Gibran: Anakmu Bukan Anakmu

Hamid Basyaib
Penulis buku ‘Love Letters from a Father’.
Konten dari Pengguna
9 November 2023 15:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hamid Basyaib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gibran Rakabuming Raka di acara Makan Ikan Bersama Santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (2/11/2018). Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gibran Rakabuming Raka di acara Makan Ikan Bersama Santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (2/11/2018). Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Dari mana Pak Joko Widodo, seorang sarjana kehutanan dan pengusaha kecil mebel di Solo, mendapat ilham untuk menamai anak pertamanya Gibran?
ADVERTISEMENT
Tidak salah lagi: dari nama penyair Lebanon-Amerika, Gibran Kahlil Gibran. Rupanya, pengusaha muda yang kemudian masyhur dengan nama panggilan Jokowi itu sangat mengagumi Kahlil Gibran setelah terjemahan penggalan prosa-lirisnya beredar luas di Indonesia (dipetik dari Sang Nabi, terjemahan Sri Kusdiyantinah, penerbit Pustaka Jaya, 1981).
Penggalan prosa liris itu menjadi semakin terkenal setelah dijadikan iklan layanan masyarakat di banyak media massa, dengan ilustrasi foto anak kecil bersama seorang ibu berkebaya, di awal 1980an.
Pemerintah Orde Baru, yang hiper sensitif terhadap apa saja yang dipandangnya berpotensi “menghasut”, kemudian melarang penerbitan iklan tersebut. Karya Gibran dianggap bisa menghasut generasi muda untuk melawan orangtuanya sendiri.
Inilah versi lengkap penggalan karya Gibran — seorang penyair yang karyanya dianggap mencapai status literer kitab suci — yang saya terjemahkan dari The Prophet (terdapat dalam kumpulan karya Gibran setebal seribu halaman):
ADVERTISEMENT
ANAKMU bukanlah anakmu
Mereka putera-puteri Kehidupan yang damba kehidupan itu sendiri
Mereka datang melaluimu namun bukan darimu
Dan meski mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
Kau boleh memberi mereka cinta tapi bukan pikiranmu
Sebab mereka memiliki pikiran sendiri
Kau bisa memberi tempat bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka
Sebab jiwa mereka hidup di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi
Kau boleh berikhtiar untuk menjadi diri mereka namun jangan pernah berupaya menjadikan mereka seperti dirimu
Sebab hidup tak berjalan mundur atau teronggok di masa silam
Kau adalah busur yang melesatkan anak-anakmu, sebagai anak panah kehidupan yang meluncur ke masa depan
Lengkung busur itu mencari tanda di atas jalan lurus yang tak berujung, dan Dia melengkungkanmu dengan dayaNya agar panah-panahNya melesat cepat dan jauh
ADVERTISEMENT
Berlengkunglah dengan riang bersama lengan busur itu
Sebab Dia bukan hanya mencintai anak panah yang melesat, tapi juga sang busur yang diam
*
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi putranya Gibran Rakabuming (kanan) menyalami warga di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (20/10). Foto: ANTARA FOTO/Rachman
Kemudian terlihat makin jelas bahwa Pak Joko hanya mengagumi prosa-liris itu dan penulisnya, tapi meninggalkan semangat karyanya.
Pak Joko menentang saran Kahlil Gibran. Ia bukan hanya memberi tempat bagi raga puteranya, tapi juga tahta bagi jiwanya.
Ia, berlawanan dengan dugaan Kahlil Gibran, ternyata mampu mendatangi rumah anaknya dalam kenyataan, bahkan bukan hanya dalam mimpi.
Ia merasa tak cukup menjadi busur yang diam, tapi sekaligus anak panah yang menuntun anaknya sebagai sesama anak panah — meski ia tak tahu sampai seberapa jauh panah anaknya melesat (dan belum tentu ke depan).
ADVERTISEMENT
Ia ingin anaknya identik dengan dirinya, tak sudi membiarkan sang anak menjadi diri sendiri. Ia menjadikan anaknya sebagai miliknya, sebab ia yakin anak itu datang darinya, bukan sekadar melalui dirinya.
Ia lupa riwayat dirinya sendiri. Ia tak ingat bahwa ia bukan anak siapa-siapa — apalagi anak presiden — dan ternyata sanggup mencapai kursi tertinggi yang tampak baru dicita-citakannya setelah ia cukup tua.
Ia tak percaya si anak sanggup melewati proses seperti dialaminya. Ia yakin jika si anak tak dibantunya dengan segala cara, termasuk dengan melanggar hukum dan etika bernegara, maka dia akan bernasib seperti puluhan juta anak Indonesia seusianya — berusaha sekeras-kerasnya untuk meraih cita-cita, dan gagal berulang-ulang.
Ia tak percaya bahwa keindahan, dan kepuasan hati, bukan hanya bisa muncul dari keberhasilan upaya, tapi terutama dari prosesnya. Ia tak yakin ada makna apa pun dari proses susah-payah yang tak membuahkan hasil.
ADVERTISEMENT
*
Jauh setelah ia cukup tua dan anaknya sudah cukup dewasa, ia mulai menertawai Kahlil Gibran, yang kekurangan wawasan politik. Meski ia orang Timur yang menganut Maronitisme, Gibran tak paham tentang pentingnya “keluarga besar.”
Penyair yang mati dalam usia 48 itu tak pernah memperhitungkan fungsi seorang paman — apalagi jika si paman menggenggam palu penentu kehidupan.
Dan dengan itu, Kahlil Gibran tidak mengerti bahwa istilah “nepotisme” persis muncul karena hubungan kekerabatan ini. Kata itu bermakna “keponakanisme” — nepo dari nephew dalam bahasa Inggris.
*
The Prophet terbit pertama kali di Amerika pada 1923. Dan sejak itu menjadi buku laris sepanjang masa. Ia telah diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa, termasuk Indonesia, yang pada awal 1980-an dibaca oleh seorang ayah muda di Solo.
ADVERTISEMENT
Persis satu abad kemudian, 2023, si ayah yang mengagumi penulisnya tapi semakin tak percaya pada isinya, mengedit buku itu dengan tegas untuk keperluannya sendiri.
Anakmu bukanlah anakmu, tulis Kahlil Gibran. Ia mengeditnya menjadi: Anakku adalah anakku. Dan ia punya paman yang mencengkeram palu. ***