Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengintip Kembali Kemegahan Kaldera Rinjani dari Puncak Tertingginya
10 September 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tepat tengah malam, kami pun terbangun, dari dalam tenda masing-masing, kami keluar bersiap-siap untuk summit attack atau mendaki menuju puncak Rinjani. Rasa kantuk dan angin yang bertiup cukup kencang pada dini hari pagi itu, tidak mematahkan kami untuk kembali mengintip kemegahan Kaldera Rinjani dari tubir atau gigiran kaldera dan titik tertingginya.
ADVERTISEMENT
Sehari sebelumnya, pada Minggu (30/8/2021), saya bersama bersama beberapa kawan dari Jakarta dan Yogyakarta, memulai pendakian melalui jalur pendakian Sembalun. Kali ini, kami menggunakan jasa Trekking Organizer (TO) Abu Ichin Adventure, setelah sebelumnya melakukan booking dan pendaftaran online melalui aplikasi e-Rinjani, selain itu kamu juga bisa booking melalui website resmi Balai Taman Nasional (TN) Gunung Rinjani. Karena, masih masa pandemi COVID 19 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sesuai aturan, setiap pengunjung, tidak terkecuali kami, harus menunjukkan bukti sudah divaksin COVID-19 dan hasil negatif Swab PCR serta melakukan medical check-up di Puskesmas Sembalun.
Untuk menghemat waktu dan tenaga, untuk sampai di pangkalan ojek Pos 2, kami menggunakan mobil pick up atau bak terbuka dan disambung dengan menggunakan ojek motor. Jadi, pendakian kami sebenarnya dimulai dari Pos 2. Di sini, pengelola Balai TN Gunung Rinjani, telah menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana, berupa beberapa bangunan shelter, toilet dan pos jaga yang sekaligus berfungsi sebagai screening check in/out para pendaki.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalur pendakian menuju Pelawangan Sembalun, beberapa bagian trail atau jalan setapak sedikit berubah akibat gempa Lombok 2018. Namun, panorama khas hamparan sabana Sembalun sepertinya tidak ada yang berubah. Masih tetap terlihat cantik membentang menyelimuti perbukitan.
Ada Geogrid di Jalur Pendakian
Pada beberapa bagian yang longsor, pengelola telah memasang pengaman berupa pembatas tali dan juga tali kapal atau dadung sebagai alat bantu untuk naik. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pada trail yang mudah erosi dan rusak, pengelola telah memasang geogrid--lembaran berbentuk rakit yang berlubang-lubang yang dihamparkan di atas tanah dasar untuk menciptakan struktur tanah yang lebih kuat. Geogrid lebih berfungsi sebagai tulangan atau perkuatan dan tidak memiliki sifat-sifat pada material geotextile seperti pemisah, drainase, filtrasi, dan penghalang air.
ADVERTISEMENT
Kalau membaca beberapa sumber informasi, geogrid sendiri berfungsi sebagai perkuatan (reinforcement), stabilisasi (load support), dan erosian control. Jadi, sebagai tulangan untuk memperkuat pada konstruksi lereng terutama lereng yang memiliki kemiringan yang tajam, untuk menstabilisasi meningkatkan tahanan lateral pada tanah dasar dan melindungi permukaan tanah dan mencegah partikel tanah terlepas karena hujan, air yang mengalir atau angin.
Menurut Benediktus Rio Wibawanto, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, ide pemasangan geogrid muncul karena tim melihat kondisi lapangan berupa erosi jalur pendakian dan utamanya rusaknya jalur pasca gempa Lombok 2018.
“Kondisi banyak titik di jalur pendakian yang berupa pasir hancur akibat gempa. Apalagi 200 meter sebelum Pelawangan Sembalun. Saya sendiri memimpin tim gabungan sebanyak 30 orang dari unsur pecinta alam, perencana, pelaku wisata, BPBD dan lain-lain Maret 2019. Kami mengalami gempa lagi pada 17 Maret 2019. Lalu, kami lihat, jalur pendakian yang kami lewati sebelumnya makin hancur,” kata pria yang akrab dipanggil Rio.
ADVERTISEMENT
Setelah mencari-cari informasi dari berbagai sumber, akhirnya ketemu teknologi geogrid yang cukup dipasang dengan pasak atau anchor ke bumi dan ditimbun dengan tanah serta pasir, dapat menahan longsoran dan erosi serta bisa dinamis jika terjadi gempa lagi.
Melihat langsung penerapannya dan mendengar penjelasan dari Rio, seharusnya teknologi ini dapat diadaptasi pada jalur-jalur pendakian gunung lainnya di Indonesia. Khususnya pada trail yang sangat rentan dan mudah erosi serta longsor.
Pelawangan Sembalun
Setelah mendaki sekitar tujuh jam berjalan kaki dari Pos 2 hingga melewati tujuh bukit penyesalan, tepat sekitar pukul 16.00 WITA, kami tiba di Pelawangan Sembalun yang berada pada ketinggian sekitar 2700 meter di atas permukaan laut, tempat mendirikan tenda untuk bermalam, sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak esok pagi dini hari. Begitu sampai, makanan, buah-buahan, dan teh manis hangat telah disiapkan oleh tim porter. Selagi menyantap hidangan, kami semua selalu harus tetap waspada, karena salah satu satwa penghuni Rinjani, monyet ekor panjang, banyak berkeliaran di sekitarnya. Lengah sedikit, perbekalan makanan yang dibawa pun akan berpindah ke tangan mereka.
