Hambatan Komunikasi Selama Pembelajaran Daring: Refleksi Menyongsong Hardiknas

Haiyudi
Dosen Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
Konten dari Pengguna
30 April 2021 10:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haiyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang anak menyimak pembelajaran yang disiarkan melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) (ANTARA FOTO).
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak menyimak pembelajaran yang disiarkan melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) (ANTARA FOTO).
ADVERTISEMENT
Sejak bertahun-tahun silam, kesibukan menghadapi hari pendidikan nasional (HARDIKNAS) yang jatuh setiap tanggal 2 Mei selalu diwarnai dengan mempersiapkan upacara di depan bendera. Namun, sedikit berbeda dengan biasanya, sejak tahun 2020, HARDIKNAS diperingati dengan maraknya seminar pendidikan.
ADVERTISEMENT
Jauh hari sebelum jatuh tanggal, flyer sudah banyak beredar di lini media sosial. Sepertinya hal serupa juga terjadi pada tahun ini. Hal semacam ini sepertinya bukan merupakan suatu hal yang buruk. Meskipun dilaksanakan secara dalam jaringan, beragam seminar nasional mengatasnamakan hari pendidikan merupakan sesuatu yang harus diapresiasi. Pasalnya, kegiatan tersebut mengangkat berbagai macam tema yang menarik. Salah satu tema yang banyak diangkat adalah permasalahan pembelajaran daring selama masa krisis yang disebabkan oleh pandemi.
Pembejalaran daring adalah suatu kelaziman untuk saat ini. Tidak ada pilihan lain kecuali keharusan untuk beradaptasi dengan cepat. Pembelajaran harus didesain dengan begitu menarik supaya proses pembelajaran daring tetap mengedepankan pembelajaran yang penuh makna (meaningful learning) serta pembelajaran yang membahagiakan (happy learning). Meskipun kabarnya pembelajaran di luar jaringan atau pembelajaran di tempat akan segera diniscayakan melalui kenormalan bersyarat, namun demikian setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi refleksi, terutama adanya hambatan komunikasi selama pembelajaran daring berlangsung.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk pada pengertian komunikasi, yaitu adanya proses interaksi antara dua belah pihak yang biasanya disebut dengan sender (pengirim) dan juga receiver (penerima) dalam bertransaksi, entah itu berisikan informasi, simbol, pemikiran dan dalam bentuk lainnya. Dalam hal kegiatan pembelajaran, maka guru di sini memposisikan diri sebagai pengirim informasi, pengetahuan dan atau simbol. Sementara siswa merupakan penerimanya. Bisa juga antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya melakukan transaksi serupa. Menariknya, sebuah pertanyaan muncul:
Bagaimana dengan proses komunikasi yang terjadi dalam proses pembelajaran selama daring? Hambatan apa saja yang muncul untuk kemudian menjadi perhatian? Bagaimana mengatasi hambatan yang terjadi tersebut?
Ada banyak cendekiawan yang berteori tentang hambatan komunikasi. Meskipun teori tersebut dinyatakan dalam komunikasi secara umum. Namun sangat relevan untuk dikaitkan ke dalam komunikasi yang terjadi dalam kelas selama pembelajaran. Di antara banyak teori, Wursanto (2005) merupakan teori yang popular di kalangan peneliti di Indonesia terkait dengan hambatan komunikasi. Ia mengatakan setidaknya ada 3 jenis hambatan (noise) dalam komunikasi yakni hambatan teknis, hambatan semantik serta hambatan dalam perilaku atau kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Hambatan teknis selama pembelajaran daring di Indonesia sepertinya bukan hal yang rahasia. Ada banyak daerah yang belum siap menyambut maraknya teknologi di mana itu sangat dibutuhkan dalam mendukung proses pembelajaran.
Singkatnya, ada banyak permasalahan teknis (terkait teknologi) entah dari ketersediaan teknologi pendukung, ataupun kurangnya pengetahuan dalam pemanfaatannya. Oleh dikarenakan teknologi ini menjadi salah satu acuan keberhasilan pembelajaran selama masa krisis, maka jika seandainya hambatan teknis masih ditemukan, sudah seharusnya untk menjadi bahan evaluasi dasar.
