Konten dari Pengguna

Bo’ Dompu: Sepenggal Bukti Baru Kedahsyatan Letusan Gunung Tambora

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
19 April 2022 18:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi letusan Gunung Tambora. Foto: Tangkapan layar Film Majestic Tambora.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi letusan Gunung Tambora. Foto: Tangkapan layar Film Majestic Tambora.
ADVERTISEMENT
Pada 10 April 2022, dunia memperingati 207 ledakan hebat Gunung Tambora. Erupsi gunung api terbesar dalam 500 tahun terakhir dan sejarah manusia. Hingga saat ini, para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dan sejarawan terus mencari dan menggali bukti-bukti peristiwa mengerikan lebih dari dua abad silam yang telah mengubah peradaban dunia.
ADVERTISEMENT
Journal dua mingguan berbahasa Inggris – Java Governmen Gazette – sumber tertulis pertama kali memuat peristiwa letusan dahsyat Gunung Tambora, pada April 1815. Kemudian, ada The Asiatic Journal and Monthly Register for British India and Its Dependencies, Vol. 1 (Januari – Juni 1816), dan catatan kaki Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817; hal. 29-33). Bukti-bukti dan sumber-sumber tertulis tersebut, baru sebagian saja yang pada waktu itu dapat menyebarkan informasi ke seluruh dunia tentang letusan hebat Gunung Tambora.
Seorang pendaki saat berada di puncak tertinggi kaldera Gunung Tambora. Foto; Harley Sastha
Bagaimana kengerian dan sebesar apa dahsyatnya erupsi Gunung Tambora, tentu bukti tertulis beberapa kerajaan di Pulau Sumbawa dan lingkar Tambora menjadi sangat penting. Karena, dari catatan tersebutlah, dapat tergambarkan dan terekam suasana saat itu.
ADVERTISEMENT
Namun, sayangnya, dua kerajaan di lingkar Tambora: Kerajaan Tambora dan Kerajaan (Pa)Pekat, hilang tergulung amuk Tambora. Peradaban kedua kerajaan pun ikut musnah. Sedangkan, Kerajaan Sanggar, walaupun masih menyisakan keturunannya, juga tidak atau belum dapat menunjukkan bukti tertulis mengenai peristiwa letusan Gunung Tambora. Walapun, Raja Sanggar saat itu menjadi salah satu saksi mata mengerikannya letusan yang terjadi saat itu. Sebagaimana tertulis dalam catatan kaki buku The History of Java.
Kronik Kerajaan Bima – Bo’ Sangaji Kai – selama ini menjadi sumber penting yang menggambarkan suasana saat Gunung Tambora menggegar dahsyat pada April 1815. Buku berisi Catatan Kerajaan Bima pada masa 1727, 1760-1784 dan 1816, salah satunya memuat peristwa besar tersebut.
Naskah Bo’ Sangaji Kai dialih bahasa ke dalam bahasa Indonesia dan disusun oleh Sisi Maryam – keturunan atau putri dari Sultan Bima terakhir, Muhammada Salahuddin – bersama dengan ahli filologi dari Prancis, Henry Chambert-Loir.
ADVERTISEMENT
“Hijratul al-Nabi Salla – alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal.
Pada hari selasa waktu subuh tahun 1815, ketika itu turun takdir dari Allah atas hambanya di tanah bima.
Tiba-tiba gelap melebihi malam dan muncul bunyi seperti bunyi meriam yang sedang berperang dan turun hujan batu kerikil dan hujan abu seperti dituang selama tiga hari dan dua malam. Semua masyarakat Bima heran melihat karunia Allah, segala puji bagi Allah Tuhan yang menciptakan semesta alam, Allah maha kuasa berbuat apa yang di kehendaki-Nya.
Setelah terang banyak rumah dan tanaman rusak semua. Itulah kejadian pecah Gunung Tambora, mengakibatkan musnah, hilang dan mati orang-orang Tambora dan Pekat. Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad” (Bo’ Sangaji Kai, hal. 87)
ADVERTISEMENT
Dewi Ratna Muchlisa, saat menunjukkan salah satu naskah kuno Kerajaan Bima. Foto: Dany Prabowo.
