Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Pertigaan
17 Maret 2025 11:52 WIB
·
waktu baca 17 menitTulisan dari hanzela alaras tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
‘Jadi, kita ini apah?’
Tanyaku sambil makan keripik singkong yang mulai alot.
ADVERTISEMENT
‘Mega, kita ini kan homo sapiens masa lo gatau. Lo tidur mulu sih waktu pelajaran biologi.’ Ucap fahri sambil meledekku.
‘Yeuh maksud gue bukan itu fahriiiii.’ Ucapku
‘Eh udah waktunya kita masuk gedung wisuda nih, yok masuk nanti kita terlambat.’ Ucap Fahri mengalihkan pembicaraan.
Fahri selalu menghindari pertanyaan sulit dengan candaan, tapi kali ini aku butuh penjelasan.
Kami berdua sudah mengenal sejak sekolah dasar, yaa kalau dipikir-pikir sih cukup lama juga yaa.
Dan disaat moment hari wisuda SMA di depan gedung yang memiliki pintu segede gaban, menurutku itu pertanyaan yang cukup wajar.
Hubungan kita mulai dekat sejak kelas 1 SMA, yaa meskipun aku sudah suka dengannya sejak zaman SD. Bisa dibilang Fahri itu adalah cinta pertamaku atau cinta monyet kali yaaa.
ADVERTISEMENT
Lalu hubungan kita semakin dekat, ketika kita berdua berada dalam satu kelompok untuk mengerjakan tugas presentasi pelajaran Bahasa Indonesia yang berjudul Bogor pada tahun 2023. Saat ini adalah tahun 2007, apapun bisa terjadi pada kehidupan kedepan. Terutama pada kehidupan aku dan Fahri. Sehingga kami pun menuangkan segala imajinasi kami untuk membuat makalah tersebut.
‘Eh rii kita satu kelompok nih.’ Ucapku ketika bertemu dengannya di kantin.
‘Iya nih meg, bosen banget gue ketemu sama lo mulu hahaha.’ Ucap Fahri sambil cekikikan.
‘Hemm.... yaa mau gimana lagi ri, mungkin emang udah jodohnya kali yaa.’ Ucapku sambil menunggu pesanan batagor.
‘Hahaha gausah ke pedean dah lo meg, geli banget gue dengernya.’ Ucap Fahri meledekku.
ADVERTISEMENT
‘Yaudah, kita mau ngerjain tugasnya kapan nih?’ tanyaku.
‘Gue sih bebas gimana baiknya aja meg, lebih cepat lebih baik.’ Jawab Fahri
‘Gimana kalau nanti siang sepulang sekolah di kafe deket terminal bogor?’
‘Oke, boleh juga tuh.’ Jawab Fahri dengan nada semangat.
Akhirnya kami pun berangkat ke kafe tempat biasa kami suka nongkrong, karna dekat dengan sekolah kami. Fahri naik motor denganku ditemani dengan motor beat hitam kesayangannya. Selama di perjalanan aku berfikir, momen ini cocok ga ya buat nyatain perasaan ke orang yang udah gue suka dari SD? Ucap hatiku sangat dilema.
Ketika sesampainya di kafe dekat terminal bogor, ternyata sudah ada satu orang teman kelompok kami yang sudah menunggu.
ADVERTISEMENT
Aku pun meratapi dan menyesali kesempatan yang ada hanya beberapa sekian menit dalam hidupku.
Hatiku berkata, aduh bodoh banget si lo meg, kenapa tadi gak gue ungkapin aja yaa perasaan gue? Ah elah bodoh banget.
Sesudahnya kami membuat tugas pelajaran Bahasa Indonesia, kami pun mengakhiri pertemuan kami dan pulang kerumah masing-masing, dan aku pun pulang sendiri karna aku dijemput oleh kakak laki-lakiku.
Di pagi harinya aku pun bertemu dengan Fahri di sekolah.
‘Woy mega!’ panggil fahri.
‘Eh iyaa ada apa rii?’
‘Lo kenapa si kemarin waktu di caffe ngelamun mulu, ga kaya biasanya lo.’ Tanya Fahri lantang.
