Konten dari Pengguna

Feminisme Pascakolonial: Perempuan-perempuan Subaltern

Hamzah Jamaludin
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Diponegoro
6 Januari 2022 16:22 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hamzah Jamaludin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan dan Alam diambil dari Pixbay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan dan Alam diambil dari Pixbay
ADVERTISEMENT
Pertarungan ruang hidup demi mempertahankan lingkungan peristiwa tidak luput dalam hidup kita. Ruang-ruang produktif, kekayaan alam yang melimpah berubah menjadi arena pertarungan kepentingan yang konflik tiada akhir, demi mempertahankan martabat individu. Akibatnya, konflik tidak bisa dihindari menyisakan potrek luka tragis.
ADVERTISEMENT
Konflik memberikan rasa pahit yang cukup pelik, luka-luka membekas, perubahan corak kehidupan masyarakat sekitar. Kehadiran konflik dalam kacamata analisis ilmu sosial memang kerap hadir dalam kehidupan manusia, ilmuwan-ilmuwan sosial masa lalu hingga kontemporer mengupasnya dari berbagai analisis.
Ruang-ruang publik dan sosial kerap kali meminggirkan keakraban bagi perempuan, maskulinitas terlihat di pelbagai tempat, kesadaran terhadap kesetaraan bagi perempuan menimbulkan peminggiran, pembangunan fisik yang dilakukan oleh korporasi yang bekerja dalam legalitas Pemerintah berujung pada pertarungan konflik tidak terhenti. Pada kenyataannya, konflik memberikan rasa sakit yang cukup pelik, yang lebih peliknya dari itu semua masalah sosial dan rasa dendam yang tersisa jika konflik itu tidak direkonsiliasi secara utuh.
Isu lingkungan, sumber daya alam dan tambang adalah isu feminis. Mengapa demikian, karena konflik tersebut berkaitan dengan situasi perempuan yang kerap mengalami dampak terpinggirkan. Perempuan-perempuan yang tidak memiliki kuasa harus berserah mengalami keterasingan serta marginalisasi, selain ketidakadilan kaum perempuan mengalami konflik pelik, oleh karenanya masalah tersebut mengkristal tidak pernah surut dalam setiap kajian ilmiah.
ADVERTISEMENT
Meminjam kalimat Bodley, menurutnya pembangunan suatu konsep yang coba dikejar demi kemaslahatan bersama, tendensi ini terkadang bertolak belakang dengan tujuan tersebut. Ternyata berdampak terhadap pemenjaraan hak individu tanpa melihat aspek kemanusiaan secara alamiah. Bagi mereka yang tersingkir, proses itu lebih diartikan sebagai peminggiran karena dalam proses maupun sebaran manfaatnya hasilnya tidak jarang warga setempat hanya dijadikan penonton atau malah korban kemajuan (Bodley, 2015:5).
Perjuangan hak atas diri dan tanah dilakukan tanpa henti oleh para perempuan di Desa Wadas. Desa Wadas salah satu tempat yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah, terkenal dengan sumber kekayaan alamnya akan coba dijadikan tempat pertambangan quarry. Jika ditelisik dampak dari pembangunan pertambangan quarry tidak mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat sekitar melainkan merampas hak-hak hidup terutama kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Dampak kerusakan lingkungan meminggirkan para perempuan, pembangunan yang tidak melihat aspek tersebut mencerabut hak hidup para perempuan, akibatnya ruang lingkup perempuan yang terbatas untuk mengekspresikan dirinya harus terkikis akibat dampak pembangunan yang hanya memberi ruang-ruang kecil.
