Ketika Gajah Sumatera Tak Berdaya Terkena Jerat Pemburu

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2019 11:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tim rescue bersama gajah liar yang berhasil diselamatkan dari jerat dan diberikan pengobatan sebelum kemudian dirilis kembali. Foto: BKSDA Aceh/Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Tim rescue bersama gajah liar yang berhasil diselamatkan dari jerat dan diberikan pengobatan sebelum kemudian dirilis kembali. Foto: BKSDA Aceh/Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rasanya sulit membayangkan jika satwa cerdas mamalia terbesar di Indonesia, si Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) tertahan langkah kakinya, berjalan tertatih-tatih, tidak berdaya karena terkena jerat jenis nilon. Salah satu jerat paling mematikan selain jerat sling baja. Terlebih harus menahan perih dan nyeri selama sebulan akibat kulit dan dagingnya yang robek terluka terkena jerat tersebut.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, Gajah liar berjenis kelamin jantan usia 6 tahun dengan berat 800 kilogram tersebut berhari-hari berjalan tertatih, dengan kaki luka terbuka dan jerat nilon masih melingkar tertanam dalam kakinya.
Sepertinya, baru 10 hari yang lalu, saya menulis mengenai jerat yang sangat mengancam ini. Bukan hanya satwa, tetapi juga ancaman bagi manusia itu sendiri. Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk: “Darurat Jerat: Jerat Sebagai Salah Satu Ancaman Utama Konservasi Harimau Sumatera”.
Sekitar pukul 22.30 WIB, Jumat malam (9/8), saya mendapatkan informasi dari Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno, bahwa ada seekor Gajah Sumatera yang terkena jerat satwa jenis nilon.
Saya masih ingat, ketika Wiratno dengan tegas mengatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Kementrian LHK) dengan ini KSDAE menyatakan perang terhadap jerat dalam diskusi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Saya instruksikan kepada setiap unit pelaksana teknis (UPT) pengelola kawasan konservasi agar semakin intensif lagi untuk melakukan pengamanan dan membersihkan jerat. Membangun kesadaran dan sekaligus bekerja sama dengan masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah daerah setempat untuk bersama-sama mewujudkan kawasan konservasi dengan fungsi dan ekologi yang baik,” kata Wiratno beberapa waktu lalu.
Wiratno, Dirjen KSDAE saat sedang menceritakan tentang bahayanya jerat, beberapa waktu yang lalu. Foto: KSDAE Kementerian LHK
Walaupun bertubuh besar dan tambun, serta mempunyai tenaga yang kuat dan cerdas, bukan berarti Gajah Sumatera bebas dari ancaman perburuan.
Sebagai salah satu satwa yang paling cerdas di dunia, tidak serta-merta ia dapat mengenali jerat yang membahayakan dirinya. Jadi, selain transformasi habitat atau pembukaan lahan menjadi perkebunan, jerat juga menjadi ancaman yang sangat serius bagi Gajah Sumatera. Perburuan gajah untuk diambil gadingnya juga masih menjadi salah satu faktor ancamannya.
ADVERTISEMENT
Ada satu pertanyaan yang menggelitik saya atau mungkin kalian juga. Apa jadinya hutan Sumatera tanpa kehadiran Gajah Sumatera? Gajah Sumatera sendiri termasuk salah satu dari perwakilan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang penting dari pulau Sumatera.
Gajah Sumatera bersama-sama Orang Utan Sumatera, Badak Sumatera, dan Harimau Sumatera berfungsi penting secara ekologi dan ekosistem. Keempatnya merupakan satwa kunci. Taman Nasional Gunung Leuser, menjadi satu-satunya kawasan konservasi yang menjadi rumah empat satwa kunci tersebut secara bersama-sama.
Diceritakan, mengenai gajah liar terluka yang terkena jerat tersebut, pertama kali dilaporkan oleh Kepala Desa (Reje) Reusip, Busairi, kepada BKSDA Aceh, sekitar pukul 17.00 WIB, Kamis (8/8). Setelah informasi tersebut dinyatakan valid, kemudian tim gabungan yang terdiri dari BKSDA Aceh dan Tim Dokter Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) FKH Universitas Syiah Kuala, malam itu juga langsung berangkat menuju lokasi yang jaraknya sekitar 9 jam.
Kaki gajah yang luka akibat jerat ditutup perban setelah dilakukan pembersihan dan pemberian antibiotik oleh dokter hewan dari tim rescue. Foto: BKSA Aceh
“Setelah mendapat kabar langsung dari Busairi, saya langsung perintahkan resort terdekat untuk melakukan pengecekan informasi tersebut. Setelah dinyatakan A1, malam (8/8) itu juga tim dokter BKSDA Aceh dengan bantuan Tim dokter PKSL FKH Unsyiah menuju lokasi. Dari desa terdekat tim berjalan kaki sekitar 30 menit untuk tiba di lokasi,” kata Sapto Ajo Prabowo, Kepala BKSDA Aceh, saat dihubungi melalui sambungan telpon.
ADVERTISEMENT
Diceritakan juga oleh pak Sapto, tim tiba dilokasi Kamis pagi (9/8). Mereka pun segera menanganinya gajah liar tersebut dan berhasil melakukan pembiusan untuk selanjutnya dilakukan pengobatan sekitar pukul 10.00 WIB. Gajah liar tersebut ketika ditemukan menurut salah seorang dokter yang menangani saat itu jalannya tertatih-tatih, karena jerat nilon masih berada dalam kakinya.