Ke depannya, keberadaan teknologi diperkirakan akan menguasai semua lini kehidupan, maka mempersiapkan diri sedini mungkin merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita belajar dari pandemi ini bahwa pentingnya teknologi dalam pembelajaran. Tenaga pengajar harus sekuat mungkin dibekali dengan kemampuan teknologi dasar. Disisi lain, pemerintah juga harus mempersiapkan teknologi dan sarana pendukung meskipun suatu saat nanti pandemic ini sudah reda.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya adalah hambatan semantik, hambatan ini muncul dan memiliki hubungan sangat erat dengan hambatan teknis. Apabila hambatan teknis terjadi, maka hambatan semantik sudah tidak bisa dihindari. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam menafsirkan pesan selama pembelajaran. Sebagai contoh, dikarenakan keterbatasan jaringan, suatu pembelajaran online yang dilakukan secara Synchronous, di mana guru dan pelajar berada dalam satu platform telekonferensi secara bersamaan, akan tetapi memiliki keterbatasan signal, maka kemungkinan besar pembelajaran yang berlangsung sangat tidak efektif.
Hasilnya, pesan yang disampaikan sudah pasti tidak jelas dan menemui noise atau hambatan. Sehingga memungkinkan pelajar untuk bertanya ulang dan berdiskusi ulang. Yang paling buruk jika seandainya pelajar salah dalam menafsirkan informasi karena hambatan yang ditemui melalui simbol atau bahasa yang disampaikan oleh guru. Oleh karena itu, kedua hambatan ini (teknis dan semantik) sangat erat hubungannya.
ADVERTISEMENT
Yang terakhir adalah hambatan perilaku. Hambatan ini cenderung lebih mempermasalahkan egosentris antara keduanya (penyampai dan penerima/ guru dan murid). Selama pembelajaran secara daring, berlangsung, suasana pembelajaran yang otoriter sangat sering terjadi. Pembelajaran satu arah, di mana guru hanya aktif menyampaikan informasi, sementara pelajar tidak sedikit yang tertidur. Tidak ada yang salah dalam pembelajaran seperti ini. Hal semacam ini terjadi karena kondisi psikologis keduanya terpisah. Sehingga munculnya sikap egosentris.
Tidak sedikit pula guru yang berpikiran bahwa tugasnya selesai hanya karena waktunya dalam menyampaikan materi selesai. Ia tidak peduli apakah pelajarnya mendapatkan informasi yang ia sampaikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya jalinan atau hubungan emosional antara keduanya. Selain itu, suasana kelas (kelas tidak selamanya dalam ruangan, kelas dimaksudkan sebagai kelompok belajar) juga sangat mungkin terkesan otoriter. Hal ini karena guru memberikan banyak tugas dengan dalih bahwa task-based learning sangat sah dilakukan. Tidak salah, namun jika terlalu banyak noise dalam komunikasi, maka task-based learning akan menjadi pembunuh perlahan bagi pelajar.
ADVERTISEMENT
Dari (setidaknya) ketiga jenis hambatan komunikasi di atas, harusnya ini menjadi evaluasi kita semua di momentum hari pendidikan nasional ini. Ketiga hambatan di atas sepertinya bukan hal yang baru lagi selama pandemi ini berlangsung. Para guru atau pengajar lainnya pasti dengan sadar diri bahwa komunikasi yang terjalin selama ini sangat tidak efektif. Selanjutnya mari kita temukan solusi mulai dari hal terkecil yaitu dari guru dan siswa itu sendiri. Selanjutnya, pemerintah juga tidak bisa dipungkiri harus segera berbenah. Tidak hanya mendeklarasikan bahwa pembelajaran tatap muka akan segera berlangsung, namun juga berkaca dari pengalaman setahun lebih ini.
Selamat (menyongsong) hari pendidikan nasional, mari kita peringati hari pendidikan nasional dengan tidak lagi upacara di bawah tiang bendera (saja). Namun memperkaya diri dengan diskusi pendidikan yang bergizi. Ki Hadjar Dewantara sepertinya akan sangat terbuka dengan hal ini. Masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan, terlebih setelah menjumpai pandemi dalam kurun waktu setahun lebih ini.
ADVERTISEMENT
*Haiyudi - Master of Education, Khon Kaen University, Thailand