‘Eh iyaa gapapa ko ri, gue cuma lagi mikir aja.’ Jawabku gugup dengan alasan yang sedikit masuk akal.
ADVERTISEMENT
‘Emangnya mikirin apa si lo? Yaudah deh kalau lo baik-baik aja.’ Ucap Fahri dengan senyum tipis.
‘Hehe iyaa ri.’ Jawabku sambil menunduk malu.
Ketika mengerjakan makalah, Fahri dan aku malah menghabiskan waktu untuk mengobrol.
Topik demi topik bergulir, dan dengan selera humor Fahri yang garing-garing menyebalkan, aku sesekali mengeluarkan tawa.
‘Gue kayanya udah salah deh menilai lo,’ kataku di sela-sela mengerjakan Pendahuluan. ‘Gue pikir lo dulu orangnya dingin, judes, terus pendiam.’
‘Hemmm sama dong,’ kata Fahri. ‘Gue juga dulu mikir kalo lo itu orangnya ngebosenin, terus tipe cewek-cewek yang taat aturan gitu. Kaya kanebo kering hahaha.’
‘Ya emang, aturan ada buat diturutin.’ Kataku.
‘Hidup mah jangan sekaku itu ah.’ Kata Fahri. ‘Kalo janji, baru tuh itu harus diturutin.’
ADVERTISEMENT
‘Oke, tadi lo janji bakal ke tukang foto copian untuk ngeprint makalah ini, dan lo yang presentasi besok, bisa ditepatin ga tuh?’
‘Lihat mata gueee, apakah ini mata orang yang gampang buat ngebatalin janji?’ tanya Fahri, sambil meringis lebar. Alisnya tebal, hidungnya yang mancung dengan lubang yang besar, dan matanya yang agak kecokelatan.
Ketika esok harinya tiba, Fahri benar menepati janjinya.
Dia melakukan presentasi di depan semua orang dengan memukau. Dengan ciri khas senyumannya yang karismatik, membuat para siswa terkesima melihatnya. Dan entah kenapa, hal itu membuatku merasa istimewa.
Sorenya, sepulang dari kampus, Fahri mengajakku pergi makan untuk merayakan “Presentasi pelajaran Bahasa Indonesia yang telah selesai”.
Kami pergi ke BTM Plaza, tinggal naik angkot sebentar dari sekolah kami. Berjalan berdua, karna teman kelompok kami yang satu sedang diare akut.
ADVERTISEMENT
‘Sebenarnya dia tadi makan apahan sih di sekolah?’ tanya Fahri.
‘Tadi sih gue liat dia makan bakso yang di sebrang sekolah.’ Kataku.
‘Hah serius cuma bakso? Gamungkin kan baksonya isi daging tikus?’ tanya Fahri.
Kami berdua lalu tertawa terbahak-bahak diatas penderitaan teman kami yang sedang terkena diare.
Hari itu seperti kepingan-kepingan lego, perlahan kami mulai menunjukan potongan-potongan diri kami, dan berusaha melengkapinya, sehingga terlihat seutuhnya.
Semakin lama mengenal Fahri, semakin aku merasa seperti menemukan sebuah harta karun. Yaitu seorang laki-laki yang dilewatkan begitu saja dengan banyak perempuan lain di sekolah. Sosok laki-laki yang tidak cocok dengan semrawutnya pergaulan masa muda, lalu asing dan asik sendirian.
‘Lo ngapain sih deket-deket sama cowo aneh itu?’ kata seorang teman sekelasku. ‘Fahri itu waktu class meeting di sekolah, dia malah mojok sendirian sambil baca buku. Makannya dia gapunya temen.
ADVERTISEMENT
Lalu teman yang lain bilang, “Fahri juga pernah melarang kita buat ngerjain anak kelas 1. Masa senior mau ngehapus senioritas. Bener juga sih yaa, kalo orang yang sering baca buku gak usah didengerin.’
Padahal, Fahri bukan orang yang aneh seperti apa yang temanku bilang. Dia hanya orang yang salah dimengerti. Itu adalah dua hal yang berbeda.
