikasian pertanian vertikal di wilayah perkotaan masih aman untuk dilakukan.
Namun jika ingin diterapkan pada pertanian intensif, perencana dan pemodal sepertinya butuh waktu merenung yang lebih lama. Tentang apakah akan membangun pertanian vertikal di kota atau menyewa atau membeli lahan terbuka di desa saja.