Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Mengintip Kembali Thekelan, Jalur Pendakian Tertua Merbabu (Bagian 1)
15 April 2021 21:15 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdiri gagah, menjulang setinggi 3.145 meter di atas permukaan laut (mdpl), menjadikan Merbabu sebagai gunung (api) tertinggi ketiga di Jawa Tengah, setelah Slamet dan Sumbing. Tidak heran, menjadi salah satu gunung favorit pendaki. Selain ketinggiannya, juga karena memiliki lanskap dan atraksi alam yang khas, unik dan memesona pada masing-masing jalurnya.
ADVERTISEMENT
Namun, semenjak pandemi COVID-19 melanda dunia, genap sudah satu tahun, kawasan yang sudah menyandang status Taman Nasional (TN) Gunung Merbabu sejak 4 Meri 2004, ditutup untuk aktivitas pendakian gunung.
Hirup pikuk ratusan pendaki yang selama ini menjajalnya, seketika terhenti. Kawasan Merbabu pun menjadi sunyi. Selama satu tahun, suara lelah helaan napas para pendaki pun sirna. Pandemi COVID-19, memberikan kesempatan alam Merbabu, untuk rehat sejenak, memulihkan dirinya secara alami.
Para satwa pun seperti mendapatkan tempatnya kembali untuk mengekspresikan dirinya tanpa terganggu oleh riuhnya para pendaki yang sebagian kurang berempati, membuat keriuhan dan kebisingan, menimbulkan polusi suara. Bahkan, terkadang hingga lewat tengah malam.
Beberapa waktu lalu, pada 18-19 Maret 2021, saya berkesempatan merasakan kembali kesunyian dan keheningan alam Merbabu. Khususnya jalur pendakian Thekelan–jalur pendakian tertua gunung Merbabu. Waktu itu, saya, bersama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Federasi Mountaineering Indonesia (FMI) dan Pusat Standarisasi Lingkungan Hidup (Pustanlinghut), mendapat tugas ikut melakukan pendampingan Self Assessment Jalur Pendakian yang dilakukan oleh Balai TN Gunung Merbabu.
ADVERTISEMENT
Jalur Pendakian Tertua
Waktu telah menunjukkan sekitar pukul 13.15 WIB, ketika saya dan anggota tim lainnya memulai pendakian dari basecamp jalur pendakian Thekelan. Kami dilepas langsung oleh KSBTU Balai TN Gunung Merbabu, Johan Setiawan.
“Semoga kegiatan self-assessment di seluruh jalur resmi pendakian TN Gunung Merbabu, dapat berjalan lancar hingga menghasilkan rekomendasi yang dapat segera ditindaklanjuti, agar nanti begitu dibuka kembali, benar-benar sudah siap. Aman, nyaman dan berkelanjutan,” pesannya.
Setelah cukup lama tidak mengunjungi dan mendaki Merbabu melalui jalur ini, suasana khas dan keramahan masyarakat dusun Thekelan, tidak banyak yang berubah. Masih sederhana, asri, ramah dan menyenangkan.
Menariknya, walau dusun yang berada di ketinggian sekitar 1.600 mdpl ini berada di Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, namun, aksesnya cukup dekat dengan Kota Salatiga, hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit melalui Jalan Lingkar Salatiga. Tidak heran, kalau seorang naturalist dan ilmuwan Hindia-Belanda, Francois van Boekhold – pendaki Eropa pertama yang mendaki Merbabu – memulai perjalanan daratnya dengan menggunakan kuda dari Salatiga menuju tempat sejuk di lereng Merbabu yang sekarang dikenal sebagai daerah tujuan wisata, Kopeng.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Boekhold memulai pendakiannya, menuju puncak Merbabu, melalui Cunthel ke Dusun Thekelan, hingga tiba di puncak Merbabu.
Sosok Merbabu, memang sangat terlihat jelas dari wilayah Salatiga, sehingga seolah menjadi titik tertingginya. Itulah karenanya, dulu, Merbabu juga dikenal sebagai Gunung Salatiga.
Selain memiliki panorama yang indah, Dusun Thekelan juga terkenal akan nilai-nilai toleransinya yang tinggi. Walau warga dusun menganut agama Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik, namun hampir tak pernah ada konflik agama di sini. Bahkan di Dusun Thekelan, letak vihara, masjid dan gereja jaraknya berdekatan.
Pada waktu-waktu tertentu kamu dapat menikmati ritual atau upacara adat menarik seperti saparan, nyadran, ruwatan, dan suronan. Sebagaimana di Dataran Tinggi Dieng, di dusun ini juga masih ada anak yang mempunyai rambut gimbal. Mata pencaharian penduduk umumnya adalah bertani sayuran.
