Konten dari Pengguna

Mengintip Jejak Situs Purbakala Hindu Tertinggi di Pulau Jawa di Gunung Argopuro

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
8 Juni 2021 23:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Danau Taman Idup tampak semakin misterius, terlihat dari atas jalur pendakian puncak Arca. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Danau Taman Idup tampak semakin misterius, terlihat dari atas jalur pendakian puncak Arca. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Diteras Argapoera yang berundak-undak rendah, tampak berjajar tumpukan batu dan sebuah goa. Pada puncak Argapoera itu terdapat dinding berbentuk persegi empat. Dimana sebagiannya menutupi ruang bagian interior atau dalamnya. Di dalamnya ada pot atau guci berglasir kebiruan, dengan tinggi sekitar 50 cm dan lebar 25 cm. Menurut legenda dan cerita, guci berasal dari Cina, yang pernah terlibat perang pada masa lalu.
ADVERTISEMENT
Demikian tulis Heinrich Zollinger – seorang peneliti dan ahli botani berkebangsaan Swiss – yang bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, saat melakukan tugas lawatannya ke Dataran Tinggi Hyang-Argapoera, pada 1846.
Membaca hal tersebut, saya pun kembali mengingat perjalanan saat mendaki gunung yang dikenal mempunyai jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa - sekitar 60 Km, bersama beberapa kelompok teman yang berlainan di waktu yang berbeda.
Terakhir saya melakukan lawatan ke kawasan Suaka Margasatwa (SM) Dataran Tinggi Hyang - di bawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, pada awal Mei, 2011. Seperti biasa, saya mendaki melalui jalur pendakian Baderan dan turun di jalur pendakian Bremi.
Sebagian reruntuhan dinding situs purbakala Hindu di Argapoera. Foto: Harley Sastha
Saya tidak akan bercerita banyak tentang perjalanan pendakian saya, walaupun sebenarnya melalui tempat-tempat bersejarah, di mana masing-masingnya mempunyai cerita yang sangat menarik. Mengenai ini, saya akan ceritakan dalam tulisan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Setelah, bermalam di alun-alun Lonceng pada ketinggian sekitar 2.945 meter di atas permukaan laut (mdpl), pagi harinya, pada 3 Mei 2011, saya pun bersiap-siap untuk memulai pendakian menuju puncak Argapoera, Rengganis (Welirang) dan Arca.
Tidak seperti namanya alun-alun Lonceng, sebaliknya bermalam di tempat ini suasana terasa begitu sunyi. Kesunyian yang menentramkan. Namun, saat malam hari, kami sempat mendengar suara pekikan parau Rusa dari dalam hutan Cemara gunung yang ada di sekeliling tempat kami mendirikan tenda.
Kalau membaca risalah perjalanan Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, seorang pencinta alam, naturalist dan ilmuwan berkebangsaan Jerman yang bekerja untuk pemerintah Hindia-Belanda (Junghun pindah menjadi warga negara Belanda), saat mendaki Argapoera pada 1844, dalam bukunya yang terkenal 'Java' tergambar kalau saat itu, banyak sekali merak dan Rusa berkeliaran di Argapoera, termasuk kawasan alun-alun Lonceng.
Salah satu sudul alun-alun Lonceng terlihat dari jalur pendakian puncak Arca. Foto: Harley Sastha
Junghuhn juga bercerita, sebelum tiba di alun-alun Lonceng, banyak ditemukan kotoran Harimau. Salah satu hal yang cukup mengejutkan dirinya. Karena, mengetahui mereka masih berkeliaran hingga di ketinggian lebih dari 2.700 an meter. Sepertinya, karena, Rusa sebagai salah satu pakannya, banyak berkeliaran hingga ketinggian tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana tampilan dataran tinggi pada umumnya, dataran tinggi Iyang, sangat khas dan menyenangkan. Saya melihatnya, seperti sebuah taman cantik dan indah. Terlebih ketika melewati ladang Edelweis yang begitu rimbun di antara rimbunnya semak dan rerumputan. Benar-benar laksana taman raksasa yang tertata apik.
Sekitar pukul setengah tujuh pagi, saya meninggalkan camp di alun-alun Lonceng, mendaki menuju puncak Argopuro. Waktunya tidak sampai setengah jam untuk tiba di puncak yang berada pada ketinggian sekitar 3.088 mdpl.
Selanjutnya, saya mendaki menuju puncak Rengganis (3.072 mdpl). Tidak sampai dari 20 menit, dari alun-alun Lonceng, saya sudah tiba di puncak yang juga dikenal dengan nama gunung Welirang.
