Ketika Anies Baswedan Nonton 'Imperfect' dan Mengkritik Ernest Prakasa

Haris Firmansyah
Penulis buku 'Petualangan Seperempat Abad'.
Konten dari Pengguna
1 Januari 2020 15:03 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Haris Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Review Imperfect. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Review Imperfect. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Tahun 2019 keluarga Baswedan banyak menyita perhatian. Di akhir tahun, kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan mulai terkuak. Seorang polisi yang jadi tersangka diseret oleh polisi, lalu ia berkoar-koar, "Saya tidak suka Novel Baswedan karena dia pengkhianat."
ADVERTISEMENT
Eh, entah mengapa momen dramatis ala film kriminal tersebut harus berbarengan dengan megaskandal Jiwasraya yang sedang ambyar-ambyarnya.
Sementara itu, Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta menuai banyak apresiasi dan kontroversi dengan berbagai kebijakannya selama tahun 2019. Dari mulai pemberian penghargaan untuk diskotek sampai anggaran lem untuk anak sekolah.
Urusan lem Aibon ini sempat dijadikan konten di Twitter oleh Anies Baswedan, tanda beliau sudah move on dari perkara yang lengket dengan citranya itu. Seorang stand up comedian yang juga mantan jubir Anies-Sandi, yakni Pandji Pragiwaksono, mengunggah swafoto bersama lem yang jadi aib Pemprov DKI Jakarta itu, lalu mention Anies. Kemudian Anies membalasnya, "Anda mau masuk #tweetjahat ya?"
Yang dimaksud #tweetjahat adalah video yang dibuat oleh timses Anies-Sandi sewaktu kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu. Isinya, merespons ujaran kebencian dari para haters di media sosial.
ADVERTISEMENT
Perihal haters, Anies punya satu orang yang konsisten mengkritik dirinya sejak tahun lalu. Seseorang yang berprofesi sebagai komika seperti Pandji yang setia jadi pendukungnya, yaitu Ernest Prakasa. Sang penggemar berat Ahok itu berkali-kali kedapatan membuat tweet jahat untuk karya-karya Anies Baswedan.
Nah, berhubung film besutan Ernest berjudul Imperfect sedang tayang di bioskop, inilah kesempatan Anies untuk meluncurkan serangan balasan kepada komedian tersebut.
Panduannya singkat saja. Anies pergi ke bioskop untuk menonton film Ernest terbaru, lalu bikin ulasannya. Gambarannya, mungkin bisa seperti review film di bawah ini:
Sejak 2015, setiap akhir tahun, kita sebagai penonton Indonesia bakalan ditemani oleh film komedinya Ernest Prakasa. Dimulai dari film Ngenest yang diangkat dari kisah hidupnya sebagai kalangan minoritas yang penuh trauma masa kecil. Film ini membuka perspektif baru dan perlu ditonton oleh kita yang mengaku pribumi untuk lebih berempati kepada mereka yang jadi korban diskriminasi etnis.
ADVERTISEMENT
Dilanjutkan dengan Cek Toko Sebelah yang masih kental dengan budaya China. Dua film Ernest itu berlatar tempat di 'kampung komika'. Tapi, teman saya, Pandji Pragiwaksono, nggak kelihatan batang hidungnya di dua film itu. Atau jangan-jangan Mas Pandji tidak diakui sebagai komika oleh Ernest?
Di film Susah Sinyal, Ernest mulai menyingkir sebagai tokoh utama dan ceritanya berfokus pada hubungan anak dan ibu. Begitu pula di film spin-off semesta 'Ada Apa dengan Cinta?' (AADC) bertajuk Milly & Mamet. Ernest memberikan lampu sorot kepada pasutri muda dalam mengarungi konflik rumah tangga sekaligus mempertahankan passion melawan dominasi mertua.
Semakin ke sini penulisan cerita film Ernest memang makin berbobot. Ditambah sentuhan sang istri, Meira Anastasia, film terbaru Ernest berjudul 'Imperfect' (yang diadaptasi dari buku berjudul sama) menjadi penting untuk disimak. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa film ini seperti surat cinta dari para cowok untuk pasangannya yang insecure dengan tubuh sendiri.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan Rara (Jessica Mila) merasa tak aman terhadap tubuhnya yang tidak bersahabat dengan timbangan. Ditambah perlakuan keluarga dan rekan kerja yang kerap merundungnya. Puncaknya, kariernya dipertaruhkan. Rara harus mengubah tampilan fisiknya menjadi lebih menarik jika ingin dipromosikan naik jabatan. Dari situlah dimulai usaha Rara untuk make over demi upah bulanan melampaui UMK Jakarta.
Sementara itu, si Dika, pacarnya Rara yang diperankan oleh Reza Rahadian, tidak pernah mempermasalahkan persoalan fisik. Dika bisa melihat kebaikan hati di balik ketidaksempurnaan Rara. Itu sudah cukup. Reza Rahadian di film ini adalah kita--cowok-cowok--yang bersyukur punya pasangan walaupun pasangan kita selalu insecure.
Usaha Rara menuju kesempurnaan inilah yang menjadi bibit perselisihan dengan Dika. Dika yang sudah terbiasa menerima Rara yang apa adanya harus bersiap dengan perubahan preferensi Rara dalam perkara visual.
ADVERTISEMENT
Plot ceritanya menggambarkan dunia kekinian yang misoginistis. Lazim ditemukan, pemaksaan standar kecantikan yang kaku kepada setiap perempuan. Perilaku demikian membuat perempuan yang memang dari sononya sudah terlahir dengan keunikan masing-masing, justru mendapatkan penghakiman yang tidak seharusnya.
Padahal setiap kecantikan punya segmentasinya sendiri-sendiri. Tergantung selera, Kak. Yang jelas, ketidaksempurnaan tidak boleh menjadikan kita kufur nikmat, apalagi sampai minder. Sesuai dengan tagline film Imperfect: "Ubah Insekyur Menjadi Bersyukur". Walaupun sutradaranya nggak bersyukur DKI punya goodbener kayak saya. Hehehe. Bercanda, Koh. Peace!
Pandji pernah bercerita kepada saya tentang temannya sesama pelawak tunggal yang bernama Arief Didu. Mas Arief mengatakan dirinya sendiri jelek, kok bisa-bisanya ada yang mau sama dia? Mendengar pernyataan itu, kontan saja istrinya tidak terima dan tersulut emosinya, "Lo menghina selera gue?"
ADVERTISEMENT
See? Body shaming dengan orang lain itu jelas tidak baik. Nah, apalagi dengan diri sendiri. Di balik tubuh kita dengan penampilan yang tak sempurna ini, ada orang-orang yang mencintai dan menerima kita apa adanya dan ada apanya. Jika ada yang berkata buruk tentang diri kita, mereka juga ikut tersinggung.
Overall, saya cukup suka film Imperfect walaupun sutradaranya tidak suka dengan saya. Pesannya mengena di hati: pentingnya menyayangi diri sendiri.
Namun, secara komedi, saya masih lebih suka lelucon di film Ernest sebelumnya yang berjudul Single.
Apa? Itu bukan film Ernest? Itu filmnya Raditya Dika?
Terus, salahnya di mana? Wong Ernest saja pernah mengkritik saya pakai link berita zaman pemerintahan Pak Ahok, kok.
ADVERTISEMENT