Napak Tilas Pendakian Gunung Ciremai oleh Ilmuwan Eropa 2 Abad Lalu

Harley B Sastha
Book Author, Travel Writer, Mountaineer, IG-Twitter: harleysastha, Youtube: Harley Sastha
Konten dari Pengguna
3 Juli 2019 21:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tampak gigiran puncak, dinding, dan kawah ganda Ciremai. Foto: Harley Sastha
zoom-in-whitePerbesar
Tampak gigiran puncak, dinding, dan kawah ganda Ciremai. Foto: Harley Sastha
ADVERTISEMENT
Tiga hari jelang Ramadan, tepatnya Jumat (3/5/2019), saya kembali berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Saat itu, saya ikut serta mendampingi Kepala Balai TNGC, Kuswandono, dan beberapa rekan pendaki lain untuk mendaki Gunung Ciremai melalui Jalur Linggajati.
ADVERTISEMENT
Pendakian tersebut sebenarnya dilakukan untuk mengecek kondisi terkini jalur pendakian, sebelum dilakukan penutupan aktivitas pendakian sebulan penuh di bulan Ramadan. Sekaligus pula persiapan pengelolaan yang lebih baik dan pemulihan ekosistem.
Tetapi, di sini saya tidak akan bercerita banyak mengenai perjalanan pendakiannya, melainkan tentang bagaimana dan seperti apa Gunung Ciremai ketika mulai didaki pertama kalinya oleh orang Eropa pada 1824. Para pendaki itu adalah para ilmuwan, naturalist, dan alpinist Eropa dan Hindia Belanda.
Dari catatan berbahasa Belanda, lebih jauh diketahui kalau Jalur Linggajati dan Jalur Apuy, hampir dua abad lalu sudah didaki oleh orang-orang Eropa.
Linggajati, bisa dikatakan memang jalur legendanya pendakian menuju puncak Gunung Ciremai. Ada istilah, belum naik gunung tertinggi di Jawa Barat ini kalau belum pernah lewat Jalur Linggajati.
ADVERTISEMENT
Jalur ini dikenal dengan medan pendakiannya yang sangat terjal dan beberapa tanjakan bernama-nama unik. Seperti Tanjakan Bapa Tere, Kuburan Kuda, Batu Lingga dan lainnya. Di samping tentunya cerita masyarakat tentang perjalanan Sunan Gunung Jati menuju puncak Gunung Ciremai.
Trek terjal menuju puncak Gunung Ciremai terlihat dari Pos Pengasinan (2813 mdpl). Foto: Harley Sastha
Pendakian kami mulai dari Pos Cibunar pada ketinggian sektiar 804 meter di atas permukaan laut (mdpl). Yang menarik, sepanjang pendakian hingga Pos Pamerangan (1.634 mdpl), walaupun nampak hutan rimbun dengan pohon-pohon kayu berukuran cukup besar, terlihat di antaranya pohon-pohon kopi dengan buahnya yang masih hijau.
Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari beberapa sumber, pohon-pohon kopi tersebut sudah ditanam sejak masa Hinda Belanda.
Memang, kalau membaca risalah catatan perjalanan Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn dalam salah satu bukunya yang terkenal “Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart”, ketika CL. Blume–botaniawan Jerman-Belanda yang juga pernah menjadi Direktur Kebun Botani Bogor (1823-1826)–mendaki Gunung Ciremai tahun 1824, tidak menuliskan secara rinci tentang adanya kebun kopi.
ADVERTISEMENT
Tetapi ketika 1837, Junghuhn mendaki Gunung Ciremai melalui lereng barat, Desa Argalingga, disebutkan kalau ada perusahaan kopi besar di sana. Perkebunan kopinya sendiri di Gunung Ciremai, berada hingga ketinggian sekitar 1371 mdpl.
Sebuah surat kabar berbahasa Balanda “Java Bode”, yang bertanggal 13 Juli 1853, yang saya kutip kembali dari harian Radar Cirebon, diungkapkan bahwa “pada tahun 1853, target panen kebun-kebun kopi di Kuningan untuk tiga tahun ke depannya adalah sebesar 10.000 pikul per tahun.
Dengan beberapa gudang kopi pemerintah yang berada di lima tempat: Kuningan, Kadugede, Bayuning, Cigugur, dan Luragung.” Kemudian diakui kalau kopi asal Kuningan, kaki Gunung Ciremai, merupakan salah satu kopi dari Jawa yang memiliki kualitas sangat baik.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari adanya kebun kopi yang mungkin kini menjadi cikal bakal kopi asli Ciremai, kita dapat mengetahui kalau Gunung Ciremai telah didaki oleh orang Eropa sejak tahun 1824. Hal tersebut dilaporkan dalam Courant Java, 2 Februari 1825. Sebagaimana dituliskan kembali oleh Junghun dalam bukunya, Java. “Tuan Dr. CL Blume, konon telah mendaki pada 16 Oktober 1824, melalui sisi timur laut Gunung Ciremai, Linggajati”.
