Kisah Ledakan Besar 4 Gunung Api Indonesia Pengubah Peradaban Dunia (Bagian 2)

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
7 Juni 2021 17:13 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kaldera Tambora dari tubir puncak jalur pendakian Piong. Foto: Balai TN Tambora
zoom-in-whitePerbesar
Kaldera Tambora dari tubir puncak jalur pendakian Piong. Foto: Balai TN Tambora
ADVERTISEMENT
Setelah sebelumnya sobat kumparan sudah membaca kisah Toba yang ledakannya pada 74.000 tahun yang lalu menyebabkan 90 persen populasi manusia musnah dan Samalas yang nyaris melumpuhkan kehidupan dunia, berikutnya ada Tambora dan Krakatau yang membuat dunia juga dilanda kekacauan iklim dunia dan memengaruhi kehidupan umat manusia.
ADVERTISEMENT

Tambora

Berdiri di Jazirah Sanggar, Pulau Sumbawa, gunung api di Indonesia berikutnya yang ledakannya pada 10-12 April 1815, menjadi penyebab penyimpangan iklim dunia, adalah Tambora. Diameter kaldera yang mencapai lebih dari 7 Km dan dengan kedalaman 1,2 Km, menjadikannya sebagai kaldera gunung api terdalam di dunia.
Dari catatan beberapa sumber informasi, tidak seperti terlihat seperti sekarang ini, sebelumnya, Bumi Sumbawa digambarkan sangat kaya dan gemah ripah dengan tanah yang ditutupi oleh hutan lebat.
Dua orang pendaki sedang berjalan di gigiran kaldera Tambora menuju puncak tertingginya di 2.851 mdpl. Foto: Balai TN Tambora.
Dengan titik tertingginya yang kini mencapai 2.851 mdpl, tidak ada yang akan menyangka, kalau sang bomber dari bumi Sumbawa ini, dulu pernah berdiri anggun dan gagah dengan setinggi 4.300 mdpl. Melihat dari mata elang atau udara, lanskap Tambora terlihat begitu mengagumkan dengan lingkaran cawan kaldera raksasanya yang nyaris sempurna.
ADVERTISEMENT
Adalah pada waktu tengah malam; meletuslah bunyi seperti meriam; habislah terkejut sekalian alam; serasa dunia bagaikan karam.
Waktu subuh fajar pun merekah; ditutunkan Allah bala celaka; sekalian orang habislah duka; bertangis-tangisan segala mereka.
Bunyi bahananya sangat berjabuh; ditempuh air timba habu; berteriak memanggil anak dan ibu; disangkanya dunia menjadi kelabu.
Ilustrasi Erupsi Gunung Tambora, 10-12 April 1815. Sumber: Youtube 3dstudiomark
Begitulah beberapa keping syair Kesultanan Bima yang ditulis Khatib Lukman, 1830, dipublikasikan oleh Chambert-Loit, Orientalis Prancis, 1932, yang menggambarkan betapa dahsyat dan mengerikannya saat Gunung Tambora meletus hebat 10-15 April 1815. Seolah kiamat telah terjadi saat itu.
Ledakan Tambora dengan kekuatannya mencapai 7 skala VEI, mengeluarkan hingga 60 megaton Sulfur. Sebagaimana dengan Toba dan Samalas, inilah yang kemudian menjadi penyebab suhu bumi menurun dan menimbulkan musim dingin. Pada 1816 terjadi yang namanya tahun tanpa musim panas year without summer di belahan bumi bagian utara.
ADVERTISEMENT
Ledakannya, menggulung peradaban tiga kerajaan sekaligus: (pa) Pekat, Sanggar, dan Tambora. Hanya Sanggar yang tidak benar-benar musnah. Beberapa penduduknya selamat, termasuk Sultan Sanggar.
Sekitar 92 ribu jiwa melayang. Ini belum termasuk kematian yang melanda Eropa, Amerika, hingga Asia yang juga ikut merasakan efek dari gelegar sang bomber Tambora.
Lukisan berjudul Chicester Canal karya Mallord William Turner yang menceritakan dan menggambarkan suasana langit senja dengan warnanya yang epic di Chicester Canal, Sussex dampak dari letusan Gunung Tambora, April 1815. Sumber: www.tate.org.uk/art/artworks/turner-chicester-canal-n00560
Setahun pascaletusan, yaitu 1816, iklim dunia berubah drastis. Pada belahan bumi bagian utara, musim panas menjadi dingin membekukan. Akibatnya, timbul bencana kelaparan yang keluar. Bahkan dalam catatan sejarah lain, diceritakan kondisi darurat iklim akibat letusan Tambora hingga tiga tahun ke depan, 1815-1818. Dalam bukunya 'Tambora, Letusan Raksasa dari Indonesia', Gillen D’Arcy mengatakan selama tiga tahun sesudah letusan hampir di mana pun di dunia ini hidup berarti lapar.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu sebelumnya, Awang pernah bercerita, garis salju yang semula ada di kawasan Alaska bergerak masuk ke New York pada 1816. Wilayah Amerika pun menjadi dingin yang tidak seperti biasanya. Efeknya, panen pun gagal, terjadi kelaparan, harga gandum naik–sebagaimana juga terjadi pada ledakan Samalas 1257.
