Konten dari Pengguna

Apresiasi Sastra Cerpen Bendera pada Buku Talijiwo Karya Sujiwo Tejo

Hanna Maulida Syifa
Mahasiswa-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-Jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
24 Oktober 2022 12:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hanna Maulida Syifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: foto pribadi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada mulanya, Sujiwo menekuni dunia wayang. Setelah ia sudah mempelajari banyak hal dalam dunia wayang tersebut, ia berpindah menuju panggung teater. Ia juga menjadi seorang musisi sekaligus aktor dan sutradara. Bahkan, ia pun pernah menjadi seorang wartawan di harian Kompas selama 2 tahun.
Salah satu karya sastra yang dihasilkan adalah sebuah buku yang berjudul Talijiwo. Buku ini terbit pada tahun 2018 oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka). Buku ini berisi tentang berbagai macam cerpen yang memiliki latar belakang kehidupan sehari-hari.
Tiap cerita yang hadir disajikan dengan sederhana dan ringan. Karakter yang dihadirkan pun berupa pasangan suami istri, sepasang kekasih, hingga antara anggota keluarga yang sedang menjalani kesehariannya.
ADVERTISEMENT
Tujuan penulis dalam membuat artikel ini adalah untuk menganalisis isi cerpen yang berjudul bendera pada buku talijiwo karya Sujiwo Tejo.
Cerpen ini membahas tentang seorang ibu yang memiliki pola pikir kurang berkembang dalam menghadapi segala hal yang terjadi, sedangkan peran anak memiliki pola pikir yang lebih berkembang dari ibunya.
Cerpen ini memiliki tema, yaitu tentang penilaian terhadap seseorang dari berbagai sisi. Pada mulanya, ibu menasihati anaknya tentang penting menjaga simbol, atau bendera, atau nama sendiri, agar tidak terbalik atau salah dalam penulisannya. Tidak peduli bagaimana perilaku seseorang tersebut baik atau tidak, yang terpenting adalah penulisan namanya benar. Hal tersebut memberi makna bahwa yang terpenting adalah apa yang terlihat saja, sedangkan apa yang tidak terlihat dianggap tidak terlalu penting.
ADVERTISEMENT
Namun, setelah ia mengalami kejadian yang kurang menyenangkan di pesawat dengan seorang pramugari, ia menegaskan bahwa tidak boleh melihat orang lain dari luarnya saja. Apa yang terlihat dari luar belum tentu mencerminkan yang ada di dalamnya. Berdasarkan dua hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa memperhatikan apa yang terlihat dari luar itu perlu, akan tetapi memperhatikan apa yang ada di dalam juga penting.
Berdasarkan segi tokoh dan penokohan, terdapat empat tokoh yang muncul dalam cerpen ini, diantaranya ibu, anak, pramugari, dan pemuda kekar.
Ibu memiliki berbagai karakteristik. Pertama, suka menasihati, terdapat pada kalimat "Kelakuanmu kebolak-balik ndak papa, Nduk. Yang penting simbolmu, yaitu namamu, jangan sampai terbalik. Misalnya Sastro Jendro terus terbalik jadi Jendro Sastro." Kedua, pola pikir yang kurang berkembang, terdapat pada kalimat " Wah, pemikiran Ibu tidak sampai ke sana, Cuk. Otak Ibu ndak nutut". Ketiga, selalu bersyukur, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: di dalam pesawat, keduanya masih tak habis bersyukur. Keempat, suka menabung, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: bertahun-tahun mereka menabung di celengan Semar untuk itu. Kelima, mudah tersinggung, terdapat pada kalimat "Kamu lebih menyembah bendera ketimbang isi yang dibenderakan, ya!!!??? Bendera ini, ragaku ini, tampak sudah keriput! Memang! Tapi ketahuilah, tenagaku masih lumayan! Yang ngepel rumah, nyapu rumah, bahkan nyuci baju-baju putri saya ini saya! Putri saya yang sepantaran kamu ini nyuci serbet sehelai saja kram!!!!".
ADVERTISEMENT
Anak memiliki berbagai karakteristik. Pertama, pola pikir yang lebih berkembang dan kritis dalam menghadapi berbagai hal, terutama dalam menanggapi ucapan ibu. Kedua, selalu bersyukur, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: keduanya lantas melanjutkan komat-kamit tentang rasa syukur itu ketika pramugari meminta si ibu bertukar tempat duduk dengan seorang pemuda kekar di baris belakangnya. Ketiga, suka menabung, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: bertahun-tahun mereka menabung di celengan Semar untuk itu.