Dari sekali pergi bersama, kami pun punya jadwal rutin tapi tidak resmi. Setiap malam minggu, Fahri mengajakku keluar. Kegiatannya pun beraneka ragam sehingga dia tidak membuatku bosan. Bahkan kami juga pernah pergi hanya sekedar penasaran dengan angkringan di bogor yang sedang viral di media sosial.
Kami juga pernah keluar hanya untuk menemaniku membeli gulali di taman Sempur sambil membicarakan orang-orang yang sedang jajan.
ADVERTISEMENT
Pada suatu malam selesai kami menonton film Beranak Dalam Kubur, lagi-lagi di BTM Plaza, kami berdiskusi panjang tentang pengalaman luka pada masa lalu.
‘Pengalaman apa di masa lalu yang bikin lo suka mimpi, kebangun tengah malem?’ tanya Fahri.
‘Waktu bokap gue marahin gue karna gue pernah dapet nilai 4 di rapot. Dia bilang, Papa sedih liat kamu dapet nilainya jelek, coba kamu lebih rajin lagi belajarnya. Gue pernah mimpi dikejar-kejar sama angka 4 serem banget.’ Kataku.
Mata Fahri terbuka lebar.
‘Pantesan hidup lo itu penuh dengan penyesalan ya. Selalu memikirkan kalau aja, kalau aja. Ternyata trauma sama angka 4 toh.’
‘ya gak gitu juga lah fahriiiiiii,’ kataku. ‘kalau lo mimpi apa?’
ADVERTISEMENT
‘Gue pernah mimpi waktu main bola di sekolah, gue tau kalo gue sundul itu bola, pasti kepala gue bakal kepentok tiang gawang. Bener deh, kepala gue kepentok tiang gawang dan gue pingsan. Tapi gol. Dan abis itu gue mimpi kepentok tiang berkali-kali,’ kata Fahri.
Tanpa terasa, entah siapa yang memulai duluan, di saat berjalan berdua, kami bergandengan tangan menyusuri jalan di sekitaran mall. Dan anehnya, sama sekali tidak ada rasa malu ataupun canggung pada diri kita berdua. Di saat itu aku tahu, kami memiliki sesuatu yang istimewa,
TEMAN, TAPI BUKAN HANYA TEMAN.
***
‘Jadi kita ini apa?’ tanyaku sekali lagi ketika momen kelulusan SMA, sambil makan keripik singkong di depan pintu gedung wisuda. ‘Jangan ngeles lagi, kaya bajay.’
ADVERTISEMENT
‘Lo adalah orang yang paling istimewa dalam hidup gue saat ini.’
‘Temen?’ tanyaku.
Fahri terdiam. ‘Kalau temen itu boleh kangen malem-malem ga sih? Terus telponan sampe kita tertidur.’
‘Gak tahu, kalau temen boleh...... sayang gak?’ tanyaku. ‘Karna itu realita yang terjadi.’
Fahri tersenyum lebar, wajahnya yang sangat amat menyebalkan itu terlihat jelas di bawah sinar matahari yang begitu terik. ‘Kita jelas bukan teman aja, kita lebih dari itu. Megaaa, tapi gue juga gamau kalo kita berdua pacaran.’
‘Kenapa?’ tanyaku.
‘Karena minggu depan gue udah pergi ke bandung.’ Kata dia.
Seperti sebuah film-film FTV yang berjalan begitu cepat, minggu depannya kami berdua duduk di sebuah kafe di stasiun Bogor. Suara speaker di stasiun, mengisi seluruh ruangan yang ada, memanggil para penumpang yang terlambat. Fahri mengaduk-aduk gelas kopi yang ada di depannya. Dan sebentar lagi dia akan menaiki keretanya untuk kuliah di Institut Teknologi Bandung.
ADVERTISEMENT
Dia selalu ingin pergi dari kota Bogor.
Dia tidak pernah nyaman dengan betapa sesaknya kota ini. Betapa orang-orang lupa untuk sekali-kali bernafas di tengah nasib.
Dia bilang, ‘Kota ini terlalu membuat gue takut.’
‘Tapi kan kota ini membawa banyak banget kesempatan.’ Kataku.