DUa orang pendaki sedang berjalan menuju puncak Rengganis (Gunung Welirang). Foto: Harley Sastha
Di sini terlihat sisa-sisa reruntuhannya purbakala Hindu – diperkirakan pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Batuan di puncak Rengganis berbeda dengan puncak Argopuro dan Arca. Di puncak Rengganis masih tercium bau belerang. Batuannya berwarna putih ke kuning-kuningan.
ADVERTISEMENT
Sayang, saat itu saya tidak melihat guci, sebagaimana yang ceritakan oleh Zollinger. Selain itu, dua tahun sebelumnya, pada 1844, Junghuhn juga menceritakan hal yang sama.
Cerita Junghuhn
Setelah mendaki dua jam lamanya, mulai dari tempatnya bermalam. Dirinya terheran-heran sekaligus kagum akan apa yang dlihatnya. Tampak, di hadapannya, larik-larik atau berderet reruntuhan dan dinding. Di sebelahnya terdapat onggokan puing-puing putih solfatara.
Saat bergerak maju lebih jauh lagi ke dalam, tiba-tiba dirinya sudah berada di tepi kawah yang bentuknya seperti lubang ketel menembus gunung. Dinding-dindingnya yang telanjang terbuka jatuh anjlok ke bawah secara vertikal.
Sebagian reruntuhan dinding situs purbakala Hindu di Argapoera. Foto: Harley Sastha
Melihat hal tidak terduga tersebut, sebuah misteri alam dan seni kuno, membuat rasa lelah dan haus yang dirasa rombongan Junghuhn, sirna. Karena terinspirasi untuk segera menelitinya. Ia pun berjalan mengelilinginya. Bagian sebelah timur puncak gunung terlihat terbagi-bagi menjadi bilik-bilik kecil. Sepenuhnya, ini diubah oleh tangan manusia menjadi kamar persegi selebar sekitar 2 m.
ADVERTISEMENT
Beberapa di antaranya masih memiliki dinding dengan tebal 0,4-0,5 m dan tinggi 1,2-15 m. Pada dinding-dinding tersebut, dibiarkan ada pintu-pintu yang sempit mengarah ke bawah, kebagian dalam ruangan. Lantainya biasanya lebih rendah dari permukaan luar.
Di puncak serta lereng selatan dan timur dari puncak gunung kecil, bilik-bilik berdinding ini menjulang seperti teras di atas satu dengan yang lainnya – seperti punden berundak – membentuk reruntuhan situs atau teringgi di Pulau Jawa.
“Usianya, dapat diperkirakan dari tebalnya lumut, rumput, batang tebal agapates dan tanaman alpine dan lainnya yang tumbuh di pegunungan tinggi, yang menempel dan berakar pada dinding serta berakar di antara bebatuan. Luar biasanya lagi, ditemukan lima pot atau guci air besar asal Cina, yang terbuat dari tanah liat berglasir. Saya ingin menamakan puncak gunung kecil ini dengan nama gunung Guci,” tulis Junghuhn.
Patung atau arca yang terlihat kondisinya sudah rusak di jalur pendakian puncak Arca. Foto: Harley Sastha
Menurut Junghuhn, setidaknya, ada empat teras berbeda sisa-sisa reruntuhan tersebut: 1. Dinding persegi dan kamar kecil di puncak gunung Guci; 2. Yang berada di barat laut kaki gunung Guci. Sekitar 9 meter lebih rendah dari puncak, dekat tepi timur laut kawah. Terdiri dari bilik-bilik persegi bertingkat dan dikelilingi oleh dinding yang jauh lebih besar dari bilik di puncak. Kemungkinan, dinding tersebut dulunya jauh lebih tinggi dan mungkin juga beratap; 3. Masih berada di barat laut kaki gunung Guci. Tepatnya di bawah yang kedua. Berada pada titik ekstrem terdalamnya, sekitar 6 m lebih rendah dari sebelumnya atau 15 m di bawah puncak; 4. Berada pada kedalaman yang jauh lebih dalam, sekitar 24 m di bawah puncak. Letaknya di lereng utara-utara-timur yang sama dan sebelah timur reruntuhan ketiga.
ADVERTISEMENT
Junghuhn terus berkeliling dan mencari kemungkinan di mana patung-patung berada dalam ruang-ruang sepanjang koridor setiap terasnya. Ia menemukan satu ruangan berbentuk seperti ceruk persegi di tengah paling atas. Dinding-dinding yang melingkupi ruang persegi atas atau kapel, terlihat paling indah dan dipahat teratur. Batu-batunya membentuk kubus yang diukir dengan sangat halus dan hati-hati.