Pramugari memiliki berbagai karakteristik. Pertama, ramah dan sopan santun, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: meminta ibu bertukar posisi tempat duduk dengan seorang pemuda kekar dengan bahasa yang sangat diperhalus agar tak menyinggung perasaan, pramugari menjelaskan bahwa itu tindakan jaga-jaga. Kedua, suka bercanda, terdapat pada kalimat "Ibu pengin banget jejer berondong, ya?" bisik pramugari dengan maksud bercanda. Ketiga, peduli terhadap sesama, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: nanti, menurut pramugari itu, bila terjadi situasi gawat, ibu yang sudah separo baya itu ditakutkan tak cukup energi buat membuka pintu darurat. Deretan kursi tepat di jalur pintu darurat harus diisi oleh mereka yang tenaganya prima untuk menarik tuas pintu darurat.
ADVERTISEMENT
Pemuda kekar memiliki karakteristik baik hati, yaitu saat ia mau bertukar posisi tempat duduk dengan ibu.
Cerpen ini memiliki dua alur atau alur campuran, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju ini ditandai dengan penjelasan jalan cerita dari awal hingga akhir. Pada mulanya, seorang ibu dan anak berbincang di bandara saat sedang mengantre check in pesawat, lalu seiring berjalannya waktu mereka sudah berada di dalam pesawat dan siap untuk pergi umrah. Selanjutnya alur mundur yang ditandai dengan memperlihatkan kilas balik tentang kekeliruan dalam memuat bendera secara terbalik pada buku panduan acara dan koran setempat.
Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini adalah orang ketiga. Sudut pandang orang ketiga biasanya menggunakan kata ganti “dia”, “ia”, atau nama tokoh dalam bentuk jamak “mereka”. Hal tersebut terdapat pada beberapa kalimat dalam cerpen ini, salah satunya adalah kalimat bertahun-tahun mereka menabung di celengan Semar untuk itu.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa latar yang ada dalam cerpen ini, diantaranya latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.
Cerpen ini memiliki berbagai latar tempat. Pertama, di bandara, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: perbincangan ibu dan anak perempuannya itu berlangsung dalam antrean check in pesawat murah untuk pergi umroh. Kedua, di dalam pesawat, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: di dalam pesawat, keduanya masih tak habis bersyukur. Ketiga, di kursi dekat pintu darurat, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: deretan kursi tepat di jalur pintu darurat harus diisi oleh mereka yang tenaganya prima untuk menarik tuas pintu darurat. Keempat, di kursi belakang, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: ketika pramugari meminta si ibu bertukar tempat duduk dengan seorang pemuda kekar di baris belakang.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya latar waktu. Pertama, bertahun-tahun, terdapat pada kalimat yang dijelaskan penulis, yaitu: bertahun-tahun mereka menabung di celengan Semar untuk itu. Kedua, sejak pagi, terdapat pada kalimat "KTP nasional yang sudah mereka persiapkan sejak pagi mruput di pangkal antrean ternyata tidak ditanya oleh petugas"
Terakhir latar suasana, seperti bahagia saat ibu dan anak yang tak habis bersyukur karena mampu pergi umrah dengan uang tabungannya selama bertahun-tahun, tercengang saat anak memiliki pola pikir yang sangat berkembang dibandingkan ibunya, dan marah saat pramugari meminta ibu duduk di kursi belakang karena takut bila terjadi sesuatu, ibu tidak memiliki tenaga yang cukup untuk membuka pintu darurat.
Amanat dari cerpen berjudul bendera ini adalah jangan terlalu cepat menilai seseorang. Pentingnya menilai seseorang itu dari dua sisi. Terlihat baik dari luar memang hal yang bagus, biasanya orang yang baru pertama kali bertemu akan melihat orang tersebut dari penampilannya saja. Namun, terlihat baik dari dalam juga penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu, kita harus melihat orang lain dari dua sisinya, jangan hanya fokus pada pada satu sisi saja.
ADVERTISEMENT
Kelebihan yang ada dalam cerpen ini adalah penulis mencantumkan arti dari kalimat yang menggunakan bahasa daerah dan menjelaskan salah satu peristiwa yang berkaitan dengan perbincangan ibu dan anak tersebut, sehingga memudahkan pembaca memahami apa maksud dari bacaan. Selanjutnya kekurangan cerpen ini memiliki alur cerita yang terlalu singkat, sehingga menyebabkan pembaca kesulitan dalam memahami makna tersirat yang ada di dalamnya.
Hanna Maulida Syifa, mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.