‘Itu yang mau gue cari di Bandung, kesempatan gue sendiri, dan di tempat yang gue senangi.’
Aku memandangi mata Fahri, dengan dalam.
‘Kenapa?’ tanya Fahri.
‘Kenapa sih lo gamau kita lebih dari sekedar teman? Punya, hem, komitmen?’
Tanyaku melepaskan semua rasa gengsiku. Ingin meminta kepastian untuk yang terakhir kalinya.
‘Mega, kita ini masih 18 tahun. Masih bego-begonya. Kita aja gak tahu siapa diri kita sebenarnya? Kepribadian kita masih berkembang, kenapa kita mau mengikat diri sama orang lain?’
ADVERTISEMENT
‘lo gak sayang ya sama gue?’ tanyaku dengan menatap mata Fahri.
‘Sayang, tapi kalau kita pacaran, gue udah bayangin gimana ribetnya. Gue pindah ke kota lain, terus kita LDR. Bete-betean terus akhirnya saling bosen, ketemu orang baru dan akhirnya putus. Kita saling benci satu sama lain, terus gak akan saling ngobrol sampai tua.’
Aku mengangguk. ‘Oh, lo mau ketemu sama cewek-cewek baru ya? Di perkuliahan nanti?’
‘Kurang tepat. Gue mau ketemu dengan kemungkinan lain dalam hidup gue.’
Fahri melihat tajam ke arahku. ‘Sama seperti lo, lo juga akan menemukan orang baru dalam kehidupan lo, di perkuliahan dan di tempat kerja lo. Dunia ini terlalu luas untuk menggantungkan hati lo ke orang yang lo temui waktu SMA. Gak mungkin kan, di umur kita yang semuda ini menemukan orang yang sempurna?’
ADVERTISEMENT
‘Jadi ini sebuah perpisahan?’ tanyaku sambil menunduk menahan tangis.
‘Anggap aja begitu,’ kata Fahri.
Aku berkata, ‘Seandainya kita gak satu kelompok, mungkin gue gak akan terjebak dalam perasaan gue saat ini. Dan gue gak perlu merasakan perasaan seperti ini.’
‘Tuhkan, seandainya lagi.’ Kata Fahri.
Dia diam lalu berkata, ‘Kita bikin janji ya, kalau di tahun 2023, 16 tahun lagi, kita sama-sama belum menikah, kita nikah.’
Aku mulai kesal. ‘Di momen kaya gini, lo mau bikin janji-janjian kaya anak SMA?’
‘Kita kan emang anak SMA.’
‘Bukan itu pointnya Fahri.’ Bentakku.
’16 tahun lagi? Kita ketemu di tempat ini?’
‘Yaa di meja yang sama.’
‘kalau kafe ini udah gak ada?’ tanyaku.
‘Yaudah sih, geser ke tempat lain, di sebelah palingan ada Alfamart. Susah amat.’
ADVERTISEMENT
‘Kalau ternyata lo udah nikah?’ tanyaku dengan hati berdebar.
‘Gue akan ceritakan seperti apa rasanya kisah hidup gue. Lo juga nanti akan menceritakan seperti apa keluarga lo nanti. Kita akan merayakan bersama jalan yang kita ambil, hasil dari pertigaan yang pada saat ini sedang kita hadapi.’ Fahri tersenyum lebar.
‘Percaya deh, perpisahan kita hari ini dan pertemuan kita nanti akan ada gunanya.’
Aku mengangguk, menahan tangis. Ketika Fahri mulai menaiki kereta, dan pergi menjauh, aku baru tahu rasanya menangis sampai tidak bisa mengenali suara sendiri.
***
Enam belas tahun sudah berlalu dengan begitu cepat seperti kedipan mata. Satu detik aku memakai baju SMA, detik berikutnya, aku memakai blazer salah satu bank ternama. Sedetik kemudian, aku berjalan memasuki stasiun Bogor di sebuah sore yang sangat cerah. Tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Di tempat ini aku sekarang duduk, di meja yang sama ketika aku dan Fahri berjanji dulu.
