Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai yang Memesona
29 April 2020 20:19 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Harley B Sastha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sesaat, saya terbuai akan pesona bukit-bukit rumput yang saling berkelindan layaknya gelombang di lautan hijau. Seperti lokasi syuting ‘Teletubbies’ yang sempat hits beberapa tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Padang sabana memang merupakan salah satu lanskap yang paling menakjubkan di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN RAW). Kompleks seluas 23.000 hektare ini memadukan padang rumput dengan tumbuhan agel, lontar, bambu berduri, serta belukar.
Sebelumnya, pada 6 Juli 2014, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, bersama seorang polisi hutan dari taman nasional, Putu Sutarya, saya meninggalkan kantor Balai TN Rawa Aopa Watumohai, melalui Jalan Raya Poros Tinanggea–Bombana, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Dengan menggunakan motor trail, melalui jalan raya yang membelah sebagian ekosistem sabana. Sangat mulus dan lebar seperti jalan tol. Sebenarnya, itu yang sempat mencuri perhatian saya, saat pertama kali tiba di sini.
Berdasarkan cerita dan informasi yang saya dapatkan, jalan sepanjang kurang lebih 24 kilometer tersebut dibangun atas bantuan pemerintah Australia. Menjadi penghubung kawasan taman nasional di Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Bombana.
Terlihat di kejauhan, berbatasan dengan padang sabana, Gunung Watumohai dengan hutannya yang lebat. Walaupun tidak terlalu tinggi, namun untuk kamu yang mempunyai hobi mendaki gunung, bisa menjadi salah satu referensi untuk pendakian.
ADVERTISEMENT
Hiking, trekking, junggle trekking, photo hunting, penelitian, dan camping adalah beberapa kegiatan yang bisa kamu lakukan di Gunung Watumohai. Menurut Putu, hutannya masih sangat terjaga dengan baik. Sayangnya, waktu itu, saya tidak sempat untuk mendakinya. Berharap, lain waktu, dapat kembali ke sini untuk mendaki gunung tersebut.
Salah satu hewan khas taman nasional yang bisa ditemui adalah Rusa Timor. Menurut cerita Putu, dulu sekitar tahun 90-an, rusa-rusa tersebut masih banyak dan sangat mudah ditemui di kawasan savana. Bahkan rusa-rusa tersebut sampai sering kali tidur dan melintasi jalan raya. Perburuan liar yang terjadi beberapa tahun lalu, menyebabkan mereka, kini sudah jarang terlihat atau sulit ditemui. Kecuali jauh di dalam hutan di kawasan. Namun, kamu tidak perlu kecewa. Jika yang ingin melihat rusa-rusa tersebut, kamu dapat melihatnya di penangkaran rusa yang berada kantor balai.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai setengah jam, berbelok dari jalan raya, sabana terhampar luas di hadapan kami. Bentuknya mirip padang golf alami. Sesekali, terlihat serombongan sapi ternak bebas lepas menikmati rerumputan.
Selanjutnya, kami menyeberangi sungai dan menembus hutan serta melewati lokasi bertelurnya Maleo dan Kakatua Jambul Kuning. Cerita Putu, jika musim bertelur Maleo, burung langka dan dilidungi endemik Sulawesi tersebut dengan mudah dijumpai. Mereka akan keluar dari hutan untuk bertelur. Terlihat pecahan kulit telur Maleo yang telah menetas terserak di tanah berpasir.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam, kami pun tiba di kawasan bukit Modus. Indah dan menakjubkan. Tidak bosan mata memandang sekelilingnya. Dari atas salah satu bukit, terlihat hutan tropis seolah memagari komplek padang savana yang luas ini.
Sebuah bukit mungil menarik perhatian saya. Karena warnanya sedikit berbeda dari unik. Bukit tersebut berwarna kemerahan. Sepertinya karena pengaruh tanah pasir bercampur batuan halus berwarna merah. Keren banget sih.
ADVERTISEMENT
“Ini baru sebagian, di balik ini masih ada bukit-bukit lainnya yang lebih bagus lagi dan besar-besar ukurannya,” kata Putu sambil kembali melanjutkan perjalanan menyusuri punggungan perbukitan.
Gundukan-gundukan bukit hijau berukuran besar tersusun indah seolah tidak ada habisnya. Tumbuhnya rumput lembut berwarna hijau terang yang seolah menjadi penghubung antara bukit satu dengan bukit lainnya, membuatnya semakin menarik.
Siapa pun yang dan melihatnya, pasti akan terpesona oleh panorama sekitarnya. Dari atas perbukitan terlihat hamparan padang savana dan lebatnya hutan hujan tropis di sekelilingnya. Saya membayangkan, jika rusa-rusa nya masih banyak, tentu keindahan padang savana dan Bukit Modus semakin lengkap. Tenang, walaupun tidak semudah dulu, jika beruntung, kamu dapat melihat mereka berkeliaran. Sayangnya, keberuntungan tersebut tidak saya dapatkan saat itu.
Bukit Modus ternyata erat kaitannya dengan legenda atau cerita tentang salah satu suku asli di Sulawesi Tenggara, Suku Moronene. Diceritakan, dulu perbukitan ini sangat subur dan menjadi tempat tinggal masyarakat Suku Moronene. Setelah menjadi tandus dan hanya ditumbuhi rerumputan, pindahlah masyarakatnya ke sisi lain dari perbukitan ini. Tepatnya di Desa Adat Hukae.
ADVERTISEMENT
Terinspirasi cerita tersebut, terbersitlah kata ‘Moronene’ dan ‘Dusun’. Kemudian menjadi Bukit Modus. Apa pun namanya, yang jelas bukit-bukit ini benar-benar membuat saya terbuai dan terpesona. Bukit modus yang memesona.
Sebenarnya, pemandangan matahari terbit dan terbenam dari Bukit Modus begitu menggoda. Namun, karena keterbatasan waktu dan saya harus segera kembali sebelum gelap, perjalanan pun kami tutup dengan menyusuri hutan tropis dan pemukiman adat Suku Moronene.
Padang sabana merupakan satu dari lima ekosistem (rawa, mangrove, hutan pantai, sabana, dan hutan hujan dataran rendah) yang mengukir TN Rawa Aopa Watumohai yang mencapai luas hingga 105 ribu hektare lebih.