Mengintip Kembali Kemegahan dan Keagungan Cawan Raksasa Kaldera Tambora

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
15 Desember 2020 17:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kemegahan dan keagungan kaldera Tambora pun terlihat saat kabut yang menyelimutinya tersibak, saat kami menantinya di tubir puncak kalderanya, pada 10-11 Desember 2020. Foto: Balai TN Tambora.
zoom-in-whitePerbesar
Kemegahan dan keagungan kaldera Tambora pun terlihat saat kabut yang menyelimutinya tersibak, saat kami menantinya di tubir puncak kalderanya, pada 10-11 Desember 2020. Foto: Balai TN Tambora.
ADVERTISEMENT
Awalnya ada sedikit keraguan, mengingat cuaca belakangan ini yang ekstrem. Seringkali turun hujan dan angin besar. Melihat aplikasi forecast pun menunjukkan kalau cuaca di Gunung Tambora dan sekitarnya menunjukkan hal demikian. Gunung yang mempunyai ketinggian sekitar 2.851 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut, kembali menjadi tujuan saya untuk mendakinya.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, sepanjang saya dan teman seperjalanan dari Jakarta, Medina Kamil dan Tyo Survival beserta rekan-rekan Balai Taman Nasional (TN) Tambora, melakukan perjalanan menggunakan mobil dan motor dari gerbang pendakian di titik 100 mdpl menuju Pos 5 di ketinggian 2.040 mdpl, jalur pendakian Piong, pada 10-11 Desember 2020, sinar matahari cenderung teduh dan langit berawan serta sesekali turun hujan.
Istimewanya, dalam pendakian tersebut, Kepala Balai TN Tambora, Yuanaidi pun turut serta mendaki bersama. Dalam pendakian ini, beliau sekaligus ingin melihat langsung kondisi dan perkembangan jalur pendakian Piong saat ini.
Menara pandang dengan latar belakang salah satu CInder Cone di jalur pendakian Piong, Dongo Tabe To'i. Foto: Balai TN Tambora.
Selain, Doroncanga, jalur pendakian Piong, memang kendaraan jenis double gardan dan motor trail diperbolehkan. Namun, tentu sesuai dengan peruntukkan dan daya dukung serta kuota yang telah ditetapkan pengelola taman nasional.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, ada keuntungan dengan kondisi cuaca yang teduh seperti ini. Dengan kondisi medan pendakian yang terbuka dan didominasi savana, saat musim panas, terasa sangat terik dan panasnya kadang terasa membakar kulit. Sebagaimana beberapa pendakian saya sebelumnya melalui jalur pendakian yang sama.
Menariknya, saat musim hujan, savana terlihat bagaikan hamparan karpet hijau maha luas tak bertepi. Sangat indah dan cantik. Sesekali medan pendakian bergelindan dengan perbukitan yang juga diselimuti savana hijau. Pemandangan yang berbeda, jika kamu menyusuri saat musim kemarau. Savana akan terlihat kuning keemasan yang tidak kalah memesonanya.
Saat musim hujan, hamparan savana terlihat seperti hamparan karpet hijau nan luas. Tampak latar belakang lereng menuju tubir puncak kaldera Tambora. Foto: Balai TN Tambora.
Selain savana yang sangat luas, keunikan dan kekhasan lain dari jalur pendakian Piong, adalah adanya dua Cinder Cone – kerucut abu yang mengendap disekitar lubang vulkanik. Dibentuk oleh batuan piroklastik atau lava fragmen fragmen abu dan batuan kecil vukkanik di atas ventilasi magmacukup banyak berserak di kawasan Taman Nasional Tambora. Dua di antaranya yang ada di Piong. Masyarakat setempat menyebutnya Dongo Tabe Nae dan Dongo Tabe To’i, yang diambil dari bahasa Bima, yang artinya gunung berbentuk kuali besar dan kecil.