Tanggal yang sama, dan di jam yang sama. Kafe ini masih bertahan, hanya logonya saja yang terlihat lebih modern. Rasa kopinya masih sama, gulanya masih kurang manis. Orang-orang masih tergesa-gesa ketika menaiki kereta. Banyak yang sama, hanya aku dan Fahri yang kini berbeda, enam belas tahun kemudian, kami menjadi orang yang sangat asing.
Setelah kepergian Fahri di stasiun Bogor waktu itu, kami pun perlahan-lahan mulai menjauh. BBM sempat berbalas, tapi lama kelamaan, dengan kehidupan kami yang baru, kami perlahan mulai menghilang. Fahri sempat add Facebook milikku, berbalas pesan sebentar setiap malam berturut-turut, lalu semakin jarang, hingga Fahripun tidak online lagi.
ADVERTISEMENT
Fahri benar, kami sibuk dengan kehidupan baru. Aku sangat serius belajar di kampus.
Pikiranku sangat sederhana, jika aku malas di kampus, nilaiku jelek, maka aku tidak akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Setelah empat tahun, akupun lulus dari bangku perkuliahan.
Setelah itu aku melamar di sebuah perusahaan BUMN terkenal, aku diterima dan langsung menjadi karyawan yang dibanggakan. Inilah hasil dari kerja kerasku, dengam memberikan yang terbaik di setiap kesempatan. Buah dari keinginan tidak ingin mengecewakan diriku sendiri. Rasanya sangat manis sekali.
Aku bertemu dengan suamiku ketika ingin menyebrang jalan pada sebuah sore, sepulang dari kantor.
Hujan rintik seperti malu-malu menghiasi sore itu dengan syahdu, lalu ketika aku menutup rambut dengan tangan, ada seorang laki-laki dengan payung hitam berkata kepadaku, ‘Boleh aku payungi?’ Aku iyakan.
ADVERTISEMENT
Kami berjalan sambil berbincang dan mengenal satu sama lain. Seperti halnya cinta yang kadang-kadang datang dengan tidak sengaja, aku pun jatuh cinta tanpa persiapan. Kami jadi sering keluar, dan tidak berselang lama, dia berniat untuk melamarku. ‘Aku tidak ada niat untuk main-main dengan kamu,’ kata dia di sebuah restoran Ayam Geprek, saat itu.
Karena ini sudah mulai serius, aku pastikan dia memang orang yang baik, aku menelpon beberapa temanku yang kebetulan memang kenal dengannya, bertanya bagaimana dia orangnya. Proses memutuskan menikah aku perlakukan seperti orang mencari partner bisnis, penuh permintaan rekomendasi dari orang lain.
Aku pun menikah dengan dia di suatu hari Minggu di bulan Oktober. Pernikahan yang sederhana, tapi romantis dan penuh makna.
ADVERTISEMENT
Di sinilah aku sekarang, di tahun 2023. Aku punya suami yang baik, pekerjaan yang membuatku bahagia, dan pada akhirnya, punya dua anak yang lucu-lucu.
Fahri tidak pernah ada di pikiranku selama ini. Aku Cuma dengar gosip-gosip tentang Fahri dari teman sekolah yang sempat bertemu denganku di sebuah resepsi. Aku dengar, Fahri menetap di sebuah rumah di Bandung, di pinggiran kota. Aku juga mendengar dia sedang sibuk melukis dan menjualnya ke mancanegara.
Reunian demi reunian SMA, Fahri juga tidak pernah datang. Teman-teman semakin banyak yang tidak tahu kabar dan keberadaannya. Semakin tahun berganti, orang semakin lupa dirinya. Dia seperti hilang ditelan bumi. Hilang tanpa jejak.
Inilah kenapa aku datang di stasiun Bogor sore ini.
ADVERTISEMENT
Aku datang untuk mendengar kabar petualangan Fahri dalam hidupnya. Orang seunik Fahri pasti punya segudang cerita yang menyenangkan.
Aku datang untuk menepati janji konyol anak SMA yang tidak mengerti apa-apa tentang cinta. Tapi, sepertinya Fahri tidak bisa datang hari ini. Aku menunggu dari sore menjelang malam. Kopi yang kunikmati sudah habis tiga gelas, tapi Fahri tak kunjung datang.