Pada Desember 2021, saya bertemu dengan Dewi Ratna Muchlisa – keponakan Siti Maryam – di Museum Kebudayaan Samparadja Bima, Ia mengatakan, selain dalam Bo' Sangajai Kai, dalam naskah Kerajaan Dompu: Bo’ Dompu, juga memuat peristiwa letusan Gunung Tambora.
“Jadi, Bo’ Dompu ini merupakan naskah khusus Kerajaan Dompu. Ternyata di dalamnya juga ada catatan tentang letusan Gunung Tambora. Tetapi, memang tidak digambarkan secara detail seperti Bo’ Sangaji Kai di Bima. Dijelaskan, habis mati tanaman dan hewan,” kata Dewi.
Menurut Dewi, walaupun tidak detail, namun, gambaran suasana saat letusan terjadi mirip dengan apa yang tertulis di Bo’ Sangaji Kai.
“Tahun 1815 Allah menurunkan bala di tanah Tambora, membakar sehingga menjadi abu dan jatuh diseluruh tanah dompu dan tanah bima dan tanah sumbawa sehingga rusak (mati) semua hewan di tanah dompu, tanah bima dan tanah sumbawa.
ADVERTISEMENT
Innalilahi wainalilahirojiun ditulis di tanah Dompu, rumah Sripaduka Sultan yang bertahkta di Kerajaan Dompu. Semoga Allah melindunginya dari bencana di dunia dan di akhirat. Amin beribu kali” (Bo’ Dompu).
Copy-an Kronik Naskah Kuni Kerajaan Dompu: Bo' Dompu. Foto: Tangkapan Layar Fim Majestic Tambora.
Pertanyaannya, masih adakah naskah-naskah kuno lainnya dari kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Gunung Tambora yang belum ditemukan? Sehingga semakin memperjelas dan memperkuat gambaran peristiwa erupsi dahsyat Gunung Tambora, yang letusan paripurnanya terjadi pada 10 April 1815.
Dikisahkan, pada 1812, sebenarnya sudah ada tanda-tanda Gunung Tambora aktif kembali setelah berabad-abad lamanya tidur. Namun, masih belum ada yang menyangka kalau gunung api yang saat itu berdiri menjulang setinggi 4.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) di Semanjung Sanggar, Pulau Sumbawa, akan meledakkan tubuhnya secara dahsyat, tiga tahun kemudian.
ADVERTISEMENT
Pada 5 April 1815, letusan awal Gunung Tambora pun sudah dimulai. Dan puncak letusan terjadi pada 10-12 April 1815 dengan kekuatan 7 dari 8 VEI. Tanah Sumbawa pun terguncang hebat, seolah kiamat telah terjadi. Sebagaimana tersirat dalam naskah kuno, kronik Bo’ Sangaji Kai dan Bo’ Dompu.
Menara pandang dengan latar belakang salah satu Cinder Cone di jalur pendakian Piong, Taman Nasional Tambora. Foto: Tangkapan layar Film Majestic Tambora.
Sepertiga tinggi gunung pun terpancung menjadi 2.851 mdpl dan meninggalkan bentukan kaldera raksasa dengan diameter lebih dari 7 km dan kedalaman lebih dari 1,2 km dari puncak tertingginya – kaldera gunung api aktif terdalam di dunia.
Dampak letusan bukan hanya di Indonesia, Asia dan Pasifik. Tetapi, hingga menembus batas benua lainnya. Termasuk Eropa dan Amerika bagian Utara. Suhu bumi turun dan hingga terjadi anomali iklim. Musim dingin berkepanjangan, hujan yang turun terus menerus dan nyaris tidak ada musim panas. Kegagalan panen dan bencana kelaparan pun terjadi. Banyak kejadian di dunia yang kemudian terus mengiringinya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya peristiwa letusan Gunung Tambora telah mengubah peradaban dan menginspirasi lahirnya berbagai ilmu pengetahuan, sosial, seni dan budaya di dunia.
Dua orang pendaki sedang berjalan di gigiran kaldera Tambora menuju puncak tertingginya di 2.851 mdpl. Foto: Balai TN Tambora