Dalam buku Ecofeminism (2005) Shiva dan Mies mengatakan bahwa Bendungan, tambang, bangunan-bangunan kokoh, markas militer. Ini semua merupakan candi (pusat pemujaan) agama baru yang dinamakan pembangunan. Sebuah agama yang memberikan rasionalitas bagi pemordernisasian negara, birokrasi dan teknokrasinya. Apa yang dikorbankan di altar agama ini adalah kehidupan alam dan kehidupan manusia (Shiva & Mies, 2005:113). Oleh karena itu, agenda pembangunan yang disebut sebagai kemajuan meminggirkan aspek lainnya, lebih berorientasi kerusakan dan peminggiran hak-hak kehidupan makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
Perampasan ruang hidup perempuan dengan potensi kerusakan lingkungan, menitikberatkan para perempuan ikut terlibat aktif dalam menjaga hutan yang sejatinya berpotensi terhadap kerusakan sumber mata air. Hal ini dikarenakan sumber air tersebut menjadi pemasok utama kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, perampasan-perampasan hutan yang berakibat pada produktivitas para perempuan menimbulkan perlawanan, kelompok perlawanan ini menamai mereka dengan nama Wadon Wadas.
Sejarah Singkat Konflik
Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, merupakan salah satu daerah penghasil dan upaya pertambangan sumber daya batuan andesit. Penggunaan batuan andesit inisebagai bahan pembangunan proyek strategis nasional bendungan Bener yangdimulai dari tahun 2018-2023.
Kekayaan alam yang dimiliki Desa Wadas menjadi ancaman besar untuk terjadinya degradasi lingkungan, tentu aspek tersebut tidak hanya mengancam aspek lingkungan saja, masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari hasil alam akan terancam. Warga Desa Wadas sesungguhnya mengupayakan penolakan, terutama terkait penambangan batu andesit. Terhitung semenjak terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 509/41/2018 yang menetapkan Desa Wadas masuk ke dalam area penambangan batuan andesit, yang diperuntukkan sebagai bahan proyek pembangunan Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo, yang direncanakan mulai beroperasi tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Penambangan batu andesit di desa Wadas merupakan tindakan ekspolitasi sumber daya alam. Namun, jika dilihat dari letak geografis Desa Wadas dengan kontur tanah yang curam menjadikan desa ini sebagai rawan longsor. Ada satu indikasi kuat yang melanggar hukum yaitu adanya pelanggaran izin penetapan lokasi yang dikeluarkan pemerintah yang dianggap cacat secara subtansial.
Menurut pakar Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada (UGM) I Gusti Agung Wardana, menurutnya IPL untuk bendungan dan pertambangan terbuka yaitu batuan andesit mengacu pada dua hukum yang berbeda. Menurutnya bendungan memang masuk dalam pembangunan untuk kepentingan umum dan perizinan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan UU No 2 tahun 2012 dapat dipertahankan sebagai dasarnya. Akibatnya, persoalan hukum proyek penambangan dengan proyek pengadaan tanah tidak dapat disatukan dengan dalil kepentingan umum.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, aktivitas pertambangan mengancam keberadaan 27 sumber mata air di Desa Wadas. Rusaknya sumber mata air berpotensi merusak lahan pertanian warga. Kerusakan lingkungan yang secara sengaja dilakukan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak hidup, baik hak asasi manusia maupun hak asasi alam. Pelanggaran hak mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis dalam unsur lingkungan saling terkait satu sama lain. Olehkarena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga harus berlakupada semua realitas ekologis.
Feminis Postkolonial
Feminis poskolonial masuk dalam gelombang ketiga yang merupakan cabang dalam bidang wacana dan identitas budaya.Feminisme poskolonial bergerak dalam ranah identitas sebagai alat perjuangan, tetapi seharusnya tidak buta dalam penguasaan sejarah (Karima,2019). Suatu bangsa pasti menyisakan pengalaman sejarah pelik. Kondisi ini tidak terlepasdari wacana kolonialisme. Pengalaman sejarah masa lalu menjadi wacana dan budaya penindasan yang tersisa hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Indonesia, merupakan negara yangtergolong dalam kategori dunia ketiga. Kategorisasi tersebut terkonstruksi dariperistiwa masa lalu. Dalam wacana poskolonialisme sebelumnya kita melacak tentang kolonialisme. Kolonialisme adalah sebuah sistem. Sebuah sistem yang di dalamnya terdapat feodalisme, rasisme dan imperialisme yang membuat sebuahnegara-bangsa menderita secara terstruktur.