Aku mulai merasa bodoh.
Mana mungkin dia masih ingat dengan janji ini?
Aku berdiri dan hendak sejenak pergi, dan disaat itu ada seorang laki-laki dengan jaket hitam masuk ke dalam. Aku mendengar dia berbicara kepada pelayan, ‘Boleh ditanyakan ke dalam, apakah ada pengunjung bernama mbak Mega?’
Si pelayan tersebut terlihat sangat bingung, aku melihat kearah dia dengan alis diangkat. Aku bertanya kepada dia, ‘Cari saya?’
ADVERTISEMENT
Pemuda itu menghampiriku. Tubuhnya kurus, kulitnya sedikit gelap, wajahnya terlihat sangat lelah. Ada kantung mata yang cukup besar untuk orang seusianya. Seolah dia perlu tenaga tambahan untuk keluar rumah hari ini. Dia lalu berkata, ‘Mbak Mega, saya temannya Fahri.’
Sekedip kemudian aku dan dia duduk berdua. Pelayan datang memberikan menu dan dia tolak dengan bilang bahwa dia tidak akan memesan apa-apa, orang ini lalu berkata kepadaku, ‘Fahri tidak bisa datang.’
‘kenapa?’
‘Karena dia sudah tidak ada. Tiga tahun lalu. Kecelakaan ketika ekspedisi.’
Aku hanya diam terpaku. Bingung bagaimana harus memproses ini semua. Aku tidak sedih, tapi ada sesuatu yang asing di dadaku, seperti kehilangan sesuatu yang tidak pernah kita miliki.
ADVERTISEMENT
Tanpa diminta, teman Fahri ini lalu bercerita tentang dirinya. Dia adalah teman Fahri di studio lukis miliknya. Dia lalu bercerita hidupnya berubah semenjak bertemu dengan Fahri. Cara pandangnya terhadap dunia, caranya menghadapi persoalan, Ardi memberikan warna yang segar kepada hidupnya yang hitam-putih. Mereka pun jadi akrab, dan bersama-sama mereka mengembangkan studio lukis tersebut. ‘Fahri orang yang istimewa,’ katanya.
‘Fahri sudah menikah?’ tanyaku.
‘Belum. Fahri tidak pernah menikah. Ada beberapa perempuan yang mampir di hidupnya, tapi tidak pernah lama pacarannya. Selalu begitu. Dia seperti tidak pernah puas dengan pasangannya. Selalu ada yang kurang.
Saya juga sempat bertanya kenapa, Fahri bilang karena dia pernah kenal sama seorang perempuan waktu SMA, dimana dia cocok dan nyaman sekali, dan gara-gara ini dia selalu membandingkan perempuan lain yang datang dalam hidupnya kepada orang itu. Saya tanya siapa namanya, dan nama yang dia sebut, nama Mbak. Mega.’
ADVERTISEMENT
Aku tersenyum tipis, ‘Dia bilang apa?’
‘Fahri cerita bagaimana kalian saling melengkapi kalimat masing-masing. Bagaimana kalian bisa ngobrol sampai diusir dari cafe tempat kalian malam mingguan. Bagaimana obrolan tentang kopi bisa berakhir kepada pertanyaan aneh seperti Timur Tengah itu sebenarnya di Timur atau di Tengah?’
Aku tertawa, ‘Iya kami pernah satu jam debat soal itu. Gak penting banget.’
Teman Fahri tersenyum.
Aku kembali bertanya, ‘Kenapa waktu itu dia tidak cari saya?’
‘Sudah,’ jawabnya. ‘Saya yang bantu dia waktu itu, cari lewat Facebook. Fahri kan gak suka main sosial media. Begitu saya kasih lihat Facebook Mbak, foto pertama yang dia lihat, adalah foto mbak Mega sama suami.’
‘Dia bilang apa?’
‘Fahri bilang, dia turut senang sama mbak Mega yang udah sukses dan berhasil dalam hidupnya.’