Nama dusun berasal dari pendiri dan leluhur penduduk desa – mbah Thekel, di mana makam beliau berada di desa Cemetery. Dusun Thekelan memiliki sekolah dan kelompok seni yang cukup berkembang dengan baik seperti: ketoprak-drama tradisional dengan iringan musik gamelan, tari dari Jawa, musik orkestra dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya pendakian, berbagai wisata alam lainnya juga kini berkembang. Seperti outbound, Thekelan Downhill, Watu Telu, Live Inn, Desa Wisata, Camping Ground dan lain-lain.
Basecamp pendakian yang dikelola oleh Komunitas Peduli Putra Syarif (KOMPPAS) – mitra pengelola Balai TN Gunung Merbabu, walaupun terlihat sederhana, namun, cukup representatif, rapi dan bersih serta lengkap fasilitasnya. Selain parkiran dan toilet, di dalamnya juga tersedia perpustakaan mini. Peta jalur pendakian berukuran besar terlihat tertempel di dinding. Sedangkan masjid tersedia di sebelah basecamp.
Saat akan mulai memasuki batas kawasan taman nasional, hujan turun cukup deras. Dengan mengenakan rain coat atau jas hujan, kami tetap terus melakukan pendakian.
Sebenarnya, jika cuaca cerah, kami dapat melihat melihat bagian dari kawasan puncak Merbabu. Dan di sisi lainnya, sosok gunung Andong. Setelah melewati pal HM 00 – kini di sepanjang lima jalur resmi pendakian TN Gunung Merbabu, setiap 100 meter telah dipasang patok pal HM yang terlihat menyala jika terkena cahaya lampu senter atau headlamp. Termasuk di jalur pendakian Thekelan.
ADVERTISEMENT
Setelah melewati ladang penduduk, selanjutnya kami memasuki hutan heterogen yang di dominasi tumbuhan cemara gunung, pinus dan akasia, hingga sampai di areal Pos 1 Pending yang cukup luas dan teduh. Di sini sudah tersedia bangunan shelter dan sumber air yang dilengkapi dengan kran air. Beberapa ekor monyet ekor panjang, sempat memunculkan dirinya di atas cabang pepohonan.
Beberapa saat meninggalkan Pos 1 Pending, melalui jembatan kayu menyeberangi sungai kecil yang bernama Kalo Sowo. Lalu, melewati punggungan dengan kemiringan yang bervariasi. Sepanjang jalur pendakian terlihat hutan campuran dengan jalan setapak berupa tanah merah. Kemudian melipir punggungan dengan lembah berada di sisi kiri.
Walaupun sudah lebih sembilan tahun lalu terakhir saya melewati jalur pendakian ini, namun, sejauh itu, kondisi medan dan vegetasi terlihat tidak banyak perubahan. Seperti, pada jalan setapak yang lebarnya kurang lebih satu meter dengan dinding tanah merah setinggi hampir dua meter di sisi kanan dan kirinya. Lalu, melewati batu-batu besar pada beberapa bagiannya.
Begitu mendekati areal Pos 2 Pereng Putih, medan pendakian semakin terbuka dengan menawarkan panorama alam lembah dan punggungan gunung Merbabu. Melipir punggungan dengan lembah jurang yang cukup dalam.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah, saat itu hujan sudah reda, sehingga, kami dapat melihat panorama alam di sekitarnya. Perpaduan lembah dan lereng gunung Merbabu yang hijau. Kalau tidak hujan, sebenarnya di areal ini juga bisa ditemukan cukup banyak monyet ekor panjang.
Setelah melewati batuan yang beberapa bagiannya seperti sengaja dipahat membentuk anak tangga, kami pun tiba di areal Pos 2. Berupa dataran terbuka yang tidak begitu luas. Seperti sebelumnya, di pos ini, pengelola juga melengkapinya dengan bangunan shelter permanen dan kran air bersih.
Banyak panorama alam menarik yang dapat kami saksikan dari sini. Seperti: gunung Andong, gunung Telomoyo, gunung Ungaran dan rawa pening di kejauhan dapat terlihat dari sini. Lembah, punggungan gunung Merbabu dan tebing tinggi menjulang berwarna putih menawarkan keindahan dan keunikan tersendiri.
Waktu semakin sore, kami pun bergegas meneruskan pendakian menuju pos selanjutnya untuk mendirikan tenda sebagai tempat bermalam.
ADVERTISEMENT