Konten dari Pengguna

Penundaan Penanganan Gratifikasi dan Potensi Pidana Korupsi

Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA
Dosen pada Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas, pemegang sertifikat Auditor Utama BPKP, dan Anggota Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. Sebelumnya Staf Ahli Mendagri Bidang Keuangan, Pembangunan dan Ekonomi (2014 sd 2022)
8 September 2024 17:52 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Hamdani, MM, MSi, Ak, CA, CIPSAS, CRGP, CFrA, CACP, ACPA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penanganan kasus dugaan gratifikasi yang menimpa Kaesang Pangarep atas penggunaan jet pribadi jenis Gulfstream G650 dalam penerbangan dari bandara Halim Perdanakusuma menuju Pennsylvania menuai kontroversi. Ketika Indonesia mengalami darurat demokrasi jet pribadi pasangan ini tidak saja menyambangi kota lokasi kampus University of Pennsylvania tempat tujuan pendidikan Erina Gudono istri Kaesang, tapi juga terlacak berkelana menuju Boston, California dan Las Vegas.
ADVERTISEMENT
Polemik ini terjadi dipicu adanya perbedaan pandangan dari kalangan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai kedudukan Kaesang sebagai subjek hukum. Awalnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan Kaesang tidak memiliki kewajiban melaporkan atau mengklarifikasi dugaan penerimaan gratifikasi karena bukan penyelenggara negara seperti gubernur, bupati dan walikota. Pernyataan tersebut dibantah Ketua KPK Nawawi Pomolango, yang berpendapat KPK memiliki kewenangan mengusut dugaan gratifikasi fasilitas jet pribadi karena sosok Kaesang mempunyai kaitan dengan penyelenggaraan negara.
Sekali tiga uang kasus yang sama juga menimpa Bobby Nasution, Walikota Medan sebagai penyelenggara negara. Kendati Bobby mempersilahkan KPK memeriksa bukti pembayaran jet pribadi tersebut, namun KPK memutuskan menunda pemeriksaan terhadap menantu Presiden ke-7 RI ini. Kebijakan menunda penanganan perkara korupsi selama penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 di luar kebiasaan KPK. Padahal sebelumnya KPK tidak bergeming menangani perkara korupsi calon legislatif dan calon kepala daerah ketika musim kontestasi.
ADVERTISEMENT
Keanehan penanganan perkara terlihat dari keterangan KPK yang akan memanggil pihak pelapor untuk diklarifikasi. Prosedur sesat ini menunjukkan KPK mengandalkan pihak pelapor untuk membuktikan kebenaran aduannya. Sebaliknya pemanggilan terlapor yang harus melakukan klarifikasi atau membuktikan penerimaan fasilitas tersebut gratifikasi malahan ditunda.

Delik Aduan atau Delik Biasa

Ilustrasi Kasus Mandat: istockphoto.com
Definisi gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Lokasi penerimaan dimaksud mencakup dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan baik menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik.
ADVERTISEMENT
Terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan Bobby, sejauh ini KPK telah memperoleh laporan pengaduan masyarakat perihal tersebut dari Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia dan dosen Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun. Kedua laporan dimaksud, kini ditangani oleh Direktorat Penerimaan Layanan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK, sehingga jangkauan pemeriksaannya diharapkan akan lebih luas terutama terkait kewenangan KPK dalam mengusut kasus tersebut.
Pelaporan dugaan kasus korupsi dapat dilakukan setiap warga negara yang dilindungi undang-undang. Pelapor tidak selalu pihak yang terlibat atau mengetahui peristiwa pidana tersebut terjadi. Pada kasus pelaporan gratifikasi penggunaan jet pribadi pelapor tidak mengetahui persis perkara yang dilapor karena dapat saja mengandalkan sepenuhnya pada pemberitaan media. Keterlibatan masyarakat melaporkan haruslah dipandang sebagai upaya mendorong lembaga anti rasuah ini secepatnya menjalankan kewajiban untuk mengusut dugaan pidana korupsi dimaksud.
ADVERTISEMENT
Delik atau tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Jika perbuatan itu tetap dilakukan, maka dapat dikatakan telah melanggar undang-undang dan dapat dikenakan sanksi atau hukuman pidana. Dari sisi proses penanganan perkara, delik dalam ilmu hukum terbagi atas delik aduan dan delik biasa.
Delik aduan adalah jenis tindak pidana yang membutuhkan laporan atau pengaduan dari pihak yang dirugikan agar kasus bisa diproses lebih lanjut. Apabila tidak ada pelaporan atau pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, perkara tersebut tidak akan ditangani oleh pihak berwenang. Perkara pidana dinyatakan selesai ketika pelapor mencabut pengaduannya.
Delik biasa adalah jenis tindak pidana yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak berwenang tanpa adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dalam delik biasa, penuntutan dapat dilakukan oleh pihak berwenang berdasarkan bukti-bukti yang ada, tanpa memerlukan laporan atau pengaduan dari korban. Pada kasus pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan, pihak berwenang dapat langsung menuntut pelaku tindak pidana berdasarkan bukti yang ada.
ADVERTISEMENT
Kebijakan KPK mengalihkan kasus dugaan gratifikasi anak dan menantu Presiden yang populis ini dari Direktorat Gratifikasi ke Direktorat PLPM KPK menjadi polemik pakar hukum. Pasalnya, gratifikasi bukan delik aduan yang dugaan pidana korupsinya ditangani KPK setelah adanya pengaduan.UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak mengenal delik aduan dalam penangan kasus tindak pidana korupsi.
Keberadaan Direktorat PLPM KPK tidak dimaknai penanganan perkara korupsi oleh KPK menunggu adanya pengaduan masyarakat. Adanya laporan masyarakat menjadi salah satu petunjuk awal dugaan terjadinya pidana korupsi. Ada atau tidaknya pengaduan masyarakat tidak mengurangi kewajiban KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan suatu peristiwa pidana korupsi. Sungguh kebijakan yang kurang bertanggung jawab apabila KPK berdalih melakukan pendalaman atas pengaduan masyarakat terhadap fakta hukum yang telah terjadi.
ADVERTISEMENT

