Public Figure Boleh, Kenapa Kita Tidak Boleh?

Harun Al Aziz
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konten dari Pengguna
8 November 2021 18:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Harun Al Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Fitra Andrianto dan Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Fitra Andrianto dan Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian merasa sebagai masyarakat biasa dan public figure memiliki perlakuan yang berbeda? Sebut saja ketika para selebriti tanah air mengumbar kemesraan mereka dengan pasangan di sosial media seperti berpelukan, berciuman, dan sebagainya. Banyak masyarakat yang berkomentar positif seperti “Romantis sekali” “Sangat menggemaskan” dan masih banyak yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun perlakuan yang berbeda justru didapat oleh banyak ‘masyarakat biasa’. Ketika komentar positif dan puji pujian mengiringi para public figure, komentar negatif biasanya justru membanjiri para masyarakat biasa ketika mereka mengumbar kemesraan mereka dengan pasangan di sosial media. Kata-kata yang sering muncul yaitu “Seperti itu kok diumbar, norak!”, dan beragam komentar negatif lainnya.
Hal tersebut sangat sering penulis temui di beragam lingkungan penulis sendiri dan sangat membuat heran. Timbul pertanyaan dalam kepala penulis “Apakah harus terkenal untuk dapat menjadi benar?”
Sosial media belakangan memang marak digandrungi masyarakat Indonesia, entah sekadar untuk berbagi cerita, bertukar informasi, atau bahkan mencari jodoh. Hal tersebut membuat masyarakat Indonesia terkesan lebih sering berinteraksi di sosial media daripada dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Namun belakangan sosial media terkadang jadi bumerang juga bagi banyak kalangan, mulai dari selebriti bahkan masyarakat biasa yang kemudian terkucilkan karena apa yang mereka unggah ke sosial media. Bahkan para pengguna sosial media sering berperang dan memperdebatkan sebuah kebenaran dari satu masalah. Namun bagaimana sebenarnya kebenaran itu?
Orang-orang yang sering memperdebatkan segala sesuatu di sosial media ini kemudian sering kita kenal dengan nama SJW atau singkatan dari Social Justice Warrior. Dikutip dari Wikipedia, SJW merupakan sebuah istilah peyoratif bagi seseorang yang mengusung pandangan progresivisme sosial, termasuk feminisme, hak sipil, multikulturalisme, dan politik identitas.
Frase yang bermula pada akhir abad ke-20 ini pada awalnya bermakna positif, namun kini banyak masyarakat yang menggunakan frase tersebut untuk konotasi yang negatif. Menurut Martin, makna istilah ini berubah dari positif menjadi sangat negatif sekitar tahun 2011 ketika frase tersebut dilontarkan sebagai celaan oleh warga Twitter.
ADVERTISEMENT
Konotasi negatif frase ini kemudian meluas di tengah kontroversi Gamergate tahun 2014. Pendukung Gamergate memakai istilah ini untuk menyebut lawan mereka yang berbeda ideologi.
Sejumlah peneliti memandang bahwa istilah SJW ini hanya bertujuan untuk menjatuhkan motivasi orang yang bersangkutan dan menyiratkan bahwa motif mereka hanya “mencari pembenaran diri, bukan karena benar-benar yakin dengan pandangan yang mereka bawa”.
Pada faktanya di lapangan, kita sendiri pada dasarnya tidak bisa mengidentifikasi mana pengguna sosial media yang SJW atau bukan, atau bahkan kita tidak tau motif langsung dari pengguna itu untuk apa.
Namun bagi penulis, terlepas dari SJW dan sebagainya, sangat disayangkan perbedaan kelas sosial sangat kental bersarang di masyarakat kita untuk menentukan sikap dan perilaku terhadap orang lain. Hal itu membuat penulis kembali teringat akan frase Neo-Feodalisme.
ADVERTISEMENT
Neo-Feodalisme merupakan kelahiran kembali kontemporer berteori kebijakan pemerintah, ekonomi dan kehidupan publik seakan “kita kembali hidup di era feodalisme namun dengan bungkus yang baru”. Hal-hal itu mencakup ketimpangan hal dan perlindungan hukum, stigma masyarakat, dan perbedaan perlakuan antara kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Jika dahulu masyarakat Indonesia pada era penjajahan dibedakan menjadi 3 kelas, yaitu kelas Eropa (kelas tertinggi), lalu kelas keturunan (orang barat yang beristri atau suami pribumi), lalu kelas pribumi (kelas terbawah) kini masyarakat Indonesia seakan membedakan kelas sosial dengan harta dan pangkat atau jabatan. Seakan orang yang patut dihargai dan dianggap benar serta mendapatkan hak-hak tertinggi hanya orang-orang yang memiliki harta dan pangkat atau jabatan.
Sungguh sebuah fenomena yang miris karena para pendahulu bangsa bersusah payah melawan feodalisme yang menyengsarakan namun kini justru masyarakat Indonesia seakan terjebak pada Neo-feodalisme.
ADVERTISEMENT
Dengan tulisan ini penulis berharap masyarakat Indonesia mulai sedikit sadar akan perlakuan dan sikap kita semua sehari hari dan tidak membeda bedakan orang lain hanya berdasarkan kelas dan status sosial mereka.
Alangkah baiknya kita sesama bangsa Indonesia kemudian bahu membahu membangun bangsa dan saling menghargai satu sama lain tanpa memandang latar belakang, keturunan, agama, kelas dan status sosial atau apa pun itu. Terkait benar atau salah seharusnya kita memandang pada permasalahannya, bukan pada orang yang melakukan tersebut terlepas dari orang itu public figure atau hanya ‘masyarakat biasa’.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan kutipan dari pidato Ir. Soekarno pada hari pahlawan 10 November 1961, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Kata kata dari tokoh pendiri bangsa ini seakan menyentil kita semua hari ini.
ADVERTISEMENT