Namun, sepertinya patung-patung telah menghilang. Junghuhn masih terus mencarinya. Akhirnya, ia hanya bisa menemukan satu patung pemujaan yang sudah lapuk dan diketahui kalau itu patung Durga. Terlihat pada bagian dada, lengan ganda belakangnya serta atribut lainnya yang tidak semuanya hancur. Jadi, dapat ditarik kesimpulan, para pengikut pemuja Siwa yang telah membangun dinding.
Pada jalur pendakian puncak Arca, banyak sekali ditemukan batuan andesit. Foto: Harley Sastha
Mengenai patung yang dilihat Junghuhn, saya menduga itu patung yang saya lihat di sekitar puncak Arca (3.077 mdpl). Jalur pendakian menuju puncak Arca, memang penuh dengan batuan andesit degan beragam ukuran. Nah, arca atau patung itu tampak seperti teronggok dengan kondisi rusak. Menariknya, saat menyusuri jalur pendakian puncak Arca, di kejauhan Danau Taman Idup tampak terlihat semakin misteri dari atas.
ADVERTISEMENT
Cerita Rogier Diederik Marius Verbeek
Kemudian, seorang geolog dan naturalis berkebangsaan Balanda, Rogier Diederik Marius Verbeek, pada salah satu tulisannya ‘Gonoeng Argapoera’ dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Java : Lijst Der Voornaamste Overblijfselen uit den Hindoetijd op Java met Eene Oudheidkundige Kaart terbitan tahun 1891, menyebutkan: ‘Beberapa dinding yang tersisa dari kebanyakan bangunan dan ruang, dari pondasinya, hanya denah lantai yang dapat dikenali. Terlihat menonjol tidak lebih dari ¼ sampai 1 m di atas lantai dasar.
Bangunan-bangunan dibagi menjadi bilik-bilik dan bertingkat-tingkat menjadi empat teras. Jadi, menurut Verbeek, situs purbakala Hindu tersebut, berada pada ketinggian 3.040 mdpl – situs purbakala Hindu tertinggi di Jawa.
Reruntuhan di sekitar di bawah puncak Rengganis (Gunung Welirang). Foto: Harley Sastha
Di puncak paling atas, kemungkinan, objek pemujaan yang sebenarnya berada. Dalam ruangan persegi dengan sumur kecil. Dinding salah satu bangunan masih setinggi 2-3 m.
ADVERTISEMENT
Tangga di sisi gunung mengarah ke barang antik. Ada beberapa alas batu kecil di dalam dinding. Kemungkinan tempat berdirinya patung-patung pemujaan dan terlihat hanya tersisa satu dengan kondisi sudah cukup rusak.
Menariknya, apa yang diceritakan, Zollinger, Junghuhn dan Verbeek juga digambarkan oleh C.W. Wormser – seorang juri yang pernah bertugas sebagai hakim di Sukabumi, Magelang, Bandung dan tempat lainnya di Jawa. Ia seorang pengagum Junghuhn dan mempunyai hobi mendaki gunung yang juga seorang koresponden beberapa majalah dan koran.
Watu lumpang atau batu berlubang dengan tutup batu ceper yang pecah di sekitar puncak Rengganis (Gunung Welirang). Foto: Harley Sastha
Menurutnya, mengenai reruntuhan yang diceritakan oleh Junghuhn di Argapoera, nyaris tidak banyak perubahan, saat ia melakukan pendakian gunung-gunung di Jawa, antara 1910-1925. Sambil berjalan-jalan di antara reruntuhan situs purbakala Hindu tertinggi di Pulau Jawa, Ia menaruh rasa hormat dan kagum dengan semua apa yang dilihatnya.
ADVERTISEMENT
Mengingat kembali beberapa perjalanan saya di Argapoera, ada yang membuat saya kecewa dan prihatin. Beberapa kali juga saya melihat beberapa oknum pendaki sengaja memindahkan susunan batuan untuk latar belakang foto atau mengganjal tiang bendera serta melakukan vandalisme dan hal lainnya pada situs purbakala peninggalan masa lalu tersebut.
Yuk, tetap menjadi pendaki cerdas, benar dan bertanggung jawab. Salah satunya termasuk dengan tidak merusak, mengganggu atau memindahkan situs-situs atau benda-benda peninggalan masa lalu yang kamu temui saat pendakian.
Sikasur - salah satuq lokasi favorit pendaki yang mendaki gunung Argopuro. Kawasan ini, dulu merupakan bekas penangkaran dan pengembangbiakan Rusa secara alami yang dilakukan oleh A.J.M. Ladeboer - pemegang konsensi dari pemerintah Hindia Belanda, sekitar 1907 s.d. 1940-an. Ia juga membangun landasasan pesawat yang bekas-bekasnya masih terlihat. Foto: Harley Sastha