Penanganan Kasus Gratifikasi

Ilustasi Belum Ditangani Kasus Korupsi: istockphoto.com
Frasa pegawai negeri dan penyelenggara negara sebagaimana diatur pada UU 31 Tahun 1999 membuat keraguan penyidik KPK melakukan pemanggilan untuk klarifikasi kepada putera bungsu Presiden Jokowi. KPK tidak boleh menafsirkan kewenangan KPK hanya mengusut dugaan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga memperhatikan status dan kedudukan Kaesang sebagai penyelenggara negara dan ketua umum Partai Solidaritas Indonesia. Pada kasus dugaan gratifikasi penggunaan jet pribadi kedua pasang anak dan menantu Jokowi, aturannya sangat jelas baik UU 31 Tahun 1999 maupun aturan yang mengatur kedudukan anak Presiden.
PP Nomor 59 Tahun 2013 mengenai pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden beserta keluarganya antara lainnya menyebutkan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya mendapat perlakuan pengamanan secara khusus. Pengertian keluarga Presiden dalam aturan ini selain istri termasuk anak dan menantu yang memperoleh pengamanan dan pengawalan negara. Fasilitas ini menjadi pembuktian anak dan menantu Presiden memiliki pengaruh kepada Presiden menurut pikiran pihak pemberi gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Sosok Kaesang tidak bisa dilihat sebagai individu secara personal belaka, tapi posisi dia sebagai anak Presiden Jokowi dan saudara kandung dari Gibran Rakabuming Raka, Wappres terpilih. Dalam penangan korupsi dikenal instrumen hukum berupa perdagangan pengaruh (trading influence), apakah pihak yang memberi fasilitas jet pribadi secara suka rela atau melihat kaitan dengan jabatan yang disandang oleh orang tua dan kakaknya.
KPK menyampaikan Kaesang tidak perlu terburu-buru datang ke KPK untuk mengklarifikasinya. Padahal apabila laporan tersebut tetap ditangani di Direktorat Gratifikasi KPK, sesuai aturan, dugaan penerimaan gratifikasi harus diklarifikasi maksimal 30 hari sejak gratifikasi diterima. Dalam kurun 30 hari belum ada laporan dari pihak penerima, maka gratifkasi tersebut otomatis menjadi pidana suap.
ADVERTISEMENT
Dari pemberitaan media, penggunaan jet pribadi oleh Kaesang bersama istri diperkirakan dilakukan pada penerbangan Jakarta-Pennsylvania tanggal 18 Agustus 2024. Kewajiban pelaporan harus dipenuhi Kaesang dalam kurun waktu 30 hari paling lambat tanggal 17 September 2024. Selanjutnya KPK yang memeriksa untuk menentukan apakah fasilitas jet pribadi tersebut dapat menjadi hak Kaesang atau menjadi hak Negara. Kalau hasil pemeriksaan KPK memutuskan sebagai gratifikasi, maka Kaesang harus mengembali senilai fasilitas tersebut sebagai penerimaan negara.
Pada titik ini terjadi dilema kalau KPK menunda dan ternyata fasilitas jet pribadi tersebut merupakan gratifikasi. UU Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan penerimaan gratifkasi yang tidak dilaporkan dalam kurun waktu 30 hari menjadi pidana suap. Penerimaan suap sebagai peristiwa korupsi apabila dikembalikan tidak menghilangkan pidananya.
ADVERTISEMENT
Mengingat korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan juga cara-cara yang luar biasa untuk mengatasinya. KPK sebagai lembaga anti rasuah tidak boleh bersikap pasif menunggu kasus tersebut bergulir, tapi harus secara pro aktif diadukan atau tidak menelisik perkara tersebut. Pembentukan KPK sendiri adalah wujud dari upaya luar biasa pemerintah dalam memberantas korupsi.
Keberadaan KPK yang dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah jawaban tuntutan masyarakat untuk hadirnya pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebagai anak kandung reformasi, KPK diharapkan mampu menangani korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) secara profesional, penuh integritas, dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
ADVERTISEMENT