Feodalisme masih tumbuh danterpelihara. Ketimpangan sosial dan ekonomi mengkooptasi warga sipil yang tidakmemiliki akses, konteks masa lalu kolonialisme lebih memperlihatkan maskulinitas berkuasa secara utuh terhadap wilayah jajahan. Dalam diskursus Poskolonial di Indonesia, kolonialisme sebagai tindakan yang rasis.
Perempuan pascakolonial tidakterlepas dari wacana pembentukan dan ketimpangan secara riil. Kondisi initerlihat perampasan hak-hak ruang hidup, penguasaan dan penghancuran alam. Kerusakan alam merupakan simbol yang berkaitan pada perempuan.
Peristiwa ini memperlihatkan keterkaitan alam dengan perempuan, di belahan dunia perempuan memiliki andilcukup besar dengan alam, kita mungkin pernah membaca tulisan-tulisan mengenai keterlibatan perempuan di pelbagai ruang hidup, gerakan sabuk hijau di Kenya yang diinisiasi Wangari Maathai, di wilayah India gerakan chipko yang terkenal memeluk pohondari ancaman deforestasi dan hancurnya keanekaragaman hayati. Perjuangan perempuan di Rembang menolak pendirian pabrik semen yang mengancam sumber kehidupan dan lingkungan mereka, dan akhir-akhir ini terjadi pada Perempuan di Desa Wadas, Purworejo Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Perempuan memiliki peran dalam pengelolaan dan penjaga alam, kepedulian mereka lebih intens dan terlihat. Namun demikian, suara-suara mereka kerap dibisukan dalam konteks ini mereka menjadigolongan subaltern. Perempuan di dunia ketiga dikonstruksikan tidak berdaya, tidak memiliki kuasa dan dikategorikan sebagai objek terbelakang. Konsep ini terus melekat di wilayah dunia ketiga salah satunya Indonesia.
Diskursus pascakolonialisme melihat perempuan di dunia ketiga mengalami praktik marginalisasi. Oleh karena itu, penulis menggunakan pisau analisis subaltern di mana teori ini yang digagas oleh salah satu pemikir kontemporer Gayatri Chakravorty Spivak.
Sebagai catatan, istilah subaltern secara konvensional merujuk pada seorang perwira berpangkat junior di tentara Inggris. Spivak sendiri mengembangkan istilah subaltern dari pemikir marxis awal, Antonio Gramsci. Dalam karya fenomenalnya The Prison Notebook, buku yang ditulis pada saat di penjara Italia. Dari landasan filosofis inilah Spivak mengembangkan pemikirannya yang hingga saat ini untuk mengkaji masalah-masalah etis yang berkaitan sosial dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Bagi Spivak masyarakat subaltern meliputi para imigran, pekerja kelas bawah, perempuan timur dan berbagai subjek pascakolonial. Mereka adalah orang-orang yang suaranya selalu diwakilkan sehingga kehadiran mereka merupakan praktik dominasi (Setiawan,2020).
Situasi hari ini memperlihatkan bahwa perempuan pascakolonial melalui teori Spivak memperlihatkan kaum perempuan tidak memiliki akses terhadap suatu keputusanatau kebijakan, terlihat posisi mereka rentan untuk dimanipulasi maupundimarginalkan. Spivak menyadari adanya ekspolitasi ekonomi yang begitu keji brutal yang dilakukan secara politis sehingga ia melihat bahwa ada semacam dan penindasan politik terhada kelompok-kelompok subaltern yang lemah dan tidak berdaya di dunia pascakolonial.(Morton,2018).
Oleh karena itu, konteks yang terjadi di wilayah Desa Wadas menampilkan watak penguasaan dan pembungkaman terhadap kaum perempuan yang berjuang mempertahakan wilayahnya dari ancaman pembangunan yang merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan penutup, Indonesia masuk dalam salah satu negara dunia ketiga konteks ini terlihat dari kategorisasi negara berkembang. Akibatnya, pembangunan kian masif dilaksanakan, didukung dengan kiat terbukanya investasi asing yang masuk. Oleh karena itu, penulis tidak menolak agenda pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, namun aspek yang lebih penting dari itu pembangunan harus memperlihatkan sifat berkelanjutan dan ramah terhadap kesetaraan gender, tidak mengorbankan satu pihak terutama suara-suara perempuan kian masif dipinggirkan.