Konten dari Pengguna

Bertemu Yaki, Monyet Hitam Sulawesi Berjambul 'Punk' yang Cerdas

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
2 Juli 2019 6:41 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seekor Yaki sedang bersantai di atas rumput dan dedaunan kering. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Seekor Yaki sedang bersantai di atas rumput dan dedaunan kering. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Berwajah khas, jambul ala punk dan pantat berwarna merah sedikit pink adalah sebagian dari ciri primata endemik Pulau Sulawesi bagian utara, Yaki. Monyet hitam Sulawesi yang terkenal cerdas itu punya nama ilmiah macaca nigra.
ADVERTISEMENT
Beruntung, akhir Agustus 2018, saya dapat melihatnya langsung di salah satu habitat mereka di Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih, Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara.
Sebenarnya, di kawasan ini kita juga dapat melihat Tarsius--primata terkecil di dunia dengan panjang tubuh maksimal 10 cm, bermata besar dengan kepala yang dapat berputar 180 derajat. Namun, sayang saat itu saya tidak berkesempatan menjumpainya.
Sekitar pukul 05:30 WITA, Kamis (30/08/2018), Saya sudah beranjak keluar dari penginapan, berjalan kaki memasuki kawasan hutan TWA Batu Putih. Membelah jalan setapak yang cukup lebar menuju lokasi di mana biasanya salah satu kelompok Yaki berkumpul. Demikian informasi yang saya dapat dari masyarakat sekitar.
Seekor Yaki sedang menyusui anaknya. Foto: Harley Sasthaq
Untuk menuju kawasan konservasi ini dari Kota Manado dapat ditempuh dalam waktu sekitar 90 menit menggunakan mobil. Melewati jalan yang berliku-liku, menanjak, dan di antara perbukitan dan melewati perkampungan serta kawasan hutan. Sepanjang perjalanan tidak akan membosankan, karena kita akan disuguhkan panorama alam yang cantik dan memesona. Untuk akomodasi seperti penginapan atau hotel juga sudah cukup tersedia di sekitar kawasan.
ADVERTISEMENT
Monyet hitam Sulawesi ini dapat kita jumpai pada hutan primer, sekunder, pesisir pantai, hingga dataran tinggi sampai ketinggian sekitar 2000 meter. Namun, hutan primer tetap menjadi tempat favorit mereka. Karena, selain banyaknya makanan, mereka pun merasa nyaman untuk tidur di situ.
Sebagaimana jenis primata lainnya, sebagian besar Yaki makan jenis buah-buahan, daun, biji-bijian, bunga, hingga umbi-umbian. Tidak hanya tumbuhan, jenis hewan seperti tikus hingga ular juga menjadi makanan Yaki. Termasuk beberapa jenis serangga hingga molusca. Tak heran, mereka juga suka sekali main-main ke tepi pantai.
Beberapa ekor Yaki sedang bermain-main di pinggir pantai. Foto: Harley Sastha
Kagum, takjub, dan mengesankan. Itu yang saya rasakan ketika melihat perilaku primata terbesar Sulawesi tersebut di alamnya. Puluhan Yaki nampak bergerombol mencari makanan. Mereka merupakan kelompok Yaki yang dinamai rambo dua atau kelompok dua. Menurut salah seorang pemandu yang saat itu sedang menemani tamunya dari mancanegara, rambo dua berjumlah antara 70-80 ekor. Selain kelompok dua, di sini masih ada dua kelompok Yaki lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar Yaki dari rambo dua nampak asyik dengan buah atau biji-bijian yang mereka makan. Beberapa Yaki betina berjalan sambil menggendong anaknya. Saling mencari kutu satu sama lain di tubuh masing-masing. Ada juga yang asyik bermain-main di pinggir pantai.
Seekor Yaki membuat saya tidak bisa menahan senyum melihatnya. Seperti manusia, ia tiduran bersantai sambil menyilangkan kaki di atas serasah rumput dan dedaunan kering.
Seekor Yaki terlihat asyik memakan buah. Foto: Harley Sastha
Ketika makan, Yaki suka menyimpannya pada kantong pipinya. Terkadang mereka mengunyah makanan sambil berpindah tempat. Biji-biji sisa makanannya mereka buang di sepanjang jalan yang dilaluinya. Jadi, sebagaimana jenis primata lainnya, Yaki membantu menjaga agar pohon-pohon dalam hutan terus tumbuh dan berkembang. Itulah sebabnya, keberadaan mereka sangat penting dan harus terus dijaga keberadaan dan kelestariannya.