ADVERTISEMENT
Perilaku monyet-monyet tersebut sebenarnya akibat kesalahan sebagian oknum pengunjung atau pendaki, yang secara langsung maupun tidak langsung memberi mereka makanan atau sisa makanan yang dibuang secara sembarangan. Karena telah berlangsung lama, akibatnya, perilaku mereka pun berubah. Selalu menunggu atau meminta makanan begitu melihat para pendaki datang.
Karenanya, untuk kembali menghilangkan kebiasaan mereka, kembali pada perilaku aslinya, selalu jaga dan simpan makanan dengan baik dan benar serta jangan membuang sisa makanan di sembarang tempat. Juga jangan memberi makan satwa apa pun yang kamu temui selama pendakian.
Begitu menyenangkan rasanya, lelah perjalanan seharian, sejenak terbayar dengan panorama yang disajikan dari Pelawangan Sembalun. Menjelang senja, awan yang menggantung dan kabut tipis yang menyelimuti perlahan terbuka dan menampilkan punggungan lereng menuju puncak Rinjani serta Danau Segara Anak dengan anak Gunung Baru Jari. Sungguh, benar-benar pemandangan yang sangat indah.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, kami ingin lebih lama melihat keindahan bintang-bintang di langit malam itu. Namun, karena harus bangun lebih cepat, kami putuskan untuk segera tidur.
Summit Attack
Sebagaimana diceritakan sebelumnya, setelah bangun tidur tepat pada dini hari tengah malam keesokan harinya, dengan memakai jaket, headlamp, celana panjang, pelindung kepala, sarung tangan sepatu dan gaiter (pelindung kaki) serta masker, kami pun sudah siap untuk mendaki menuju puncak Rinjani. Tetapi, sebelumnya, kami menyantap lebih dulu semangkuk soup panas, beberapa butir kurma dan minuman panas yang telah disiapkan para porter.
Dalam perjalanan menuju puncak, kami juga membawa buah-buahan, kurma, makanan cepat masak dan air minum, serta dua termos berisi air panas dan kompor kecil serta obat-obatan. Seorang porter mendampingi dan membantu kami, membawa sebagian perbekalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Setapak demi setapak, kami melangkahkan kaki sambil menahan rasa kantuk dan angin dini hari itu yang bertiup cukup kuat. Sesekali sejenak berhenti untuk beristirahat sebelum kembali melanjutkan pendakian. Gempa Lombok 2018, membuat sebagian jalur menuju puncak berubah. Bahkan ada satu trail yang juga sudah dilengkapi geogrid dan kini mengharuskan kami memanjat menggunakan alat bantu berupa tali dadung yang sudah dipasang untuk melewati tebing dengan kemiringan nyaris 90 derajat.
Sesekali, langkah kaki kami kembali terperosot turut karena melalui trail berpasir. Sekitar pukul 05.15 WITA, sinar jingga keemasan sang mentari pagi sudah mulai muncul di garis batas cakrawala. Puncak tertinggi Rinjani masih belum terlihat. Saat itu, kami sudah berjalan di tubir atau gigiran kaldera Rinjani. Tampak bayang-bayang siluet keemasan dinding, Segara Anak dan Anak Gunung Baru Jari tersapu sinar mentari.
ADVERTISEMENT
Saat matahari semakin tinggi, walaupun sedikit ada perubahan, trail menanjak berbentuk seperti huruf E, masih dapat kami lihat. Inilah tantangan terakhir yang harus dilalui para pendaki yang cukup menguras tenaga dan mental, sebelum akhir tiba di ketinggian 3.726 mdpl, titik tertinggi Gunung Rinjani.
Sepanjang jalur menuju puncak, tampak jelas, banyak perubahan yang terjadi. Gempa telah membuat longsor sebagian trail, sehingga, beberapa bagian sedikit menyempit. Tidak heran, jika pengelola memasang garis pembatas berupa tali.
Tepat sekitar pukul 07.00 WITA, kami pun menginjakkan kaki di puncak Rinjani. Gempa membuat sebagian puncak Rinjani juga runtuh. Sehingga luasnya menjadi lebih kecil dari sebelumnya. Namun, walaupun begitu, bentang dan lanskap Rinjani dan pulau Lombok terlihat begitu memukau.
ADVERTISEMENT
Di kejauhan seberang lautan, terlihat kebiruan kerucut Gunung Agung, Gunung Abang dan Gunung Batur, berdiri anggun di pulau Bali. Di tengah-tengah kaldera Rinjani, terlihat air Danau Segara Anak tampak tenang berwarna biru dengan Anak Gunung Baru jari yang berdiri menjulang, dikelilingi dinding dan puncakan-puncakan Rinjani lainnya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, perjalanan kami untuk kembali melihat kemegahan kaldera Rinjani pun tercapai. Gempa bumi yang pernah mengguncangnya pada 2018 dan 2019, tidak menghilangkan kemegahan gunung api tertinggi kedua di bumi nusantara ini. Salah satu gunung yang mempunyai kaldera terindah di dunia.