Perubahan angin muson melanda India, Bangladesh, dan Pakistan. Menyebabkan banjir bah terjadi pada musim kemarau. Perubahan alam akibat dari efek dari ledakan Tambora terus meluas. Penyakit mematikan–wabah kolera–menyebar dari India hingga Rusia.
Ilustrasi lukisan karya William Sadler yang menceritakan tentang pertempuran yang terjadi di Waterloo. Sumber: Wikipedia.
Tidak sampai di situ, epidemi tifus dan dan pes merajalela di Eropa Tenggara dan wilayah Mediterania, setidaknya, merenggut hingga 10 ribu jiwa. Tidak heran, jika sejarawan menyebutkan, ledakan Tambora telah menyebabkan krisis terakhir dan terbesar di dunia barat.
ADVERTISEMENT
Di Italia dan Hungaria, akibat tercemar abu vulkanik Tambora yang menembus lapisan stratosfer, lalu berkelana ke seluruh dunia, salju yang turun berwarna coklat dan kemerahan. Sedangkan, di New England, tahun 1816, dikenal dengan sebutan ‘eighteen hundred and froze to the death’.
Tidak terkecuali China yang juga merasakan dampaknya. Hujan yang turun terus menerus, membuat sungai-sungai dan membanjiri kota. Bahkan air bah terjadi di sungai Yang Tze. Kegagalan panen dan kelaparan yang melanda, menewaskan hingga ribuan jiwa warganya. Kemudian, terjadi tren mengubah tanaman pangan menjadi Opium.
Seorang Napoleon Bonaparte dan bala tentaranya kalah perang dengan Inggris di Waterloo, Belgia. Pasalnya, karena cuaca yang Di dunia barat, ledakan Tambora 1815 disebut menjadi penyebab krisis terakhir dan terbesar. Sedangkan ledakan Krakatau 1883 didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. #userstorysangat buruk pada Juni 1815, di mana hujan turun terus menerus sehingga wilayah tersebut penuh dengan ku bangan lumpur. Juga kegagalan panen dan bencana kelaparan di Eropa yang terjadi saat itu. Pasukannya yang sedang dalam perjalanan pun terjebak. Napoleon pun tertangkap. Kemudian dibuang oleh tentara Inggris ke Saint Helena hingga akhir hayatnya pada 1821.
Frakeinstein. Sumber Pixabay
Cuaca buruk yang terjadi pada 1816 di Jenewa, Swiss, membuat Mary Godwin yang sedang berlibur, terjebak bersama kekasihnya Percy Sheley dan penyair terkenal Lord Byron, di vila Diadoti di pinggir Danau Jenewa, Swiss. Bencana kelaparan saat itu juga melanda Swiss.
ADVERTISEMENT
Terinspirasi dari apa yang dirasakan dan dilihatnya, lahirlah dari tangan dinginnya, novel epic terkenal ‘Frankeinstein’. Menggambarkan sosok makhluk seperti manusia yang bungkuk dengan leher membesar dan muka rusak menyeramkan. Imajinasi itu muncul ketika melihat anak-anak desa yang akibat kelaparan kekurangan gizi hingga tubuh mereka jadi terlihat memburuk.
Tidak hanya itu, gagal panen yang berkepanjangan pada 1816 dan harga gandum yang sangat tinggi, hingga membuat orang kesulitan memelihara kuda sebagai alat transportasi. Lalu, melalui daya kreasinya, ilmuwan Jerman, Karls Freiherr von Drais, berhasil mengembangkan konstruksi alat transportasi ‘Laufmaschine’ atau mesin yang dapat berjalan–bentuknya mirip seperti sepeda yang dikenal saat ini.
Penggalian arkeologi yang dimulai pada 2004 oleh prof Haroldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, bersama Direktorat Vulkanologi, berhasil menyingkap tabir sisa kebudayaan yang terkubur akibat ledakan Tambora 1815: tinggalan artefak, kerangka manusia, kotak tembakau dari tembaga, tombak, cincin dan kalung berpendulum. Disusul pada 2009, ditemukan kerangka rumah yang sudah terkarbonasi.
Salah satu bagian dalam dinding di dasar kaldera Tambora yang masing mengeluarkan asap gas solfatara, sebagai salah satu bukti Gunung Tambora yang masih aktif hingga kini. Foto. Tim Jelajah Tambora 2015
Haroldur pun menyebut lokasi temuan ini sebagai ‘Pompeii dari Timur’. Mengacu pada situs kota Romawi kuno, Pompeii, dekat Naopoli, Italia, yang terkubur oleh ledakan gunung Vesuvius pada 79 M.
ADVERTISEMENT