ADVERTISEMENT
Jika melihat sekilas, kita pasti menerka kalau satwa yang menggemaskan dan eksotis ini tidak mempunyai ekor. Namun, ternyata salah. Mereka memiliki ekor yang pendek, sekitar 20 cm. Ciri-ciri lain dari primata yang juga mempunyai nama panggilan lokal 'Bolai' dan 'Dihe' itu yaitu kulitnya berwarna hitam legam dengan bulu hitam mengkilat (kecuali telapak tangan, wajah, dan pantat). Tinggi sekitar 44-60 cm. Wajah hitam dan moncongnya menonjol.
Yaki biasanya berkelompok dengan jumlah antara 25-90 ekor. Kelompoknya berdasarkan sistem matrilineal atau berdasarkan garis keturunan betina. Tak heran, betina menjadi anggota tetap dari setiap kelompok Yaki. Sedangkan sang jantan bisa berpindah kelompok.
Salah sati ciri khas Yaki dengan pantatnya yang berwarna merah dan sedikit pink. Foto: Harley Sastha
Selain cerdas, Yaki merupakan satwa yang toleran, ramah, dan permisif. Mereka tidak merasa terancam dengan keberadaan manusia. Ini disebabkan karena mereka menyukai hubungan sosial. Rasa keingintahuan yang juga tinggi. Apalagi jika melihat benda-benda yang menyala, seperti cermin, bros, atau benda-benda sejenis yang biasa dipakai wanita dan biasanya memantulkan cahaya saat terkena sinar matahari.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dialami seorang rekan saya, Mbak Hesty. Dua ekor Yaki, tiba-tiba naik dan melompat ke bagian pundak untuk melihat bros yang menempel pada kerudungnya. Kedua Yaki tersebut kemudian turun kembali dan pergi.
Cerita menarik lainnya yang membuat mereka semakin mendunia adalah tentang tingkah seekor Yaki yang kemudian diberi nama Naruto. Ia melakukan swafoto atau selfie menggunakan kamera seorang fotografer alam liar asal Inggris yang bernama David J. Slater, yang mengunjungi Sulawesi pada tahun 2011, untuk memotret primata-primata yang ada hidup di sana.
Bagaimana si Naruto ini sampai dapat melakukan selfie dan kemudian hak cipta foto tersebut menghebohkan dunia karena sampai ke pengadilan federal AS di San Francisco? Cerita lengkapnya dapat dibaca pada tulisan berikut: Heboh Hak Cipta Monyet Selfie: dari Sulawesi ke San Fransisco
Rombongan Yaki yang merupakan bagian dari anggota kelompok atau rambo dua. Foto: Harley Sastha
Selain di TWA Batu Putih, Yaki juga dapat dijumpai di TWA Batu Angus, Cagar Alam Tangkoko Batu Angus, dan Cagar Alam Gunung Dua Sudara. Semuanya berada dalam pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara.
ADVERTISEMENT
Yaki bersama Harimau Sumatera, Orangutan, dan Badak juga Tarsius, merupakan sebagian satwa-satwa eksotis asli Indonesia yang terus mengalami berbagai ancaman. Mulai dari pemburu hingga perusakan habitat asli mereka.
Sesuai UU RI No. 5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999, Yaki termasuk ke dalam salah satu satwa yang dilindungi. Karena keberadaannya yang semakin langka, mengkhawatirkan, dan terancam punah. Sedangkan, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan Yaki dalam status Critical Endagered (terancam punah).
Tidak mengherankan jika kemudian Yaki dijadikan maskot peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2018. Di mana puncak peringatannya berlangsung di TWA Batu Putih, 28-30 Agutus 2018. Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) sendiri diperingati secara nasional sejak ditetapkan oleh SBY--Presiden RI saat itu--tahun 2009, pada 10 Agustus setiap tahunnya. Hal ini sebagai upaya untuk memasyarakatkan konservasi secara nasional sebagai sikap hidup dan budaya bangsa.
ADVERTISEMENT
Dijadikannya Yaki sebagai maskot HKAN 2018, merupakan simbol betapa pentingnya perlindungan primata endemik Pulau Sulawesi bagian utara tersebut. Ayo, kita bersama kita jaga keberadaannya dengan cara mengenali dan mencintainya dengan cara yang baik dan benar.
Jadi bagaimana, mau kenalan dengan Yaki, si monyet hitam Sulawesi yang menggemaskan ini? Langsung saja kunjungi 'rumah' mereka di taman wisata alam yang ada di Sulawesi Utara.