ADVERTISEMENT
Salah satu spot terbaik untuk melihat lanskap Tambora, adalah menara pandang. Lokasinya berada antara Pos 1 dan Pos 2. Dari atas menara ini, kami dapat melihat lepas secara 360 derajat. Selain berfungsi sebagai menara pemantau kebakaran dan satwa, menara ini juga dapat digunakan pengunjung untuk melihat-lihat dan mendokumentasikan kawasan TN Tambora dari ketinggian.
Sore hari, malam, hingga esok pagi, saat beristirahat di Pos 5, angin cukup kuat menerpa camp kami. Namun, kami bersyukur, walaupun tidak terlalu bersih, sunrise pada pagi harinya, tetap muncul menyapu kawasan Tambora. Menyuguhkan pemandangan lanskap Tambora yang di dominasi savana. Di kejauhan terlihat Semenanjung dan Teluk Sanggar, Teluk Saleh serta Gunung Api Sangeang yang terlihat samar, menyajikan suasana yang magis dan memesona. Seolah, peristiwa lebih dari 200 tahun lalu, April 1815, saat sang Tambora menggelegar dahsyat dan memengaruhi peradaban dunia serta membuat gelap langit Eropa, tidak pernah terjadi. Tambora, kini menampakkan kemegahan dan segala keagungannya.
ADVERTISEMENT
Saat mendaki menuju tubir puncak kaldera Tambora, hujan kembali sesekali turun. Batuan lava beku berbagai ukuran dan aneka bentuk berserak dari Pos 5 menuju puncak. Terlihat juga Edelweiss yang masih menyisakan sebagian bunga abadinya. Karena waktu mekar sempurnanya telah lewat.
Tiba di puncak angin kencang dan kabut menyelimuti kaldera. Ada sedikit rasa kecewa. Namun, diri masih percaya, ada saatnya selimut ini akan tersibak. Medina Kamil, yang pernah mendaki Tambora melalui jalur pendakian Pancasila sekitar tujuh tahun lalu, sebagaimana diceritakannya, tidak sempat melihat megahnya Kaldera Tambora. Karena, saat itu, menjelang tubir puncak kaldera, terjadi badai. Sehingga, diputuskan untuk kembali turun. Jadi, pendakiannya saat ini, seperti penantiannya yang tertunda.
Setelah satu jam menanti, selimut kabut pun tersibak. Kemegahan kaldera Tambora membuat semua yang melihatnya saat itu berdecak kagum. Sebagaimana halnya saya. Walaupun sudah berkali-kali melihatnya, rasa takjub dan kagum itu selalu ada. Bahkan, dalam empat bulan terakhir ini, tiga kali saya menyambanginya.
ADVERTISEMENT
“Selama pendakian sempat diguyur hujan. Anginnya kencang banget. Tiba di puncak Kaldera, eh kabut tebal. Nunggu setengah jam, kedinginan di tubir kaldera berharap cerah. Eeh, ternyata tiba-tiba hujan berhenti dan kaldera Tambora terbuka, cerah. Terima kasih ya Allah udah diizinkan melihat kemegahanMu,” ungkap Medina mengungkapkan rasa gembira dan kagumnya. Hal tersebut juga diceritakannya kembali melalui akun instagramnya.
Sejak ditetapkan sebagai taman nasional ke 51 di Indonesia, pada 11 April 2015, tepat pada peringatan 200 tahun pasca erupsi besarnya, sang raksasa Tambora di Semenanjung Sanggar tersebut, kembali menyapa dunia dengan keagungan dan kemegahan kaldera serta cerita sejarah letusannya dalam perjalanan peradaban dunia.
Jadi, bagaimana sobat Kumparan? Sudah pernah menyambanginya atau berniat untuk mendakinya? Jangan lupa untuk siapkan segala sesuatunya dengan baik dan benar. Mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pengelola TN Tambora. Jaga kelestarian kawasan dengan menjadi pendaki yang cerdas, bijak dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT