Konten dari Pengguna

Lebaran Tanpa Seorang Ibu

hanzela alaras
Saya seorang Guru dan Mahasiswa Universitas Pamulang
31 Maret 2025 8:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari hanzela alaras tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar seorang anak laki-laki yang sedang menyambangi makam ibunya.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar seorang anak laki-laki yang sedang menyambangi makam ibunya.
ADVERTISEMENT
Hari itu, udara pagi terasa lebih sejuk dari biasanya. Aroma ketupat dan opor ayam sudah mulai tercium dari dapur, tempat ibu biasanya sibuk mempersiapkan hidangan. Namun, tahun ini, suasana terasa berbeda. Rumah yang biasanya ramai dengan tawa dan ceria, kini terasa sunyi. Tak ada lagi suara ibu yang menyapa kami setiap pagi dengan lembut, tak ada lagi tangannya yang sigap menyiapkan segala sesuatu untuk hari raya.
ADVERTISEMENT
Aku menatap cermin, memeriksa diri untuk yang kesekian kali. Baju baru yang aku pakai tak terasa semewah dulu. Dulu, ibu selalu memastikan kami tampil sempurna di hari Lebaran. Semua terasa kosong tanpa ibu di sini. Hari Lebaran seharusnya penuh dengan keceriaan, namun tahun ini, hati kami terisi dengan kesedihan yang tak bisa diungkapkan.
Ibu pergi tiga tahun yang lalu, meninggalkan kami dengan rasa kehilangan yang begitu dalam. Setiap hari setelah kepergiannya, rasanya seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Ibu bukan hanya seorang ibu, dia adalah segalanya: teman, pelindung, pelita dan pahlawan yang tak pernah lelah memberi cinta.
Lebaran kali ini, kami memutuskan untuk tetap merayakannya, meski tanpa ibu. Ayah, yang biasanya pendiam, terlihat lebih sering termenung. Kakakku, Yani dan Via, mencoba untuk tetap tersenyum, meskipun matanya sering terlihat basah. Kami semua berusaha menguatkan satu sama lain, tetapi rasanya ada yang hilang, sesuatu yang tak bisa digantikan oleh apapun.
ADVERTISEMENT
"Jangan lupa berdoa," kata Ayah saat kami sedang duduk di teras rumah untuk makan, menunggu waktu shalat Id. "Ibu pasti ingin kita tetap bahagia, meski dia tak ada di sini."
Aku mengangguk, meskipun hatiku terasa berat. Aku tahu Ayah berusaha memberi semangat, namun rasa kehilangan itu begitu mendalam. Ketika kami shalat bersama, doaku tertuju pada ibu. Aku berdoa agar ia tenang di sana, di tempat yang lebih baik, meskipun aku sangat merindukannya.
Setelah shalat, kami berkumpul di ruang tamu. Kakakku membuka kotak yang berisi kartu ucapan Lebaran, dan dengan suara pelan, dia mulai membaca pesan-pesan yang kami terima. Kami berbagi tawa, meski ada kekosongan yang tak bisa dipenuhi oleh siapapun. Ketika giliran aku membaca kartu, tanganku sedikit gemetar. Kartu dari seorang teman ibu, yang berisi doa dan harapan untuk kami, membuat dadaku sesak.
ADVERTISEMENT
Kami pun saling memberi maaf, seperti yang selalu ibu ajarkan. Ayah memelukku dengan erat, seolah memberi kekuatan untuk terus melangkah. Kak Yani dan Kak Via pun tersenyum padaku, meski senyumnya tidak sepenuhnya cerah. Kami tahu, hari ini tidak akan pernah sama lagi tanpa ibu.
Namun, di tengah kesedihan itu, ada secercah harapan. Aku tahu ibu selalu mengajarkan kami untuk kuat, untuk saling mendukung, dan untuk tetap menjaga kebersamaan. Meskipun ibu tidak ada di sini untuk merayakan Lebaran bersama, kami tetap merayakannya dengan cinta dan kenangan indah yang ia tinggalkan.
"Lebaran ini, kita akan terus mengenang ibu dengan cara kita," kata Ayah, dengan mata yang penuh haru. "Ibu ingin kita bahagia."
ADVERTISEMENT
Dan meski tanpa ibu, kami tetap merasa ada cinta yang mengalir di antara kami. Cinta yang diberikan ibu, yang selalu akan hidup dalam hati kami.
________________________________________
Semoga cerpen ini bisa mengungkapkan perasaan yang mendalam tentang kehilangan dan cinta yang abadi.