“Kondisi kakinya sudah parah, kemudian kami lakukan anestesi atau pembiusan. Lalu cek luka pada kakinya. Jerat sudah cukup dalam masuk ke dalam kulit dan dagingnya. Setelah kami lepaskan jerat tersebut, luka kemudian dibersihkan dan kami beri antibiotik sebelum ditutup lukanya dengan perban. Alhamdulillah, gajah liar tersebut berhasil kami selamatkan dan lepas liarkan kembali. Ini semua berkat kerja sama tim,” kata dokter Ridwan lewat sambungan telepon.
ADVERTISEMENT
Jadi, berdasarkan lukanya, gajah diperkirakan telah satu bulan lamanya terkena jerat nilon. Tim juga menceritakan kondisi gajah cukup baik dan masih cukup dekat dengan kelompoknya.
Setelah pengobatan dinyatakan selesai, gajah langsung rilis kembali. Kemudian, gajah liar tersebut akan terus dipantau terus kondisinya oleh tim dengan bantuan masyarakat. Alhamdulillah, satu ekor gajah liar pun berhasil terselamatkan.
Infografis: Ditjen KSDAE
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, Wiratno juga menegaskan, selain penegakan hukum tegas terhadap pelaku dan termasuk dalang-dalang di belakangnya, ada upaya lain yang juga telah dilakukan, yaitu melalui SMART RBM (Spartial Monitoring and Reporting Tools Resort Bases Management).
Setidaknya melalui metode tersebut, dalam kurun waktu 7 tahun (2012-2019), telah berhasil diamankan tidak kurang dari 3.285 jerat dengan berbagai jenis dan ukuran.
Infografis: Ditjen KSDAE
Jerat Laknat Tersebut Juga Mengenai Beruang Madu
ADVERTISEMENT
Pada saat tim sedang menangani dan melakukan pengobatan terhadap gajah liar yang terkena jerat, di tempat lain, menurut Sapto Aji Prabowo, ada seekor Beruang Madu (Herlarctos malayanus) yang juga sedang di-rescue dan dilakukan pengobatan akibat terkena jerat di area timur Aceh, Jumat (9/8). Tim rescue gabungan yang terdiri dari tim BKSDA Aceh, Forum Konservasi Leuser beserta personel dari Wildlife Conservation Society (WCS), dan Babinsa langsung terjun ke lapangan, menuju lokasi di mana Beruang Madu tersebut berada.
Beruang Madu yang berhasil diselamatkan dari jerat dan diberikan pengobatan oleh tim rescue. Foto: BKSDA Aceh
Diceritakan Beruang Madu berusia dua tahun tersebut ditemukan terkena jerat di kebun karet salah seorang warga Dusun Bukit Panjang, Desa Panton Rayeuk, Kecamatan Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Saat ditemukan masih dalam keadaan tergantung dan berontak berusaha melepaskan dirinya dari jerat tersebut.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah, kondisi lukanya saat itu masih belum cukup parah. Sehingga setelah dilakukan pengobatan, Beruang Madu tersebut dapat segera dirilis kembali, karena induknya juga masih menunggunya saat ditemukan.
Inilah jerat yang telah mengenai Beruang Madu yang kemudian berhasil dilepaskan dan diselamatkan oleh tim rescue. Foto: BKSDA Aceh
“Saya berharap masyarakat atau siapa pun, tidak lagi memasang jerat dengan alasan untuk apa pun. Karena itu sangat membahayakan satwa-satwa kita. Termasuk satwa kunci. Karena jerat tersebut dapat mengenai siapa pun, termasuk manusia,” tambah Sapto Aji Prabowo.
Mendengar cerita Sapto Aji Wibowo, benar-benar mengerikan masalah jerat satwa ini. Setidaknya, dalam waktu dua bulan belakangan ini, sudah ada tujuh kasus yang diketahui terjadi di Aceh: 3 jerat mengenai Beruang Madu dan 4 lainnya menjerat Gajah.
ADVERTISEMENT
Cerita gajah liar dan beruang madu yang terkena jerat ini, semakin membuat miris. Informasi ini masuk di saat kita semua sedang memperingati Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN), yang jatuh persis pada tanggal 10 Agustus setiap tahunnya.
Ini semakin menjadi cambuk, bahwa kerja-kerja konservasi, menjaga kelestarian alam, hutan, dan lainnya, termasuk berbagai satwa yang hidup di dalamnya adalah tugas bersama. Seluruh masyarakat dari semua golongan dan kalangan. Kerja yang tidak mudah memang, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Sebagaimana apa yang dikatakan Wiratno, bahwa hanya mereka orang-orang yang berhati mulia dan bekerja dengan penuh semangat yang mau menyelamatkan satwa-satwa liar seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Badak Sumatera, dan lainnya.
“Saya mengimbau semua unsur masyarakat bahu-membahu membantu tim KSDAE saling mengingatkan untuk tidak pasang jerat,” pesan Wiratno yang dikirim melalui WhatsApp.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Direktur KKH, Indra Exploitasia, mengatakan semakin prihatin melihat hal ini. Menurutnya, banyak alasan pelaku membuat jerat. Ada yang mengatakan untuk jerat hama (babi hutan), ada yang memang pemburu asli, dan lain sebagainya.
“Namun, apa pun alasannya, tetap perlu ada tindakan untuk memberikan efek jera. Tidak hanya berdampak pada satwa. Jerat juga bisa terkena manusia. Karenanya, Kementrian KLHK (KSDAE dan Gakkum) telah dan terus berupaya untuk atasi ini. Operasi jerat salah satunya, Banyak juga yang sudah dijatuhi hukuman. Saya mengajak masyarakat termasuk generasi milenial agar ikut terlibat dalam upaya konservasi ini, bahwa pasang jerat adalah hal tidak keren,” kata Indra melalui pesan WhatsApp.
Sebagian jerat yang berhasil dikumpulkan oleh KLHK dipamerkan beberapa waktu di Jakarta. Foto: Kementerian LHK