ADVERTISEMENT
Teman Fahri melihatku, dia lalu melanjutkan, ‘Saya sempat ke Gambir waktu itu, ke Jakarta sama Fahri. Ada urusan pekerjaan. Fahri sempat bilang, kalau waktunya tiba dia mau ketemu sama Mbak Mega lagi, karena sudah janji dari SMA. Tanggalnya, hari ini, persis sehari setelah ulang tahun pernikahan saya, Mbak. Makanya saya ingat.
Dia sempat bilang, Mbak pasti akan datang, apa pun yang terjadi. Makanya saya datang hari ini, takutnya Mbak datang dan kecewa, karena Fahri tidak ada. Saya mau ngabarin itu saja, Mbak. Paling tidak ini adalah hal paling minimal yang saya bisa lakukan untuk teman saya. Biar orang tidak berpikir bahwa dia bisa ingkar janji.’
Aku hanya memainkan jari di atas gelas, masih tidak menangis. Fahri meninggalkan memori yang mendalam di kepalaku, tapi aku tidak tahu kenapa tidak menangis.
ADVERTISEMENT
‘Saya pamit Mbak, biar mbak bisa memproses ini semua,’ kata Teman Fahri, beranjak pergi ke pintu keluar.
‘Sebentar,’ kataku. ‘Fahri pernah bilang gak, dia nyesel meninggalkan saya dulu?’
‘ Enggak, dia bilang dia gak nyesel meninggalkan Mbak. Soalnya, Mbak sekarang bahagia.’ Teman Fahri lalu tersenyum. ‘Saya pergi dulu, Mbak.’
***
Aku pulang ke rumah dengan rasa berat di dada, menyetir mobil dengan perlahan. Di jalan pulang aku melihat pertigaan demi pertigaan jalan. Di saat ini, aku tidak bisa melarang pikiranku untuk melamun jauh. Membayangkan semua kemungkinan yang hidup bisa berikan, dengan semua persimpangannya. Aku membayangkan seperti apa hidupku jika menyusul Fahri ketika lulus SMA itu?
Apa yang terjadi, jika aku tidak menyebrang jalan waktu itu, tidak bertemu suamiku, lalu Fahri melihatku masih single di Facebook. Dia mengirimkan message, berisi bahwa dia baru tahu aku orang yang tepat untuknya. Lalu, kami pada akhirnya bersama-sama. Seperti apa hidup kami? Mungkin setiap sore kami melamun berdua di teras studio lukisnya. Seperti apa wajah anak-anak kami, lebih ke siapakah wajah mereka? Apa yang akan kami lakukan hari ini?
ADVERTISEMENT
Selama ini aku merasa aku telah melakukan segalanya, mengambil jalan terbaik dalam hidup. Belajar keras untuk pekerjaan bagus. Selektif memilih laki-laki hingga punya keluarga bahagia. Tapi, hari ini, aku memikirkan: apakah ada hidup yang lebih baik menanti dengan Fahri? Hidup seperti apa, di pertigaan yang tidak aku ambil?
Lalu aku mulai berandai, apa yang akan Fahri bilang jika kami bertemu tadi, dan aku menceritakan semua tentang keraguanku atas pilihan hidupku saat ini, berpikir seandainya, seandainya, seperti biasanya. Lalu aku pasti tanya jadi apa gunanya pertemuan ini kalau cuma untuk bikin aku overthinking? Dia kan bilang waktu itu kalau pertemuan kita akan ada gunanya.
Tapi aku rasa tidak perlu bertemu Fahri untuk tahu jawabannya, karena aku kenal dia seperti apa. Aku yakin jika aku bertemu dia tadi, dan bertanya, ‘Jadi untuk apa kita ketemu lagi seperti ini?’ Dia pasti akan jawab, ‘Untuk tahu betapa manisnya sebuah penyesalan.’
ADVERTISEMENT
Di mobil, aku mengedipkan mata. Terasa air mata yang hangat jatuh setetes, lalu makin lama, makin deras, seperti keran yang dibuka terlalu kencang. Enam belas tahun kemudian, di sela pertigaan-pertigaan jalan yang aku lewati, kok bisa, dia masih mampu membuat aku menangis?
“Terima kasih”
Note: cerita ini terinspirasi oleh Raditya Dika.