Setelah bermalam di kamp Bapa Tere (2.073 mdpl), kami melanjutkan pendakian sekitar pukul empat dini hari (04/04/19) dan tiba di puncak Panglongokan (3.037 mdpl) sekitar pukul sembilan pagi. Cuaca cukup cerah saat kami tiba. Langit tampak biru dan dinding hingga lantai kawah Ciremai terlihat jelas.
Melihat kawah Ciremai, kami teringat kembali catatan Junghuhn. Diceritakan olehnya, gambaran bentuk kawah Ciremai tahun 1837, masih sama persis dengan apa yang dideskripsikan oleh Blume tahun 1824. Lantai kawah dibagi oleh reruntuhan gunung berapi menjadi dua: bagian barat daya yang lebih besar dan bagian timur laut yang permukaannya lebih kecil melingkar bundar.
ADVERTISEMENT
Warna kawah berwarna abu-abu gelap, coklat kemerahan, kuning dan putih meleleh. Diceritakan juga, saat Blume menuju puncak, sangat kering dengan debu yang berterbangan. Pastinya yang pernah mendaki Gunung Ciremai melalui Linggajati pernah merasakan hal yang sama hingga kini. Utamanya saat menuju Pos Pengasinan dan gigiran kawah puncak.
Tahun 1910–1925 an, ternyata bentukan kawah Ciremai, tidak banyak berubah. Sebagaimana telah diceritakan oleh Mr. C.W. Wormser, seorang hakim di Hinda Belanda yang bertugas di Jawa, yang juga koresponden beberapa majalah dan koran. Mempunyai hobi mendaki gunung dan seorang pengagum Junghuhn.
Wormser telah mendaki setidaknya 30 gunung di Jawa dan kemudian membukukannya dengan judul Bergenweelde yang terbit pertama kali di Bandung pada 1928. Ia mengambil Jalur Apuy yang pernah dilalui oleh Junghuhn pada 1837.
Sekelompok pendaki sedang berjalan di gigiran kawah puncak Gunung Ciremai. Foto: Harley Sastha
Jadi gambaran tentang gigiran dan kawah Ciremai saat itu hingga saat ini, bisa dikatakan nyaris tidak banyak berubah. Termasuk ketika saya beberapa kali berjalan mengelilingi gigiran kawah puncak Ciremai. Di antaranya tentang lorong badak di sekitar gigiran kawah.
ADVERTISEMENT
Dalam risalahnya, Junghuhn menuliskan lorong tersebut membentuk kanal dengan dalam dan lebar beberapa kaki: dasar dan sisi dinding cukup licin, sehingga harus berjalan rata-rata sekitar lima kaki di bawah pinggir gigiran kawah tertingginya.
Ketika Wormser, melalui lorong tersebut, apa yang digambarkan Junghuhn masih sama. Dikatakannya kalau ia dan rombongannya lewat pinggir utara ada lorong badak tersebut. Dikatakan olehnya, bahwa ia mengikuti pinggir kawah yang bermeter-meter panjangnya dan cukup sempit, sehingga ia dapat duduk mengangkang di atasnya. Kaki kiri menggelantung ke dinding kawah dan kaki kanan ke dinding luar kawah berpuluh meter di atas lorong badak.
Jadi, jika kita berniat mengelilingi kawah Ciremai dan berjalan di gigiran puncaknya untuk melihat eksotisme kawah ganda Ciremai dari semua sudut, berhati-hatilah. Gambarannya masih sama, lorong badak dan sebagian jalannya yang sempit dan tipis. Batuannya rentan dan cukup rapuh. Jangan terlalu menepi hingga pinggir gigiran kawah.
Gua Walet. Foto: Harley Sastha
Sedangkan gambaran Gua Walet (2908 mdpl) yang bisa kita jumpai ketika mendaki melalui Jalur Apuy dan Jalur Palutungan, kondisi sedikit berbeda. Jika dulu, 187 tahun yang lalu, Junghuhn menceritakan bahwa ia melihat celah yang bagian bawahnya melebar membentuk liang yang dipenuhi oleh ribuan burung walet yang tidak terhitung jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diamini oleh Wormser tentang gua ini. Tentang adanya burung-burung walet dalam gua tersebut. Namun, ia tidak merinci sebanyak apa jumlahnya. Wormser hanya menceritakan, kalau suara mencicit kawanan walet tersebut cukup kencang dan terdengar sepanjang malam.
Kini, burung-burung walet yang diceritakan tersebut, nyaris tidak bisa kita jumpai di dalam gua tersebut. Hanya penamaan tempat Gua Walet yang menjadi sejarah kalau gua ini dulunya pernah menjadi tempat bersarangnya ribuan burung walet.
Bagaimana, sudah siap mendaki Gunung Ciremai dan ingin merasakan pengalaman seperti apa yang dirasakan Blume, Junghuhn, dan Wormser saat itu? Pastikan persiapkan segala sesuatunya dengan baik dan ikuti tata aturan yang berlaku di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Ingat selalu, zero waste dan zero accident.
ADVERTISEMENT