Krakatau

ADVERTISEMENT
Hampir 70 tahun setelah letusan besar Gunung Tambora, dunia kembali dikejutkan oleh letusan gunung api di Nusantara. Waktu itu, Senin, 27 Agustus 1883, gunung Krakatau di Selat Sunda meledak hebat dengan kekuatan 6 VEI. Memicu tsunami setinggi sekitar 30-40 meter.
Diceritakan sebuah kapal yang jaraknya sekitar 80 km dari pusat gunung terhempas akibat terkena angin letusan. Semua yang ada di Selat Sunda dan sekitarnya porak poranda. Dalam catatan sejarah, inilah letusan terbesar di penghujung abad 19 yang telah menelan korban jiwa lebih dari 36.000.
Krakatoa Volcano Eruption of 1883. Sumber: www.thoughtco.com
Ledakan dahsyat Krakatau telah menghancurkan tubuhnya sebanyak 18 Km3. Suara dentumannya terdengar hingga ke Sri Lanka dan Karaci. Ke timur hingga ke Perth dan Sydney. Abu letusan menyembur ke udara hingga setinggi 70-80 km. Kemudian menyebar ke hampir seluruh dunia. Benda-benda keras berhamburan ke udara dan jatuh di daratan pulau Jawa dan Sumatera serta Sri Lanka, India, Pakistan, Australia, dan Selandia Baru.
ADVERTISEMENT
Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris, Suara letusan Gunung Krakatau terdengar hingga 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.
Kuatnya ledakan Krakatau juga memengaruhi iklim dunia. Hampir sebagian langit dunia gelap gulita. Suhu permukaan bumi pun turun 1,2 derajat Celcius.
Gambar dari udara kondisi Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
Akibat debu vulkanik yang terlempar ke atmosfer hingga memengaruhi iklim dunia, orang-orang di Inggris dan Amerika merasa aneh karena melihat matahari terbenam berwarna merah.
Meledaknya Krakatau tahun 1883 menjadi penting karena saat itu telegraf telah ditemukan. Peristiwa ini menjadi berita kolosal pertama yang dapat dideskripsikan secara rinci ke dunia melalui kabel telegraf bawah laut. Dengan cepat, pembaca berita di Eropa dan Amerika Utara dapat mengikuti laporan saat terjadinya bencana.
ADVERTISEMENT
Sebelum 27 Agustus 1883, Krakatau mempunyai ketinggian sekitar 800 mdpl. Krakatau merupakan sisa letusan gunung berapi tua yang pernah meletus pada tahun 416 masehi.
Menurut Awang, Krakatau saat itu terbentuk dari gabungan tiga gunung berapi yang muncul dari sisa ledakan Krakatau purba, yaitu gunung Danau, gunung Rakata, dan gunung Parbuatan. Setelah 200 tahun tertidur, 20 Mei 1883, Krakatau menunjukkan aktivitas seismiknya yang menandakan bahwa sang raksasa di Selat Sunda tersebut bangun kembali
Anak Gunung Krakatau, 4 Mei 2019. Terbentuknya danau kawah, hasil longsoran samping dan letusan 28 Desember 2018. Foto: Deni Sugandi
Suara ledakan eksplosif awal Krakatau terdengar hingga 16 km jauhnya. Semburan abu terlihat naik hingga 11 km di atas puncak gunung. Pada 11 Agustus 1883, tiga ventilasi aliran magma secara aktif meledak.
Pada 26 Agustus 1883, ledakan-ledakan semakin sering terjadi dengan rentang waktu rata-rata setiap 10 menit. Seorang pelaut yang berada sekitar 120 km dari pusat letusan, melaporkan bahwa asap awan hitam naik dari atas gunung.
ADVERTISEMENT
Kemudian, 27 Agustus 1883, terjadilah empat letusan besar yang berasal dari gunung. Menghancurkan dua pertiga dari Pulau Krakatau. Memicu tsunami dengan kekuatan yang besar. Tidak hanya Pulau Krakatau yang hancur, pulau-pulau kecil lainnya pun terdampak. Sejak saat itu, peta Selat Sunda berubah.
Majalah Atlantic Monthly terbitan tahun 1884, melaporkan bahwa beberapa kapten laut telah melihat matahari terbit yang hijau. Berbulan-bulan setelah letusan, matahari terbenam di seluruh dunia berubah merah. Peristiwa tersebut berlangsung selama hampir tiga tahun. Pola cuaca terus menjadi kacau selama bertahun-tahun, setidaknya itu berlangsung hingga tahun 1888. Krakatau sendiri kini menyandang status sebagai Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Kepulauan Krakatau
ituasi Gunung Anak Krakatau, Minggu 13 Januari 2019. (Foto: BNPB)
Bagaimanasobat kumparan, kisah ledakan Tambora 1815 dan Krakatau 1883, tidak kalah wow-nya dengan cerita ledakan Toba 74.000 tahun yang lalu dan Samalas pada 1257, kan?
ADVERTISEMENT
Di balik kedahsyatan ledakan besar mereka, layak banget sih kalau kita harus bangga. Karena gunung-gunung api di Nusantara telah menjadi catatan penting sejarah peradaban dunia. Tidak salah jika kiranya kelak Indonesia benar-benar dapat dijadikan laboratorium gunung api dunia.